Monday, August 29, 2011

Loser Like Me

28 Agustus 2011
Glee © Ryan Murphy
Central Character: Rachel Berry
Additional: New Directions, Will Schuester, Shelby Corcoran, Mr. Berry
Title © Glee's original song; Loser Like Me
Story © Khairunnisa Putri Kanhida


 
Mungkin saat ini adalah saat dimana waktu berjalan seperti siput bagi Rachel Berry. Bukan, bukan seperti siput. Bahkan siput pun berkali-kali lipat lebih cepat dari ini.

Sementara degup jantungnya kini bertempo presto, pandangannya terus menerus jatuh pada jam dinding besar yang sewarna dengan dinding tempatnya melekat. Keringat mengucur melalui pelipisnya. Bahkan ia tidak peduli pada kemungkinan bahwa cairan itu dapat merusak lapisan make up yang telah melekat sempurna pada wajahnya. Satu-satunya fokusnya hanyalah jarum jam yang sepertinya tengah bergerak dalam kecepatan satu meter per jam.

Mungkin ini adalah sepuluh menit terlama sepanjang enam belas tahun hidupnya di dunia.

“Tes, tes.” Sebuah suara memecah rasa gugup yang kini menguasai dirinya. Seseorang dengan tuksedo hitam dan dasi kupu-kupu tengah menepuk halus ujung microphone, memastikan alat elektronik tersebut masih berfungsi dengan baik. Seorang juri, mungkin? Kemudian seseorang mengangsurkan amplop putih bersegel perak padanya.

Kini jantungnya tak lagi berpacu pada tempo presto, melainkan prestissimo. Kedua matanya terpejam rapat. Telinganya seolah enggan mendengar apapun yang bertentangan dengan kehendak otaknya. Bahkan mulutnya yang biasa mengalirkan beribu-ribu kata kini terkunci rapat.

Rachel Berry sedang terkena serangan panik.

“Pertama-tama, kami selaku pihak penyelenggara mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya pada seluruh peserta yang telah berpartisipasi dalam kompetisi bernyanyi Broadway tingkat regional.”

Ya tuhan tolonglah....

“Kami sangat bangga menyaksikan bakat-bakat yang dimiliki para peserta disini. Hampir seluruh peserta telah menampilkan kemampuan terbaik mereka. Namun, hanya ada satu pemenang.”

...Nah.

“Dan pemenangnya adalah...”

Tidak bisakah mereka mengulang prelude sehingga tak perlu ada pengumuman pemenang?

“...Sunshine Corazon dari Carmel High....”

“Tidak,” sanggah Rachel lirih. Tak seorang pun selain dirinya dapat mendengar penolakan tersebut.

Tidak mungkin ia kalah dalam kompetisi ini. Ia tumbuh mendengarkan dan menyanyikan lagu-lagu bertema Broadway. Karir bernyanyinya selalu terinspirasi oleh Barbara Streissand, bintang Broadway ternama di dunia. Masa depannya adalah tinggal di New York, menjadi aktris broadway ternama, dan bernyanyi di stage of Wicked. Broadway adalah hidupnya.

Adalah tidak mungkin ia dikalahkan oleh Sunshine Corazon.

“Rachel?” Timbre merdu Shelby Corcoran menyentakkannya kembali ke realita.

“Mom.”

“Kau baik-baik saja?” tanyanya khawatir.

“Y-ya.”

Shelby menatap putri sematawayangnya lekat-lekat. Meskipun nyaris tidak pernah menghabiskan waktu bersama sebagai ibu dan anak, wanita itu yakin bahwa putrinya tidak baik-baik saja. Putrinya yang ambisius tidak mungkin menganggap kekalahannya sebagai hal yang biasa.

“Aku tahu kau tidak baik-baik saja.”

Rachel menghela nafas dalam-dalam. “Aku merasa seperti pecundang.”

“Rachel, aku menyesal kau tidak menang. Penampilanmu bagus sekali, kau tahu? Para juri sangat terkesan dan nilaimu hanya selisih beberapa poin dari Corazon. Kau tidak perlu merasa

“Aku ingin pulang, Mom,” sanggahnya.

Shelby mengangguk singkat. “Kuantar kau pulang,” ujarnya tanpa memberikan opsi ya dan tidak bagi Rachel. Ia merangkul putrinya dan membawanya berjalan menuju tempat parkir.
***

Lima hari telah berlalu sejak kompetisi bernyanyi Broadway berakhir dan Rachel Berry masih belum masuk sekolah. Dari yang diceritakan ayah-ayahnya, Rachel menghabiskan waktunya meringkuk di dalam kamar, menolak makan, bahkan menolak bernyanyi.

Kurt menganggap ini sebagai situasi gawat darurat. Rachel yang dikenalnya akan membunuh demi mendapat kesempatan bernyanyi solo. Ia mengutarakan kekhawatirannya pada anggota Glee yang lain dalam suatu sesi latihan mereka.

“Tak ada yang lebih gawat dari seorang Rachel Berry yang menolak bernyanyi,” ujarnya dramatis.

Mercedes membelalak tak percaya. “Itu tak akan terjadi, Kurt.”

“Sayangnya, itu yang sedang terjadi, Mercedes.”

“Mungkin itu bukan Rachel?” usul Santana. Tidak membantu sama sekali.

“Ya, jangan mengada-ngada begitu,” tambah Quinn.

Kurt melipat kedua lengannya di dada dan menatap teman-temannya dengan pandangan skeptis. “Itu maksudku, Rachel yang kita kenal mungkin akan mogok makan, tapi ia tak akan mogok bernyanyi. Dengar, kita harus lakukan sesuatu untuk mengembalikan semangatnya.”

Santana mendengus keras. “Kau tahu, mekipun ia sering kali membuat telingaku sakit dengan berbagai ocehannya, jujur saja aku sedikit merindukannya. Aku setuju, bagaimana caranya?”

Kurt berpaling pada Finn. “Finn, kau pacarnya. Bagaimana kondisi Rachel sekarang?”

“Aku datang ke rumahnya dan ia menyuruhku pulang,” jawab Finn enteng.

“Dan kau pulang begitu saja? Demi tuhan Finn, tidakkah seharusnya kau berusaha lebih keras?”

“Hei, aku sudah berusaha! Kau kenal Rachel, ia sangat ambisius dan kekalahan itu membuatnya sangat kecewa. Dia sangat menginginkan trofi itu, kau tahu? Ia merasa seperti loser, mungkin ia butuh waktu untuk sendiri.”

“K

“Kenapa dia menginginkan trofi bodoh seperti itu? Kau bisa membelinya di toko,” sela Brittany.

Hening.

“Kau jenius Brittany.” Kurt berbinar bahagia. “Kalian setuju?” tanyanya pada semua orang. Tampaknya semua orang memikirkan hal yang sama.

“Terimakasih, aku memang suka cupcakes.”

Semua orang kecuali Brittany.
***

“Rachel, keluarlah dan lakukan sesuatu yang berguna,” seru Mr Berry seraya menyingkap selimut merah muda yang menyelubungi tubuh putrinya.

“Hmm I’m going to marry my bed, Dad.”

“No, you’re not. Sekarang cepat berpakaian yang rapi, teman-temanmu sedang menunggu di luar.”

“Teman-teman ap

“Sepuluh menit, Rach,” sergah ayahnya kemudian bergegas meninggalkan kamar bernuansa girly tersebut. Memberikan waktu bagi putrinya untuk berpakaian yang layak.

Rachel sungguh enggan bangkit dari sarangnya yang nyaman. Terlebih lagi untuk menemui teman entah siapa itu yang tengah menunggunya di luar. Ia meraih terusan selutut bercorak polkadot dari lemarinya kemudian mendudukkan dirinya di kursi meja rias. Lihat betapa kacau dirinya saat ini. Dioleskannya foundation pada wajahnya dan lip balm pada bibirnya. Tidak jauh lebih baik.

Menyerah, ia bangkit dan menyeret dirinya menuju kamar mandi. Sedikit percikan air dingin mungkin dapat membuatnya terlihat lebih segar. Mungkin ayahnya benar, ia perlu melakukan hal lain yang sedikit berguna. Mungkin saja saat ini pita suaranya sudah mengalami defisiensi fungsi.

Mengecek penampilannya sekali lagi, Rachel mengangguk singkat pada refleksi dirinya yang dipantulkan oleh cermin. Sepuluh menit yang diberikan ayahnya akan habis dalam dua detik. Tungkai kembarnya kini melangkah meninggalkan ruangan berdekorasi manis yang akhir-akhir ini tak pernah ditinggalkannya sama sekali.

Ruang tamu.

Retinanya menangkap sosok teman-temannya yang tengah menunggu.

Finn, Kurt, Mercedes, Quinn, Brittany, Santana, Sam, Puck, Mike Chang, Tina, Zizes, dan Mr. Schuester. New directions full team. Sebuah kurva ganda merekah di bibirnya. Betapa dirinya sangat merindukan mereka. Merindukan kehadiran mereka, suara mereka, bahkan pertengkaran-pertengkaran mereka. Dilihatnya mereka semua tersenyum padanya. Bahkan Santana. Bahkan Finn, setelah ia dengan jahatnya menolak kunjungan kekasihnya beberapa hari yang lalu.

“Guys....” ujarnya lirih.

Kurt yang pertama bangkit diikuti beberapa yang lain. Ia memeluk Rachel dan berbisik tepat di telinganya, “kami merindukanmu”. Ia nyaris menangis menyaksikan sikap sahabat-sahabatnya. Kemudian Mr. Schuester angkat bicara.

“Jangan menangis dulu, kami punya sesuatu yang mungkin menghibur.”

Rachel memosisikan dirinya di antara Finn dan Kurt sementara Kurt sibuk mempersiapkan kejutan yang dimaksud. Brittany menyorongkan sebuah kantong besar dan Kurt bersiap mengeluarkan isinya. “Kau siap?” tanyanya sambil melempar senyum misterius. Rachel mengangguk tak sabar.

.
.

“Oh!” Rachel terkesiap.

Sebuah mahkota dan trofi berwarna emas.

Dengan sangat perlahan, Kurt menyematkan mahkota itu di kepala Rachel dan memerintahkan Quinn untuk memotret mereka. Rachel tertawa keras selagi sahabatnya menyerahkan trofi dengan gaya dramatis. Trofi itu bertuliskan “Selamat, Rachel Berry. Penyanyi terbaik menurut kami.”

Terharu.

Tidak, lebih dari sekedar terharu. Senang.

Luar biasa senang.

Mr. Schuester angkat bicara. “Kau lihat Rachel, kau bisa membeli trofi dan mahkota di toko pesta. Tidak berarti banyak bukan?” tanyanya. “Dengar, aku tahu kompetisi itu sangat berarti bagimu tapi kalah dan menang itu biasa. Dan kalah, itu wajar. Kau tidak perlu merasa sedih berlarut-larut atau mengurung diri di kamar selama berhari-hari. Ingat lagu kita, ‘Losers Like Me’? Tidak ada salahnya menjadi itu sekali-sekali, Rach. Bernyanyilah lagi, kami semua merindukanmu.”

Rachel terisak pelan. “Bukankah kita saling benci satu sama lain?” tanyanya, setengah bercanda.

“Kau tahu, kupikir juga begitu. Entah kenapa aku merindukan ocehan serta sikapmu yang menyebalkan.” Santana berkata terus terang.

Brittany mengangguk setuju. “Benar. Kita selalu bertengkar, mencuri pacar satu sama lain, tapi itu yang terjadi pada keluarga bukan?”

Rachel tertawa lagi, kali ini diikuti seluruh anggota New Directions. Pandangannya terkunci pada trofi dalam genggamannya, pada Finn, kemudian pada teman-temannya. Adalah benar ia tidak menyukai Santana, ia sering bertengkar dengan Mercedes hanya untuk memperebutkan giliran bernyanyi, ia menganggap Quinn sebagai saingan dalam memperebutkan Finn, dan lain sebagainya. Namun seperti yang dikatakan Brittany, itulah yang terjadi pada keluarga.

Tangisnya pecah.

Tangis haru, tangis bahagia, dan entah tangis apalagi, seluruhnya tumpah dalam derasnya air mata yang mengalir di wajahnya. “S-siapa yang punya ide seperti ini?” tanyanya sambil menggerakan mahkota yang tersemat di rambutnya.

Teman-temannya menjawab serentak.

“Brittany.”


FIN

No comments:

Post a Comment