Thursday, September 1, 2011

The Shiny Golden Flute

Writer's note. Sempatkan baca ya meskipun panjang B)
  • Cerita ini digarap non stop selama berhari-hari, berkali-kali ubah plot dan akhirnya malah melenceng dari draft awal. Cerita ini murni fiksi hasil imajinasi penulis. Di Indo olympians, Aria adalah pekemah tingkat satu yang masih berstatus undetermined, bukan daughter of Apollo seperti pada cerita di bawah.
  • Disclaimer: Aria, Luciana, dan Elizabeth Ravensworth, Cecilia, Maria, Daniel, Cameron, dan Rachel semuanya tokoh fiksi murni karangan saya. Universe Percy Jackson © Rick Riordan. IO © staff yang bersangkutan.
  • Central Character: Aria Ravensworth (characters @ Indoolympians) whom I set to be titled 'Daughter of Apollo'.
  • Pertama kalinya nulis fanfiksi pakai sudut pandang orang pertama. Beware, ini bener-bener kebablasan karena ternyata nulis pakai 1st POV itu bikin deskripsi jadi sangat subjektif dan...well, kepanjangan.
  • Quotes © Desmond Tutu; here
  • Role models; Erin Heatherton as Aria Ravensworth & Dimitri Lekkos as Apollo
  • Warning: Ini sangat puaaanjang, kurang lebih 4000kata atau 14 halaman Ms Word. Kalau memang niat baca, disarankan cari suasana yang pewe (:
  • Mini poster & story © Khairunnisa Putri Kanhida
  • Happy reading! Critics/reviews would be lovely <3
    ***

    The Shiny Golden Flute

    “You don’t choose your family. They are God’s gift to you, as you are to them.”


    Then how if God is one of our family?

    ***


    Tahukah kau betapa jengkelnya aku tatkala melihat seorang anak laki-laki membentak ayahnya hanya karena sebuah mainan yang tak bisa diperolehnya, atau seorang gadis seusiaku yang menolak mengikuti pesta dansa antar anak dan orang tua bersama ayahnya?

    Mereka seharusnya bersyukur atas limpahan kasih sayang seorang ayah.

    Tidak, aku tidak naif dalam hal ini.

    Aku punya alasan untuk membenci sikap tersebut.

    .

    Ya, karena selama enam belas tahun waktuku di dunia ini,


    tak sekalipun kulihat wajah ayahku.

    ***

    Namaku Ariana Elizabeth Ravensworth.

    I’m not your ordinary teenage girl. Buah cinta dari Luciana Ravensworth dan yang mulia Apollo sang dewa matahari. Aku mewarisi baik bakat ibuku maupun ayahku. Aku pandai memasak layaknya ibuku dan mahir bermain musik layaknya ayahku. Mereka menyebut jenisku demigod—atau blasteran. Setengah manusia dan setengah dewa.

    Kau pikir itu keren?

    Sejujurnya, ya—jika kau mengesampingkan fakta bahwa kami menderita disleksia, biasanya berumur pendek, merupakan buronan nomor satu para monster, dan dari seluruh jenis kami yang bisa kau sebutkan, hanya satu atau dua yang memiliki kesempatan bertemu dengan orang tua kami yang lainnya. Well, orang tua kami yang bertitel ‘dewa’, yang tinggal nun jauh di gunung Olympus itu nyaris tak pernah menampakkan dirinya di hadapan kami.

    Biasanya, kami menghabiskan musim panas di sebuah perkemahan. Perkemahan Blasteran namanya. Di tempat itu kami menghabiskan sepanjang musim dengan berlatih menggunakan pedang, berlatih memanah, belajar membuat senjata, dan aktivitas-aktivitas lain yang normalnya hanya kau lihat pada kamp pelatihan tentara.

    Dan hanya di tempat itu lah aku merasa sangat dekat dengan ayahku. Apollo, The god of music, also a god of light, known as "Phoebus", and also the god of plague and was worshiped as "Smintheus".

    Jenisku ini sangat banyak jumlahnya. Sebagian besar menghabiskan musim panas bersama denganku, smenetara sebagian kecil lainnya masih tersebar di penjuru Amerika. Aku tahu kebanyakan orang mungkin akan menganggap kisah seperti ini ‘hanya mitos’ dan aku berani mempertaruhkan restoran ibuku bahwa semua orang akan menempelkan cap 'gadis gila' tepat di wajahku jika aku mengungkapkan jadi diriku yang sesungguhnya. Aku sendiri memilih pura-pura tidak dengar ketika Trevor—satirku, pertama kali menjelaskan semuanya padaku. Namun, pada akhirnya aku percaya mengenai eksistensi para dewa, terlebih lagi setelah Dad mematenkan titel ‘Daughter of Apollo’ pada diriku.

    Meskipun begitu, aku sendiri tak pernah bertemu muka dengannya.

    .

    .

    Jadi, sampai dimana tadi? Oh ya, orang-orang biasa memanggilku Aria—

    “Liz, maukah kau memetik beberapa helai daun peterseli untukku?”

    —kecuali nenekku.

    Aku yang dulu sangat menyukai panggilan itu tapi aku yang sekarang hampir selalu mengernyit tatkala mendengar Grandma melisankannya. Aku gadis remaja yang baru saja berulang tahun ke-16 musim panas lalu, setidaknya tolong jangan samakan namaku dengan Elizabeth sang ratu Inggris. Umurnya sekitar 80 tahun, ya Tuhan.

    Ngomong-ngomong, aku adalah gadis musim panas. Dan aku benci musim gugur.

    Aku mendesah pelan sebagai respon atas permintaan nenekku. Bukannya aku tak menyukainya atau bagaimana—aku sangat menyukainya. Masa kecilku lebih banyak dihabiskan bersama Grandma ketimbang bersama ibu kandungku sendiri, ia sangat sibuk mengurus restorannya. Kami biasa menghabiskan waktu di halaman belakang, waktu itu Grandma masih cukup lincah untuk berlari bersama denganku. Namun, keadaannya tak sama sekarang. Grandma semakin tua dan setelah kepergian Grandpa, ia tak lagi seceria dulu sementara aku semakin hiperaktif. Refleks demigod, kau tahu. Jadi ya, kami tak begitu cocok lagi sekarang.

    Tentu saja Grandma tak tahu mengenai jati diri cucunya yang sesungguhnya. Mom memilih menerima segala cacian Grandma mengenai ayahku yang digadangnya sebagai ‘lelaki tak bertanggung jawab’ atau ‘lelaki kurang ajar’ dan sebagainya alih-alih menjelaskan kebenarannya. Dan Mom dengan berbaik hati bersedia mengarang berbagai alasan mengenai kepergianku setiap musim panas.

    Kulemparkan sekilas senyum padanya. “Tentu, berapa banyak yang kau butuhkan?”

    “Tak terlalu banyak, hanya untuk menghias steak iga ini.”

    “Baik, sebentar ya Grandma.”

    Dengan sangat terpaksa kulangkahkan tungkai kembarku menuju perkebunan setelah sebelumnya kuraih cardigan merahku yang tersampir asal-asalan pada kursi makan. Sekali lagi, ini semata-mata karena aku benci musim gugur—bukan nenekku. Perkebunan itu berada di sisi perbukitan yang berjarak tiga rumah dari rumahku. Di tempat itulah grandma Elizabeth biasa melaksanakan aktivitas bercocok tanamnya.

    Angin musim gugur yang berhembus dengan kencang dengan sadisnya mengacak-acak surai pirangku yang semula tergerai rapi sampai pinggang. Suara gemerisik daun-daun menggetarkan gendang telingaku. Kemudian langit bergemuruh seolah-olah tak mau kalah oleh kerasnya suara yang ditimbulkan para tumbuhan. Kulayangkan pandanganku pada langit yang kini bergradasi kelabu. Tepat saat itu lah satu tetes air jatuh tepat di pelupuk mataku.

    Hujan.

    Dengan terburu-buru kupetik beberapa tangkai daun peterseli tanpa benar-benar memilahnya. Aku dan Cecilia baru saja creambath bersama tadi siang, takkan kubiarkan air hujan merusak tatanannya.

    Setelah jumlah peterselinya terasa cukup, cepat-cepat aku berlari menuju rumah. Tak sengaja retinaku menangkap sosok pemuda asing ketika aku menoleh untuk memastikan pintu kayu perkebunan telah terkunci. Apakah sedari tadi ia berdiri disitu? Ataukah aku terlalu fokus pada helai-helai peterseli sampai-sampai kewaspadaanku berada di titik minimum?

    Selama lima detik aku terpaku menatap sosok itu.

    Tentu saja sikap observan sangat dibutuhkan saat ini. Tak sekilas senyum pun kulayangkan padanya. Namun sosok itu berlaku sebaliknya. Cengiran jahil menghiasi wajahnya yang tampak... cerah? Sesaat bibirku tergoda membentuk lengkung yang sama dengannya tapi tetes air hujan berikutnya mengingatkanku agar cepat pulang. 

    ***

    Tahukah kau bahwa tersenyum di pagi hari dapat membuat harimu menyenangkan? Nah, aku membacanya di halaman tips pada majalah remaja milik Cecilia.

    Aku benar-benar berharap hariku akan menyenangkan. Cecilia dengan seenak jidatnya mendaftarkanku pada kontes musik tingkat wilayah. Parahnya, aku baru tahu hal itu tiga hari sebelum hari-H. Pesertanya aku, Cecilia, Maria, Daniel, dan Cameron. Menurut Cecilia, kehadiranku akan berpengaruh besar pada kemenangan kami. Aku tersanjung. Seandainya saja ia memberitahuku setidaknya satu minggu yang lalu.

    Kini aku berada di aula Hotel ­Ritz tempat kontes itu mengambil tempat, menatap rangkaian partitur di tangan kiriku bersama Maria dan Cecilia, menunggu giliran kami tampil sementara Daniel dan Cam sedang mengurus pendaftaran ulang.

    “Kau pasti sudah hafal kan?” tanya Cecilia.

    Kulayangkan pandanganku pada iris kembarnya. “Begitulah, bagaimana perasaanmu?”

    Ia terkekeh pelan seraya mengerling piano di sudut ruangan. Bagiannya. “Berdebar-debar, kurasa?”

    Kedua mataku berbinar jahil. “Rileks Cecilia, kita akan tampil bagus. Percayalah.”  Kemudian kami tertawa bersama.

    “Kurasa aku perlu ke toilet.” Maria angkat bicara.

    Cecilia mengangguk setuju. “Aku juga, kau mau ikut, Aria?”

    Aku menggeleng halus. “Kalian saja, kurasa aku akan melatih beberapa bagian terakhir.”

    Tanpa banyak bicara mereka bergegas meninggalkanku sendiri. Terakhir kali aku berlatih adalah kemarin malam dan itu pun bukan menggunakan flute yang ini. Kuraih flute kesayanganku dan mulai memainkan nada-nada pada partitur. Seketika suaranya memberikan efek kejut pada gendang telingaku. Kedua mataku membelalak dramatis.

    Sumbang.

    Kata yang tabu untuk diucapkan kepada seorang Aria.

    Sekali-kalinya alat musikku menghasilkan suara seperti itu adalah ketika aku pertama kali mempelajari biola. Pada saat itu umurku lima tahun. Kupejamkan mataku dan mencoba berkonsentrasi. Dengan semangat pantang menyerah, kulantunkan lagi nada-nada yang persis sama seperti sebelumnya. Flute-ku seolah memekik. Tak hanya telingaku yang terganggu, bahkan beberapa orang di sekitarku ikut melempar pandangan apa-aku-tidak-salah-dengar kepadaku.

    Seketika kepercayaan diriku runtuh layaknya gunung Everest yang seluruh gletsernya melebur. Aku mungkin putri Apollo sang dewa musik. Namun semahir apapun aku, semuanya tidak akan membaik dengan alat musik yang rusak. Flute-ku. Flute kesayanganku. Hadiah ulang tahunku yang ke-sepuluh dari Mom

    Kemudian sebuah suara bergema melalui interkom, membuatku nyaris terkena serangan jantung.

    “Pengumuman kepada seluruh peserta lomba, harap berkumpul dengan kelompok masing-masing karena lomba akan dimulai 15 menit dari sekarang.”

    .

    .

    Panggil aku Aria-panik-Ravensworth.

    Sungguh, ini benar-benar sebuah katastrof. Cecilia pasti akan menertawaiku habis-habisan karena menyuruhnya rileks. Kulayangkan pandanganku pada sekeliling, mencari Cecilia dan Maria, atau Daniel dan Cam,  atau panita pelaksana, atau siapa pun yang mungkin dapat memberikan solusi bagiku. Demi seluruh galaksi di jagad raya, reputasiku sebagai pemain musik handal akan hancur dalam lima belas menit. Kemudian retinaku menangkap sosok pemuda yang tengah menatapku lekat. Cowok peterseli, begitu aku menjulukinya. Ia tampak bersinar di antara kerumunan peserta kontes.

    Betapa sempitnya dunia ini.

    Betapa aku benci pada kenyataan tersebut.

    Ia tengah menatapku dengan rasa penasaran tingkat tinggi layaknya predator di hutan Arizona menatap mangsanya. Kualihkan pandanganku pada flute dan kertas partitur yang masih berada dalam genggamanku. Aku melihat ke dalam flute melalui lubang-lubangnya dengan satu mata terpejam, mencoba menelaah kerusakan pada alat musikku. Dan aku menemukan udara kosong berwarna hitam.

    Aku panik dan atensiku teralihkan oleh fakta bahwa si cowok peterseli masih menatapku lekat-lekat. Iseng-iseng kristal kembarku kembali mengerlingnya. Ia sudah tak ada disana.

    Dan kini sedang berjalan ke arahku.

    Astaga, apakah rasa ingin tahunya kelewat besar sampai ia bertindak seperti penguntit begitu? Aku mencoba mengabaikan tingkah lakunya yang mencurigakan dan hatiku tak hentinya memanjatkan doa kepada ayahku, sang dewa musik. Rasanya aku sangat membutuhkan restunya.

    “Hai,” katanya. “Kau terlihat panik. Ada masalah?”

    Aku mencibir. Perlukah kuucapkan terimakasih atas perkataannya yang telah berbaik hati menjelaskan situasiku saat ini? Alih-alih, aku memberinya anggukan singkat. “Flute-ku sepertinya rusak.”

    “Flute yang itu?” tanyanya, menunjuk flute perak dalam genggamanku. “Flute yang bagus, sayang sekali.”

    “Yeah, aku sudah berlatih sebelumnya, menggunakan flute-ku yang lain. Flute ini hadiah ulang tahun dari ibuku, kupikir mungkin aku akan beruntung jika menggunakannya makanya aku memakainya tanpa mencobanya dulu. Flute ini tidak pernah rusak sebelum...nya.”

    Oh tuhan apa aku baru saja curhat padanya? Benar-benar, ingatkan aku membeli rem untuk mulutku sepulang dari sini nanti. Lawan bicaraku terkekeh pelan. Dia pasti menganggapku konyol karena nyerocos begitu saja seperti kereta api.

    “Sebaiknya kau pinjam pada panitia. Setahuku mereka menyediakan alat musik pinjaman bagi peserta yang kurang beruntung sepertimu.” Tertawa lagi sebelum melanjutkan, “jangan tersinggung. Kurasa kau memang berbakat, alat musik mana pun tak akan mempengaruhimu, kan?”

    “Kau serius? Oh tuhan terimakasih, aku kesana dulu. Oh ya, namamu, boleh kutahu?”

    “Hm..., itu tidak penting.”

    Aku mengernyit sesaat. “Well, terimakasih Tuan itu-tidak-penting, dan... sampai jumpa?

    Ia melambai padaku dan berkata, “Sampai jumpa.”

    Aku juga tak tahu mengapa aku menggunakan kata ‘sampai jumpa’, mungkin sebaiknya kubilang selamat tinggal atau sebagainya. Hanya saja firasatku mengatakan bahwa aku akan segera bertemu lagi dengannya. Dan—oh, rupanya dia benar! Aku bisa melihat flute, cylophone, gitar, harmonika, dan beberapa macam alat musik lainnya di dalam lemari kaca di belakang meja panitia.

    Sepertinya reputasiku akan baik-baik saja.

    “Hai,” sapaku. “...hum, Rachel?” Aku mengerling name tag panitianya.

    Ia tersenyum ramah. “Ya, ada yang bisa kubantu?”

    “Ya. Flute-ku sepertinya rusak, bolehkah aku, hm—“

    “Meminjam?”

    Benar sekali, dia membaca pikiranku. “Begitulah. Please?

    “Tentu. Kami punya stok alat musik meskipun kurasa kualitasnya tak sebaik milikmu, pilihlah sendiri yang kau suka,” ujarnya seraya membuka lemari penyimpanan.

    Untuk kedua kalinya dia benar. Tampaknya memang kualitas flute mereka tidak sebaik punyaku. Selama sepuluh detik aku menatap lemari penyimpanan kemudian menjatuhkan pilihanku pada flute putih sepanjang tiga puluh centi. “Yang itu, boleh?”

    “Boleh.” Ia berjinjit untuk meraih flute pilihanku kemudian menyalakan komputer kerjanya. “Nama?”

    “Aria Ravensworth.”

    “Baik. Kalau begitu Aria,” mengangsurkan flute padaku, “semoga beruntung.”

    Tak ada kata lain yang lebih tepat untuk diucapkan selain empat kata pamungkas yang sesaat lagi akan meluncur dari bibirku. “Terima kasih banyak, Rachel.” Secepat kilat aku berlari menuju aula dan menemukan teman-temanku yang sudah siap dengan alat musik masing-masing.

    ***

    Apa aku sudah pernah bilang bahwa aku sangat tidak menyukai musim gugur?

    Well, itu sangat ironis jika kau melihat apa yang tengah aku lakukan saat ini; nongkrong sendirian di kebun Grandma. Angin bertiup sangat kencang sementara tubuhku hanya dibalut kaus, cardigan, celana jeans panjang, serta topi rajutan untuk melindungi rambutku. Kontes musik dua hari yang lalu berjalan lancar meskipun sedikit di luar dugaan. Meskipun menggunakan flute pinjaman dari seorang panitia bernama Rachel—yang ternyata dalamnya sudah berdebu—penampilanku masih luar biasa.

    Bahkan, kami mendapat juara kedua.

    Tampaknya Apollo turun tangan mengingat aku tak hentinya berdoa dalam hati.

    Aku membawa serta flute-ku dan sekaleng pringles rasa keju. Flute itu masih saja menghasilkan nada-nada sumbang dan aku mulai merasa jengkel karenanya. Kuletakkan cemilanku dan mencoba melantunkan lagu Just The Way You Are milik Bruno Mars melalui flute-ku. Suaranya masih sesumbang yang kuingat. Tapi kecuali para tumbuhan, toh disini tak ada siapa pun yang akan mengomentari permainan musikku—

    “Apa kau mencoba membunuh makhluk hidup yang tak berdaya ini?”

    —selain orang ini.

    Kuakhiri permainanku. Si cowok peterseli yang mengaku bernama tuan tidak penting itu kini berdiri di sampingku. Jemarinya menyentuh salah satu ujung daun yang tampak tersiksa akibat konser tunggalku sepuluh detik yang lalu. Mungkin aku memang benar-benar menganiaya makhluk berklorofil ini. Kulayangkan pandanganku pada figur tegap pemuda ini. Dan kusadari aku belum pernah benar-benar berbicara dengannya. Dua pertemuan sebelumnya bisa dibilang... absurd?

    “Hei,” sapaku. “Bergabunglah.”

    Ia mengikuti arah pandanganku—rumput kering tepat di sebelahku. “Kau tidak keberatan?”

    Aku tertawa mendengarnya. “Why should I?” Bagaimana mungkin aku keberatan pada orang yang telah menyelamatkan reputasiku? Well, teknisnya memang Rachel-lah yang bertindak sebagai sang salvatore, tapi aku bahkan tidak akan tahu mengenai Rachel daan flute pinjamannya kalau bukan karena orang ini.

    “Pringles?” tawarku sedetik setelah ia menghempaskan tubuhnya di sampingku.

    Ia mengambil beberapa. “Jadi, kurasa permainanmu berjalan lancar?”

    “Lancar? Well..., tidak buruk. Kami dapat juara kedua.”

    Kedua alisnya bertaut. “Itu hebat sekali. Pantas saja kau digadang-gadang sebagai ratu musik. Penilaian mereka memang tepat.”

    Ratu musik? Istilah itu hanya digunakan oleh teman-temanku di perkemahan blasteran. Cecilia dan teman-temanku disini tak menjulukiku dengan predikat itu. Pikiranku mulai berspekulasi macam-macam. Mungkinkah orang ini adalah jelmaan makhluk baik yang dikirim dari tartarus? Aku berjengit memikirkan kemungkinan itu. Pemuda ini terlalu manis untuk menjadi seekor monster, tapi kau tahu pepatah ‘don’t judge a book by its cover’ memang benar adanya.

    Aku mengangkat bahu. “Mereka? Mereka siapa?”

    “Mereka ya mereka.” Ia menjawab cuek seraya menyomot keripikku.

    Maka aku berpura-pura tak peduli. Ini liburan musim gugur, cukup musim panasku saja yang menguras adrenalin. Terkadang ketidaktahuan menyelamatkanmu.

    “Bagaimana flute-mu?”

    “Kau dengar permainanku tadi,” jawabku. Aku yakin sorot mataku terlihat agak sedih saat ini. Faktanya, aku merasa sangat sengsara dan bersalah. Mom bahkan belum tahu.

    “Ceritakan.”

    “Apanya?”

    “Tentang flute-mu.”

    “Oh.” Aku menghela nafas panjang sebelum memulai. Mungkin ceritaku ini bisa diberi judul ‘kisah sebuah flute yang berakhir tragis’, terserah. Aku sendiri tak tahu mengapa aku mematuhi titah pemuda ini. Esensi perkataannya sangat... kuat. Sehingga aku merasa bahwa tidak mematuhinya adalah sebuah kesalahan.

    “Flute ini hadiah dari ibuku saat ulang tahunku yang ke-sepuluh. Sejak kecil aku sangat menyukai musik dan kusadari aku berbakat. Mom sangat senang dengan ketertarikanku pada bidang musik, dia bilang aku serupa dengan ayahku. Flute ini sangat berharga bagiku.”

    “Mengapa?”

    “Aku memainkannya hampir setiap hari dalam enam tahun terakhir. Ia bahkan pernah menyelamatkan nyawaku.”

    Ia tampak bingung. Demi ayahku yang ganteng, aku tidak bohong soal itu. Bukan secara magis atau bagaimana. Kala itu sebuah sore yang menyengkan di musim semi dan seekor cercopes menerobos melalui halaman belakang rumahku. Niatku saat itu adalah meraih busurku—hadiah dari ayahku—yang notabene merupakan alat pertahanan diri nomor satu dalam daftarku dan melesatkan tiga anak panah sekaligus kepada si monster berkepala monyet. Apa boleh buat, manusia yang berencana, nasib berkata lain. Aku sedang bermain flute dan secara refleks kupukulkan saja alat itu pada kepala monyetnya kemudian aku lari dan menyeret Trevor.

    Tentu saja aku tak mungkin bicara jujur. Bisa-bisa aku diantar ke psikiater.

    “Well, saat itu ada... perampok? Yeah, perampok dan aku panik, kemudian kugunakan ia untuk memukul kepalanya.” Terdengar lebih masuk akal, isn’t that?

    “Wow, flute yang... kuat.” Ia tertawa sesaat. “Kau menggunakan kata ganti ‘ia’ seolah-olah flute-mu memiliki nyawa.”

    “Sudah kubilang, flute ini sangat berharga bagiku,” kataku sungguh-sungguh.

    “Kelihatannya kau sangat berbakat.”

    That is so true. Tentu saja aku tidak melisankannya, bisa-bisa ia menarik kembali kata-katanya. Aku mengulum senyum tipis sebagai respon atas pujiannya.

    Pandangannya jatuh pada benda dalam genggamanku. “Jadi, apa yang akan kau lakukan pada flute itu?” tanyanya.

    “Entahlah.” Aku juga tidak tahu. Bahkan memberi tahu Mom saja aku belum. “Ada ide?”

    Ia memasang wajah berpikir seraya menggaruk belakang kepalanya. Gestur paling umum yang dilakukan orang-orang saat menghadapi ujian kalkulus tingkat lanjut. Aku bahkan tak lulus ujian kalkulus tingkat dasar. “Hmm, simpan di museum? Mengingat betapa besar jasa benda itu padamu, kurasa itu tindakan yang bijaksana,” usulnya diakhiri tawa renyah di akhir kalimat.

    “Hmmm, entahlah. Bagaimana kalau membakarnya kemudian menyimpan abunya di dalam toples?”

    “Ide bagus, mungkin sebaiknya kau mengawetkannya dengan air keras.”

    Kami tertawa bersama. Mungkin orang lain dengan selera humor minim hanya akan menatap kami dan berkata apa-sih-kalian. Bah, hanya orang-orang tertentu yang bisa memahami hal semacam ini. Aku nyaris tersedak pikiran-pikiran gila lainnya.

    “Mendandaninya seperti manusia?”

    “Gadis pintar! Sekalian minta ayahmu memberinya nyawa.”

    Hening. Dalam keadaan normal lelucon itu pasti sudah membuatku tertawa terbahak-bahak—seandainya ia tidak menyinggung topik tentang ayahku dan memberi nyawa. Pertama, ayah merupakan subjek pembicaraan yang sangat sensitif bagiku mengingat realita bahwa aku belum pernah bertemu dengannya barang sekali pun seumur hidupku. Kedua, ayahku memang bisa menghidupkan benda mati. Tentu saja ia adalah seorang dewa yang diberkahi mukjizat-mukjizat di luar kemampuan manusia.

    Hipotesisku ada dua. Aku yang terlalu sensitif atau dia tahu sesuatu tentang ayahku.

    Dan berdasarkan pengalaman, sekarang adalah saat yang tepat untuk pergi.

    Aku bergegas bangkit dari tempatku duduk. “Err, kurasa aku harus pergi sekarang. Nenekku—hmm, menunggu.”

    “Tunggu.” Ia bergegas menyamakan posisinya denganku. “Simpanlah ini,” ujarnya seraya mengangsurkan kotak hadiah berpita.

    “Ini...?”

    “Untukmu, simpanlah.”

    Aku mengerjap cepat namun tangan kananku tetap bergerak meraihnya. Berat. “Terimakasih. Jadi... sampai nanti? Nice to see you, though.

    Aku bergegas menuruni bukit tanpa menunggu jawabannya. Mungkin agak sedikit tidak sopan. Meskipun instingku mengatakan bahwa ia orang yang baik, sebagai demigod nyawaku selalu terancam. Bersikap hati-hati tampaknya adalah sikap yang cukup bijaksana.

    “Nice to see you too, my Aria.”


    Apakah telingaku menipuku? Suaranya... tak asing, dan diksi yang digunakannya... my Aria? Aku bahkan terlalu takut untuk menoleh. Kupaksa tungkai kembarku melangkah hingga pagar perkebunan hingga kurasa distansi yang memisahkan kami sudah cukup jauh. Kuhirup oksigen sebanyak-banyaknya hingga rongga paru-paruku terasa penuh kemudian kulayangkan kembali pandanganku padanya.

    Dia sudah tak ada disana.

    Demi Zeus sang penguasa langit, apa cowok itu memang selalu pandai menghilang begitu saja? Kurasakan kotak dalam genggamanku—tidak raib layaknya pemberinya. Aku terlalu takut untuk mencari tahu. Aku bergegas meninggalkan perkebunan tanpa mengunci pagarnya, tanpa menoleh ke belakang. Home sweet home, Aria’s coming.

    ***

    Sayup-sayup kudengar suara tawa dari dalam. Entah itu suara Mom, Grandma, atau pun televisi. Rasa aman menjalari tubuhku sesaat setelah telapakku menjejak teras rumah kami. Detak jantungku tak lagi kacau balau. Aku sudah berdiri di ambang pintu ketika kulayangkan lagi kedua mataku pada kotak hadiah di tanganku.

    Jika kotak ini kubawa masuk, Mom akan bertanya macam-macam. Ia akan berspekulasi bahwa ini adalah hadiah dari cowok yang kukencani dan ia akan menggodaku sampai wajahku terlihat seperti tomat. Kuputuskan untuk melihat isinya terlebih dahulu.

    Retinaku menangkap sebuah benda berwarna silver kira-kira sepanjang empat puluh senti, memiliki banyak lubang berinterval dua senti. Aku terkesiap.

    Flute.

    Flute keemasan yang bercahaya. Tak mungkin aku tak membawanya. Dengan sangat perlahan kuputar kenop pintu. Aku disambut oleh aroma pancake yang menggiurkan. Seulas senyum tersungging di bibirku.

    “Hai,” sapaku pada Mom dan Grandma. “Aromanya lezat sekali Mom.”

    “Hai, my dear. Aku sudah menunggumu. Duduklah,” balasnya ramah.

    Aku patuh dan menarik kursi makan setelah sebelumnya meletakkan kedua flute-ku di tempat yang kurasa paling tak kasat mata. Pancake Mom tampak mengesankan, tebalnya yang sempurna dan warnanya yang keemasan benar-benar menggugah selera makanku. Aku mengambil piring porselen dan garpu.

    “Kau dari mana saja, Liz?”

    Nah, kau tahu itu nenekku. Satu-satunya yang memanggilku seolah aku bangsawan cantik berambut putih. Aku berbalik menghadapnya, menunda niatku mengambil pancake.

    “Perkebunan Grandma, hanya memainkan beberapa lagu untuk para tanaman.”

    Matanya tampak berbinar. “Benarkah? Mereka pasti akan tumbuh dengan baik. Kau tahu kan, musik yang baik akan berpengaruh baik pada pertumbuhan mereka.”

    “Hmm, kurasa begitu.” Aku menyesal telah berbohong padanya. Sekarang ia akan mengelu-elukan namaku karena telah menyuburkan tanaman peterselinya. Bagaimana kalau tanaman itu justru mati? Permainan musikku tadi benar-benar mengerikan. “Grandma mau pancake? Duduklah denganku,” tawarku seraya menepuk pelan kursi makan di sampingku. Salah satu usahaku dalam mengalihkan perhatiannya.

    “Terimakasih sayang, Luce sudah memaksaku memakan tiga lapis sekaligus.” Ia mengerling ibuku kemudian tertawa renyah. Aku ikut tersenyum. “Kurasa aku ingin istirahat saja.”

    Mom menatapku.

    Oh, ya, rangkaian perintah tak langsung. Tentu saja aku harus mengantar Grandma ke kamar. Aku bangkit meninggalkan piringku yang masih kosong, menuntut Grandma berjalan ke kamarnya. Aku selalu menyukai kamar Grandma Elizabeth. Kombinasi warna pastel yang lembut, cahaya matahari yang cukup, serta wangi kayu manis yang khas. Waktu aku masih kecil, kamar ini seperti kamar keduaku. Aku yang sekarang lebih senang nongkrong di sofa di depan televisi atau bermalas-malasan di kamarku sendiri.

    Aku membantu Grandma naik ke tempat tidur kemudian bergegas kembali ke ruang makan. Ia mencegahku. “Mainkanlah musik sampai aku tertidur,” pintanya.

    Sekilas senyum bermain di bibirku. Dengan mengabaikan rasa lapar yang tengah melanda, aku mengangguk. “Sebentar ya,” jawabku. Aku mencari alat musik. Flute bukan pilihan utamaku saat ini. Pertama, flute yang rusak hanya akan membuat sakit jantung Grandma kumat. Kedua, aku tak ingin memicu pertanyaan dengan flute yang baru.

    Pilihanku jatuh pada pianika yang secara kebetulan terletak di atas televisi. Mom memandangku dengan pandangan bertanya, aku hanya melempar senyum.

    Grandma masih menunggu. Ia tersenyum senang ketika aku masuk bersama pianikaku. Kuputuskan untuk memainkan beberapa lagu klasik untuk meninabobokan nenekku. Aku bahkan lupa judul-judulnya. Aku memainkan musik berdasarkan insting. Kau harus punya darah khusus untuk memiliki kemampuanku. Waktu baru berjalan sepuluh menit dan aku bahkan belum kehabisan nafas. Grandma sudah jatuh tertidur. Aku bergegas kembali ke ruang makan.

    Mom sudah menyiapkan cemilanku. “Grandma tidur?” tanyanya. Ia duduk di sebrang tempatku.

    Aku mengangguk seraya mengoleskan sirup mapel pada makananku.

    “Jadi, bagaimana harimu?”

    Aku memilih mengunyah pancake sedikit lebih lama. Mom sudah terbiasa mendengar hal-hal aneh, ia tak lagi berjengit tatkala melihat tubuhku babak belur akibat melawan monster. Pertemuan dengan sosok aneh yang pandai menghilang itu rasanya tak akan mengejutkannya. “Aneh,” jawabku.

    “Dalam hal positif atau negatif?”

    Aku berpikir sesaat. “Positif.”

    “Bagus kalau begitu.” Meskipun sudah terbiasa, sebisa mungkin ia menghindar membicarakan topik personal kami. Aku mengambil potongan kedua pancakeku.

    “Bagaimana flute barumu?”

    “Oh ya, Mom, aku berniat memberitahumu. Fluteku sepertinya rusak—tunggu, flute baru? Aku membicarakan flute pemberianmu. Flute mana yang kau maksud?” Aku mulai bingung.

    Sekelabat senyum jahil menghiasi wajahnya. “Flute barumu, hadiah darinya.”

    Apa? Aku bergegas mengambil kotak hadiahku. Mungkinkah flute ini yang dimaksud Mom? Bagaimana mungkin ia tahu isinya flute? Aku bahkan belum benar-benar melihatnya. Kini aku percaya pada insting seorang ibu. Aku duduk di tempatku semula.

    “Maksudmu, yang ini?”

    Ia mengangguk lembut. “Bukalah.”

    Sebagai anak yang baik, aku menurut. Flute itu bagus sekali, terlihat... terang. “Ini dari...?”

    “Dia.”

    Oh terkutuklah logikaku. “Dia... siapa?”

    Mom tertawa. Aku tahu ia menertawai kemampuan berpikir putri tunggalnya. “Apollo.”

    Aku tercengang. Maksud Mom... Apollo ayahku? Bagiamana mungkin—Mom harus menjelaskan banyak hal padaku. Otakku berputar, mencoba menyatukan kejadian-kejadian yang kualami beberapa hari belakangan ke dalam satu konklusi yang masuk akal. Tunggu, semakin masuk akal sesuatu hal terjadi padaku, semakin mencurigakan hal itu.

    Mom masih menungguku mengatakan sesuatu.

    Ia menyerah, sepertinya koneksi otakku menghabiskan kesabarannya. “Aku bertemu dengannya tadi, ketika kau menidurkan Grandma, selama kurang lebih empat menit.”

    Dad berada di ruang makanku selama empat menit dan aku tidak tahu? “M-mom bertemu... Dad?”

    Mom setengah berbisik. “Ya, sayang. Dan kau juga bertemu dengannya. Tiga kali dalam seminggu ini, katanya. ia juga bilang ia baru saja menghabiskan sore yang menyenangkan bersamamu dan flute itu, hadiah darinya untukmu. Oleh-oleh langsung dari Olympus.”

    Aku benar-benar bingung saat ini. Mom tampak berbinar. Sorot matanya... sorot mata orang yang jatuh cinta. Kurasa aku mulai mengerti inti dari keseluruhan kejadian ini. “Jadi, apakah—apakah cowok asing yang kutemui itu...”

    “Dad? Ya, kau tahu para dewa bisa mewujud sesuai kehendak mereka.”

    Kuletakkan kedua tanganku di mulutku. Aku bergegas bangkit dan mengambil flute lamaku kemudian menyandingkannya bersebelahan dengan flute baruku. Aku menatap Mom, kemudian flute-flute di atas meja. Bisa kurasakan air mata mulai menggenang pada mataku. Bahkan air mata Mom telah mengalir pada pipinya.

    “Ia... bersinar.” Kutatap Mom lekat-lekat. “Mom, apakah kau... masih mencintainya?”

    Ia mengangguk tulus. “Selalu, dear. Tak pernah sedetik pun tidak.”

    Dan tangisku pun pecah.
    ***

    Pola pikirku telah banyak berubah saat ini

    Aku tak lagi membenci anak-anak yang bersikap tak pantas pada ayahnya

    Aku mengerti, seberapa pun menjengkelkannya semua itu di mataku, itu bukan lah cerminan perilaku tak bersyukur atas kasih sayang yang telah mereka dapatkan

    Aku tahu keluargaku berbeda

    Aku tahu ayahku spesial

    Eksistensinya sangat nyata bagiku

    Setiap kumainkan flute darinya, Dad seolah berbicara kepadaku

    Setiap kugunakan busur pemberiannya, Dad seolah melindungiku

    .

    .

    Dan meskipun aku hanya pernah bertemu dengannya satu kali, sekali itu pun dalam wujud yang lain

    aku tak peduli—aku sangat menyayanginya.



    fin

    No comments:

    Post a Comment