Sunday, November 27, 2011

Ware Liefde

  • Kangen nulis bangeeeeeeeeet! School is getting crazier each day and am more than just happy to finally finalize this story :D
  • It's nothing like my usual stories. I was reading history and boom! This idea just came up all of a sudden. Semoga cukup baik ya hasilnya, risetnya kurang mendalam karena di internet cuma gitu-gitu doang, terus udah tanya-tanya nenek tapi beliau ga tau banyak tentang Tasikmalaya. Beliau sendiri baru lahir akhir 1930an.
  • Also, this doesn't have anything to do with romance tapi entah kenapa semakin ditulis semakin pengen ngejadiin Darisa sama Seno hahaha mungkin nanti bakal buat cerita pas Darisa masih di Belanda juga, udah dapet banyak referensi dari Faya :D
  • Well, too much to say, aren't I? :p Enjoy! Critics would be soooo lovely <3

Ware Liefde
Darisa menyapukan pandangannya pada jam dinding berdebu berusia puluhan tahun yang diletakkan di atas lemari makan. Kalau benda kuno itu masih berfungsi dengan baik, maka saat ini adalah pukul delapan pagi waktu Indonesia barat. Ia bangkit berdiri dan berjalan menuju teras depan, berusaha mengusir rasa kantuk yang begitu kuat menghinggapinya. Namun, semilir angin yang bertiup lembut justru membuatnya merasa semakin ingin tidur.
“Ris, pagi-pagi kok udah ngantuk aja? Semalam begadang ya?”
Darisa menoleh cepat, mendapati sosok Bi Murni, adik kandung ibunya, tengah berdiri di ambang pintu. “Masih jet lag Bi, maklum kalau di Belanda sekarang baru jam dua pagi, jadi masih ngantuk gini deh.”
Jet lag? Apa tuh artinya?”
“Hmm, jet lag itu... apa ya, jadi masih kebawa kebiasaan disana gitu Bi. Kan disana sekarang malem, biasanya aku lagi tidur, makanya sekarang jadi ngantuk.”
Bi Murni manggut-manggut meskipun Darisa tak yakin wanita itu mengerti maksudnya. Wanita itu sangat sederhana dan hampir tidak mengenal dunia luar, sangat bertolak belakang dengan mamanya Darisa yang merupakan wanita karir dan cenderung menganut gaya hidup hedonisme.
“Yaudah kamu tidur-tiduran aja dulu sambil nunggu, tadi kakek baru selesai mandi. Habis sarapan baru kamu bisa ngomong sama kakek.”
Darisa mengangguk setuju. Bicara dengan kakek adalah misi utamanya datang ke Tasikmalaya. Belum genap seminggu Darisa tiba di Indonesia setelah setahun penuh mengikuti program pertukaran pelajar di Belanda, ibunya sudah memintanya untuk datang ke kediaman kakek di Singaparna, Tasikmalaya. Padahal, ia masih harus bolak-balik ke kantor pusat bina antar budaya dan kedutaan besar Belanda untuk mengurus dokumen-dokumennya.
Menurut hasil diagnosa dokter, kakek divonis menderita kanker paru-paru stadium terakhir. Belakangan ini, kakek yang sewaktu mudanya merupakan salah satu prajurit dalam perang melawan Belanda dan Jepang, sering mengigau dalam bahasa Belanda. Sejak beliau lahir pada tahun 1923, wilayah Tasikmalaya telah berada di bawah kekuasaan Belanda sehingga bahasa yang populer di kalangan masyarakat pada saat itu merupakan bahasa Belanda.
Karena hasil pemeriksaan dokter menyatakan bahwa waktu hidup kakek tak akan lebih dari satu tahun lagi, seluruh anggota keluarga menganggap igauan yang terus-menerus beliau lisankan merupakan kata-kata terakhirnya. Oleh karena itu, Mama dan Papa meminta Darisa datang ke Tasikmalaya dan berbicara dengan kakek.
“Darisa,” panggil kakek dengan suara parau. Beliau berjalan mendekati Darisa dengan bantuan tongkatnya, tertatih-tatih. Darisa buru-buru bangkit dan menghampirinya.
Goede morgen, Kakek,” sapa Darisa seraya membantu kakek duduk di kursi tamu.
Kakek tak menjawab, hanya mengangguk sopan ke arah cucunya. Dadanya naik turun kelelahan. Tampaknya perjalanan dari kamarnya ke teras cukup berat bagi kinerja paru-parunya. Beliau menatap pepohonan rindang yang berderet rapi di halaman dengan pandangan menerawang. “Ik mis...,” ucapnya lirih. Saya kangen.
Darisa menjawab spontan, “Ik heb ook mis Kakek.” Saya juga kangen Kakek.
Waar is ze?” Pandangan kakek kini tertuju pada Darisa, yang tengah berpikir keras mengenai maksud pertanyaan kakeknya. Where is she.
Who is she? “Wie is zij?” tanya Darisa penasaran.
Ze is ver weg van hier,” jawab Kakek kemudian bangkit berdiri dan berjalan meninggalkan cucu perempuannya. Kali ini Darisa tak bangkit untuk membantunya, ia hanya menatap penuh tanya punggung kakeknya yang kini telah menghilang di balik pintu. Kata-katanya membuat Darisa semakin bingung akan arah pembicaraan mereka.
Ze is ver weg van hier, dalam bahasa Indonesia artinya: ia sangat jauh dari sini.

***

Jam digital pada ponsel Darisa menunjukkan pukul sepuluh tiga puluh ketika pintu kamarnya diketuk dari luar. Darisa melepaskan earphone yang tersangkut pada telinganya dan bergegas membuka pintu. Bi Murni, dalam balutan daster rumah bermotif bunga, tersenyum meminta maaf.
“Ris, maaf ya Bibi bangunin kamu jam segini, tapi kakek ngigau lagi, mungkin kamu ngerti.”
Darisa menggeleng pelan. “Nggak apa-apa Bi, aku emang belum tidur kok. Yaudah yuk kita ke kamar kakek.”
Di kamarnya yang luas namun sederhana, kakek terlihat begitu tenang. Irama nafasnya teratur dan sesekali diselingi dengkuran halus. Darisa dan Bi Murni menajamkan indra pendengarannya dan menunggu.
Ware liefde... Ik hou van je.... ware liefde.
“Risa, kamu ngerti ngga?” bisik Bi Murni.
“Ngerti, Bi.” Darisa balas berbisik. “Keluar yuk Bi, takut ngebangunin kakek,” ajaknya sambil melangkah ke ruang tengah. Di belakangnya, Bi Murni menyusul, berusaha tak menimbulkan suara sedikit pun.
“Cinta sejati, saya cinta kamu, cinta sejati. Itu kata kakek.”
Kening Bi Murni berkerut heran. “Maksudnya nenek? Cinta sejati kakek itu nenek kan Ris?”
Darisa berpikir cukup lama kemudian mengangkat bahunya. “Nggak tahu Bi, kalau feeling aku sih kayaknya yang dimaksud kakek bukan nenek. Bibi tidur aja ya, udah malem. Nanti besok aku ngomong lagi sama kakek.”
Meskipun tampak tidak setuju dengan pendapat Darisa, Bi Murni memilih mengangguk dan mengikuti anjuran keponakannya. Ia melangkah ke kamarnya dan kembali tidur. Sementara itu, Darisa justru tidak mengantuk (lagi-lagi karena jet lag, apalagi di Belanda saat ini masih pukul empat sore). Ia meraih ponsel untuk menelepon ibunya.
Assalamu’alaikum,” sapa suara di ujung sana. “Belum tidur sayang?”
Wa’alaikumsalam, belum. Ma, tadi kakek ngigau lagi, kalau aku ngga salah nerjemahin kakek bilang: cinta sejati, saya cinta kamu,” cerocos Darisa cepat namun pelan.
Mama diam cukup lama sebelum menjawab. “Mungkin kakek kangen nenek?”
Darisa menahan senyum geli mendengarnya. Pertanyaan yang sama persis dengan yang terlontar dari mulut adiknya, Bi Murni. “Nggak tau kenapa tapi aku yakin itu bukan nenek. Mungkin ga sih kakek punya istri lain? Siapa tahu poligami gitu.”
“Hush! Sembarangan kamu. Punya istri lain sih engga, tapi Wa Ahmad pernah cerita sama Mama, sebelum kakek dijodohin sama nenek, kakek selalu bareng sama perempuan Belanda. Mungkin itu?”
Darisa termenung cukup lama. Sepotong kalimat yang barusan didengarnya menggugah rasa ingin tahunya. Entah mengapa, ia yakin ada wanita lain dalam hidup kakek. Wanita yang saking berharganya sampai terbawa ke alam bawah sadar kakek.
“Ris, Mama mau tidur ah, udah ya, kamu tidur juga gih. Kalau masih jet lag makan obat pusing aja, minta sama Bi Murni. Assalamu’alaikum.”
Wa’alaikumssalam.”

***

Aroma kopi yang begitu kuat terbawa oleh semilir angin pagi dan seketika menusuk hidung Darisa. Dengan kantuk yang masih tampak jelas pada bola matanya, ia menyapukan pandangan pada halaman depan rumah kakek. Nuansa kehijauan yang berpadu dengan kicauan burung-burung terasa begitu menyejukkan.
Darisa menarik kursi tamu dan menatap hidangan pagi yang telah terhidang pada meja kayu mungil di hadapannya. Kedua matanya melebar bersemangat menatap sepiring penuh surabi khas Tasikmalaya yang tampak sangat menggiurkan. Ukurannya besar-besar dan masih hangat. Darisa kemudian mengalihkan pandangannya pada secangkir kopi hitam pekat di samping piring surabi. Ia tidak suka kopi.
Pernah sekali waktu, Esakakak kandungnya, mentraktir Darisa kopi dengan harga paling mahal di sebuah kedai kopi ternama di ibu kota. Kedai tersebut dipenuhi figura-figura besar yang berisikan tanda tangan para public figure yang pernah menikmati kopi di tempat tersebut. Sayangnya, Darisa tetap tidak suka kopi. Ketika hendak berjalan pulang, ia mencibir tak setuju tatkala membaca testimoni yang diberikan para artis tersebut.
Sekali lagi Darisa menatap cangkir kopinya. Kali ini ia memutuskan meminumnya walaupun hanya beberapa teguk, sekedar untuk menghargai Bi Murni yang telah repot-repot menyiapkannya sekaligus berusaha menyingkirkan rasa kantuknya. Di luar dugaan, Darisa cukup menyukainya. Minuman berkafein ini kental dan memiliki rasa yang kuat, jauh lebih enak daripada hot americano kesukaan Esa.
Darisa tersenyum senang dan kembali meneguk kopinya. Tanpa sadar, sosok seorang pemuda bertubuh tinggi dan atletis tengah berdiri di depan pintu pagar.
Assalamu’alaikum,” sapanya ramah. Seulas senyum bersahabat tersungging di bibir pemuda itu.
Wa’alaikumssalam, sebentar.” Darisa meletakkan cangkir kopinya dan bergegas membukakan pagar besi sederhana yang tingginya hanya sebatas pinggang orang dewasa. Sekilas, gadis itu meneliti figur tampan di hadapannya. Wajahnya bersih, rambutnya dipangkas cepak, dan tubuhnya cukup berotot. Ia tersenyum dan mempersilakan pemuda itu bergabung di tempatnya duduk.
“Cari siapa ya?”
“Cari kakek yang tinggal disini, ada?”
Kening Darisa berkerut heran. Ia mengerling ke dalam rumah, tepatnya ke kamar kakek. Keadaan rumah masih sunyi. Sepertinya kakek masih tidur. “Habis solat subuh kakek tidur lagi, biasanya baru bangun jam delapan atau sembilanan, ada perlu apa ya...?”
“Seno,” sahut pemuda itu cepat. Tampak menyesal belum memperkenalkan diri sebelumnya. Ia mengulurkan tangan ke arah Darisa.
Darisa menyambut uluran tersebut. “Darisa,” ujarnya mantap seraya menuangkan kopi dari ketel pada gelas bening yang masih kosong dan menyodorkannya pada Seno. “Jadi, Seno ada perlu apa sama kakek?”
Seno tersenyum charming sebelum menjawab. “Gini, kemarin kakek itu berdiri aja di depan rumahku. Ada kali sekitar dua puluh menit beliau cuma bengong ngeliatin rumah. Akhirnya aku tanya, kakek bilang dia lagi nunggu seseorang yang tinggal di rumahku. Aku tanya lagi, siapa yang dimaksud kakek kamu, dia bilang ‘awewe nu geulis pisan’. Kamu ngerti artinya?”
Darisa mengangguk cepat. Walaupun penampilannya terlihat sangat metropolitan, gadis ini sebenarnya keturunan Sunda asli. “Cewe cantik.”
“Yup, aku tanya orang tuaku tapi mereka bilang sebelum keluargaku nempatin rumah itu, penghuni sebelumnya ga ada perempuannya. Karena penasaran, aku tanya-tanya sama Banyu, anak kepala desa sini yang kebetulan seumuran sama aku. Dia bilang, sebelum dijadiin rumah dinas TNI, rumah ini kosong sejak kemerdekaan Indonesia. Makanya aku tambah penasaran, abis kakek kamu yakin banget.”
Keheningan yang cukup lama hadir di antara mereka. Baik Darisa maupun Seno sama-sama tenggelam dalam spekulasinya masing-masing.
“Ini diminum ya?” tanya Seno memecah keheningan. Darisa mengangguk cepat.
“Menurut kamu, yang dimaksud kakekku itu sebenarnya siapa?”
Seno tak langsung menjawab. Ia menyeruput kembali kopinya dan mengenyakkan tubuh pada sandaran kursi. “Jangan-jangan... penunggu misterius di rumahku?”
“Apaan sih!” sergah Darisa cepat. Matanya membelalak lebar ketakutan. Darisa paling tidak mau percaya hal-hal mistis seperti itu. “Yang serius dong Seno, kakek mungkin memang agak ngaco, tapi masa dia nungguin itu sih?”
Seno tertawa puas. Sorot matanya yang jenaka kini memandang Darisa setengah tak percaya. “Masa sih kamu percaya?” tanyanya lagi, kemudian rautnya berubah serius. “Nenek kamu mungkin?”
That’s definitely the first speculation that comes up to everyone lately.”
Seno tersenyum masam mendengar jawaban Darisa. Dari pernyataan tersebut, ia yakin hipotesa tersebut salah dan bukan yang pertama. “Kasih petunjuk lain dong,” pintanya.
Darisa tersenyum simpul. Gesturnya yang semula kaku karena penasaran dan bingung kini berangsur rileks. Ia mencomot sebuah surabi yang sudah agak dingin dan mulai menikmatinya dengan lahap. Di sela-sela kunyahannya, ia mulai bercerita, mulai dari dipanggilnya ia secara khusus untuk menerjemahkan igauan-igauan kakek hingga isi igauan-igauan yang setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pun tetap membuatnya bingung.
“Aku sih tetep yakin, ada perempuan lain sebelum nenek. Ya cinta sejatinya kakek ini, cuma ga ada yang tau itu siapa. Lagipula, bibi dan mamaku yakin kalau itu nenek.” Darisa mengakhiri penuturan panjangnya dengan mantap. Ia kembali menikmati hidangannya.
Tepat di hadapannya, Seno menyimak penuh konsentrasi sampai tak sadar kalau ia telah meneguk habis kopi hitamnya. Ketika Seno meneguk lagi gelas kosong tersebut, Darisa tergelak spontan dan buru-buru menuangkan kopi untuk pemuda itu. Mereka sama-sama menahan tawa geli.
“Aku juga bingung kalau gitu. Jadi, kamu pertukaran pelajar di Belanda? Aku baru liat kamu akhir-akhir ini. Di Belanda di mananya?” tanya Seno sambil kembali menikmati kopinya.
Darisa mengangguk. “Yup, Rotterdam. Setahun kemarin aja kok, sebelumnya aku tinggal di Jakarta, lumayan sering juga kok nengokin kakek kesini. Tapi seinget aku, rumah yang sekarang kamu tempatin itu dulunya cuma diisi bapak-bapak.”
“Iya, yang aku bilang tadi. Dulunya rumah itu milik pemerintah Belanda. Sejak tahun 1987 diambil alih pemerintah dan akhirnya dijadiin rumah dinas untuk TNI AD. Aku baru pindah kesini tahun lalu.”
“Berarti papa kamu TNI juga?” Darisa memandang bergantian wajah Seno dan rumahnya.
Seno mengangguk enteng. “Iya, sebelumnya aku di Jakarta. Baru tahun ini aja pindah tugas ke daerah. Kamu di Jakarta sekolah dimana? Berarti sekarang naik kelas 12 ya?”
“Iya, SMA 8,” jawab Darisa dengan sedikit senyum bangga di wajahnya. “Kamu sendiri, sekolah atau kuliah dimana?”
“Teknik Informatika UI, baru naik tingkat dua, kebetulan lagi liburan semester
“Ada tamu Ris?”
Refleks, Darisa dan Seno sama-sama menoleh ke arah sumber suara. Kakek tengah berdiri di ambang pintu. Tangan kirinya menggenggam tongkat yang kini membantunya berdiri sementara tangan kanannya memegang kenop pintu yang terbuka. Darisa bangkit dan mempersilakan kakek duduk di kursinya sementara ia menarik kursi yang lain.
“Selamat pagi, Kakek.” Seno berujar sopan seraya tersenyum.
Kakek membalas perlakuan tersebut dengan anggukan ringan sambil tersenyum lembut. Beliau menyapukan pandangannya pada pekarangan rumah Seno yang terlihat jelas dari tempat mereka duduk. Selama kurang llebih lima menit, beliau tak mengatakan apa-apa. Darisa dan Seno bertukar pandang clueless.
Kemudian ia beralih memandang Darisa. “Ik mis haar, de gouverneur de dochter van.”
Putri gubernur? Darisa kembali mengernyit. “Die?
Hij, de mooiste vrouw. Ware liefde,” jawab kakek tenang, sama sekali tak terpengaruh dengan raut cucunya yang tampak sangat penasaran. Pandangannya menerawang seolah ia tak sedang berada disitu.
Menit berikutnya, kakek minta diantar kembali ke kamarnya. Sejurus kemudian, Darisa kembali menghampiri Seno.
Mind to translate it?
Darisa tersenyum simpul. Ia kembali duduk dan seperti Seno, tanpa sadar telah menghabiskan kopinya, minuman yang sebelumnya hampir tak pernah ia konsumsi. “Saya kangen dia, putri gubernur.”
“Itu aja?”
Kali ini Darisa menggeleng. Ia melanjutkan penuturannya sambil terus berpikir. “Aku tanya, siapa, kata kakek, dia yang sangat cantik. Cinta sejati. Aku jadi tambah penasaran.”
Seno manggut-manggut, bukan karena mengerti melainkan karena sama bingungnya dengan Darisa. Ia mengikuti arah pandang gadis di hadapannya; pekarangan rumahnya. Ia yakin sekali, rumah itu menyimpan rahasia besar mengenai kehidupan kakek.
“Gini aja, nanti aku tanya papa soal perempuan dan anak gubernur yang dimaksud kakek kamu. Kalau kamu ga tau, nanti sekalian aku tanya sama Banyu tentang sejarah daerah sini, kan ayahnya pasti tahu banyak tuh.”
Darisa mengerjap cepat. “Apa nggak ngerepotin?”
“Engga. Udah terlanjur penasaran abisnya.”
Kali ini Darisa tertawa lepas. Ia memandang Seno dengan tatapan penuh terima kasih. Selanjutnya, mereka kembali menikmati surabi yang kini telah sepenuhnya dingin sambil mengobrol santai mengenai diri masing-masing.

***

Tiga hari telah berlalu sejak pertama kali Darisa bertemu dengan Seno. Kini mereka berdua tengah duduk bersama di karpet berbulu lembut yang terhampar di teras belakang rumah Seno, menghabiskan minggu sore dengan menyelidiki lebih lanjut mengenai perempuan misterius yang dimaksud kakek.
Now I feel like having a real group detective,” ujar Darisa asal.
Yeah, an amateur one.” Seno menyahut dengan seulas senyum jenaka di wajahnya.
Mereka tengah menikmati sepiring besar getuk dan pisang goreng yang dihidangkan Bu Alya, mamanya Seno. Keduanya sibuk mengunyah dengan pandangan sama-sama terkunci pada layar laptop milik Seno. Layar itu tengah menampilkan artikel demi artikel mengenai masa kependudukan Belanda di Tasikmalaya sekitar tahun 1930-an.
Hasil tanya sana-sini Seno dan Banyu membuahkan hasil yang cukup membantu. Sekitar delapan puluh tahun silam, rumah yang kini menjadi tempat tinggal Seno memang ditempati oleh gubernur jenderal Hindia Belanda bernama Jan van Dijkma. Dengan cekatan, Seno mengetikkan nama tersebut pada kolom pencari.
 “Itu dia!” Darisa terkesiap. Telunjuknya terarah pada sebaris nama yang dicetak tebal. Roos-Anne van Dijkma (1925-2001). Di sampingnya terdapat keterangan bahwa perempuan itu merupakan putri gubernur van Dijkma satu-satunya.
Dengan sigap, Seno mencari sebanyak mungkin artikel yang tersedia mengenai nama tersebut. Namun, hasilnya sangat tidak memuaskan. Kehidupan Roos-Anne tidak banyak disorot publik, hanya sebagian kecil mengenai riwayat akademik serta perannya dalam kejayaan ayahnya pada masa pendudukan Belanda di Indonesia.
Darisa menggeleng tak bersemangat. “Harus cari dimana lagi ya Sen kalau ngga dari internet?”
Seno terpaku menatap baris tulisan pada layar mungilnya. Alih-alih menjawab pertanyaan Darisa, ia mencoba memasukkan kata kunci lain pada mesin pencari. Sejurus kemudian, kedua matanya membulat bersemangat.
“Roos-Anne ini kehidupan pribadinya ga banyak dipublikasi karena permintaan pengacara keluarganya. Tapi menurut artikel disini, Roos-Anne adalah salah satu founder dari The Hague of Groningen, public school di Amsterdam. Mungkin di perpustakaan sekolah itu ada data tentang perempuan ini.”
“Sharka!” Darisa terpekik senang. “Aku punya temen baik yang sekolah disana, Sharka de Graaf.”
“Bagus. Bisa komunikasi sama dia sekarang ga?”
Darisa menatap layar laptop itu sejenak. “Bisa aja, tapi aku numpang online skype di laptop kamu ya? Skype Sharka selalu online dan sekarang disana sekitar jam sepuluh pagi, kayanya bisa video call.”
Tanpa banyak pikir, Seno mundur dan menyerahkan laptop-nya pada Darisa. Sesuai perkiraannya, Sharka memang sedang online. Cepat-cepat Darisa menekan tombol call dan beberapa detik kemudian, wajah cantik Sharka yang sangat netherland-ish itu memenuhi layar laptop Seno. Di belakangnya tampak hamparan bunga tulip berbagai warna. Darisa mengenali tempat itu sebagai Beatrix Park, sebuah taman yang berlokasi di Zuider Amstel neighborhood dan terkenal karena kebersihannya..
“Darisa! Ik miss je!” sapa perempuan itu excited.
Ik miss je ook, hoe gaat het?
Fijn,” jawab Sharka.
Detik berikutnya ia mulai berceloteh panjang lebar dalam bahasa yang tidak dimengerti Seno. Darisa tampak sangat bersemangat. Ia mendengarkan baik-baik cerita itu sambil sesekali menimpali. Seno berusaha maklum, mungkin teman barunya ini rindu sahabat lamanya. Ia memutuskan untuk menunggu.
Setelah lebih dari lima belas menit, percakapan nostalgis itu tak kunjung selesai. Dengan sedikit perasaan tak enak, Seno menyenggol lengan kiri Darisa, mengingatkannya pada tujuan utama mereka.
“Maaf,” ucap Darisa penuh penyesalan. Ia nyengir singkat kemudian kembali menatap Sharka. “Sharka, this is my friend Seno. We called because we  need your help. We hope you don’t mind to use English, Seno doesn’t speak dutch.”
Sharka mengangguk mantap. Dari suara sahabatnya, ia tahu ada hal yang sangat mendesak.
Darisa menghela nafas dalam-dalam sebelum memulai. Ia meneritakan dengan detail perihal celotehan kakeknya, rumah belanda yang sekarang ditempati Seno, serta sosok misterius Roos-Anne yang mungkin merupakan cinta sejati kakek. “I need your help to find out as many as possible about Roos-Anne. She’s one of the founders of your school.”
I can work with that. But sorry to say, why is this important? The person we’re talking about has died anyway,” tanya Sharka sedikit skeptis.
Darisa tersenyum tak nyaman. “It’s something that keeps haunting my grandfather. And now, it’s haunting me,  my family, and Seno too. So, yeah, you know. Would you please help us?
Sharka memandang bergantian Darisa dan Seno. Keduanya tampak berharap banyak pada jawabannya. Ia tersenyum lembut dan mengangguk. “Give me two days. You know our library is the biggest one in Amsterdam,” ujarnya dalam nada cukup bangga.
Setelah Sharka setuju untuk mengirimkan hasil pencariannya ke e-mail Seno, Darisa menutup pembicaraan mereka.

***

“Sebaiknya Pak Sudrajat jangan terlalu banyak beraktivitas, cukup di tempat tidur dan bergerak secukupnya sampai kondisinya stabil kembali,” ujar seorang pria berjas putih yang kini tengah sibuk memeriksa catatan kesehatan kakek.
Darisa memandang kakek dan dokter bergantian. Rautnya tampak sangat khawatir. “Tapi selama saya disini, kakek memang ngga banyak bergerak kok, Dok.”
“Oh ya?” Dokter bertanya tak percaya. “Mungkin kakek kamu kepikiran sesuatu? Biasanya kalau ngga dari fisik, sakit itu ya datangnya dari psikis.”
Darisa kembali termenung, hanyut dalam pikirannya sendiri. Kemarin malam kakek terkena serangan jantung yang membuat semua orang panik. Malam itu juga, kedua orang tua dan kakaknya langsung meluncur menuju Tasikmalaya. Kini mereka semua tengah mengerubungi tempat tidur kakek dengan raut khawatir terpancar pada wajah masing-masing.
Merasa sumpek, Darisa melangkah menuju teras rumah kakek. Pandangannya menerawang menatap langit malam. Sudah dua hari berlalu sejak ia menghubungi Sharka. Jika perempuan itu menepati janjinya, Seno harusnya sudah menerima e-mail Sharka yang berisi data mengenai Roos-Anne. Nyatanya, hingga saat ini Seno belum memberi kabar apa pun.
Darisa menghela nafas panjang. Perasaannya tidak enak. Ia merasakan urgensi yang begitu kuat untuk segera mengetahui siapa perempuan itu sebetulnya kiemudian memberi tahu kakek.
“Risa!”
Bisikan pelan tersebut membuat Darisa terlonjak kaget. Seno telah berdiri di depan pagarnya. Dengan terburu-buru ia membuka kunci pagar dan mempersilakan pemuda itu masuk. “Dapet sesuatu Sen?”
“Yup, mail from your friend. Aku udah baca,” ujar Seno cepat. Ia mulai menceritakan dengan detail segala hal mengenai Roos-Anne yang diketahuinya dari Sharka.
Belum sempat Darisa menjawab, ia kembali dikejutkan oleh teriakan histeris Mama dan Bi Murni. “Darisa! Kakek sudah bangun, cepetan kesini!”
Darisa melesat menuju kamar kakek, disusul Seno yang juga berlari di belakangnya. Seluruh anggota keluarga yang memenuhi kamar memberi jalan bagi Darisa. Ia mendekatkan telinganya ke wajah kakek, mendengarkan baik-baik setiap kata yang terlontar dari mulut kakek.
Ware liefde... Ik hou van je.... ware liefde.. Roos-Anne.
Darisa terkesiap. Ia bertukar pandang gelisah dengan Seno. Pemuda itu mengangguk mantap. Darisa memejamkan matanya erat-erat sebelum mulai berbicara. “Kakek, wanita yang kakek maksud ini, namanya Roos-Anne van Dijkma?” tanyanya pelan.
Kedua mata kakek melebar. Sekilas, Darisa dapat melihat kerlip bercahaya pada keduanya. Kakek mengangguk lemah.
Sekali lagi Darisa menghela nafas panjang. Perlahan, digenggamnya tangan kanan kakek. Meskipun harus, ia sangat tidak ingin menyampaikan berita selanjutnya. “Kakek, Roos-Anne sudah meninggal sejak tahun 2001, gagal ginjal.”
“Roos-Anne kembali ke Belanda pada tahun 1946. Ayahnya, gubernur Jan van Dijkma dihukum penjara seumur hidup sehingga Roos-Anne harus tinggal bersama tantenya, satu-satunya kerabatnya yang masih hidup. Pada tahun 1967, Roos-Anne dan beberapa temannya mendirikan sekolah publik di Amsterdam, namanya The Hague of Groningen. Sekolah itu masih berdiri sampai sekarang dan termasuk sekolah terbaik di Belanda.”
Selama beberapa saat, Darisa menangkap rasa sedih yang amat mendalam dari sorot mata kakek. Namun kemudian tatapan itu berubah, berganti dengan sorot mata tulus disertai senyuman lembut yang perlahan mulai mengembang di wajahnya yang keriput.
“Alhamdulillah kalau begitu, Roos-Anne selalu ingin menjadi guru. Ternyata cita-citanya tercapai. Meskipun dia sudah tidak ada, saya sangat senang mendengarnya. Terima kasih Darisa.”
“Kakek, jangan sedih. Maaf kalau kabar dari Darisa buat kakek sedih.”
Kakek menggeleng perlahan, berusaha menggerakkan sendi-sendi lehernya di tengah rasa sakit yang tengah melanda. “Saya sudah lama menunggu. Saya cinta Roos-Anne, sejak dulu sampai sekarang, meskipun tentunya saya juga mencintai nenek kamu. Tapi sampai detik ini, sampai saat terakhir hidup saya, nggak pernah sekali pun saya lupa sama Roos-Anne. Dia cinta sejati saya.”
 Darisa menyusut butir air mata yang telah berkumpul di sudut matanya cepat-cepat. Ia tak berkata apa-apa, hanya mempererat genggamannya pada tangan kakek.
“Terima kasih Darisa, saya sekarang bisa pergi dengan tenang.”
Seiring dengan kata-kata tersebut, kakek menghembuskan nafas terakhirnya. Perlahan kelopak matanya menutup dan terpejam untuk selamanya. Isak tangis pecah dan memenuhi kamar tersebut. Masih menggenggam tangan almarhum kakek, Darisa tak mampu membendung air matanya.

***

Darisa menatap halaman rumah kakek dengan pandangan sedih dan menerawang. Ia baru saja kembali dari pemakaman kakek. Anggota keluarganya yang lain sibuk mengurusi ini-itu, menjamu para tamu yang berkunjung untuk menyampaikan ucapan bela sungkawa mereka, dan saling menenangkan satu sama lain.
Rasa penyesalan mengakar kuat di hati Darisa. Mengapa harus ia yang menyampaikan kabar terakhir itu? Seolah ia yang menarik pelatuk dan membiarkan kakek pergi untuk selama-lamanya.
“Boleh duduk sini?”
Darisa mendongak lesu, mendapati sosok atletis Seno yang kini tengah berdiri di hadapannya. Meskipun masih dirundung duka, Darisa memaksakan diri untuk tersenyum dan mempersilakan Seno duduk di kursi tamu di hadapannya. Seno meletakkan sebuket mawar merah dan putih di atas meja.
“Makasih. Harusnya kamu kasihnya tadi pas di makam.”
Seno menggeleng cepat. “Itu untuk kamu.”
Kening Darisa berkerut heran. Ia merasa tidak di posisi yang pantas untuk mendapat sebuket bunga. “Untuk aku? Dalam rangka apa?”
“Kamu sedih terus. Kamu nyalahin diri kamu karena udah ngomong jujur sama kakek padahal ini bukan salah kamu. Kamu justru berjasa banget. Dengan gini, kakek pergi dengan tenang.”
Darisa termenung cukup lama. Ia menatap Seno dengan tatapan kosong kemudian mengangguk lemah. “Aku tahu ini bukan salahku. It’s just... the guilty feeling won’t go away, Sen,” ucapnya lirih.
Seno tersenyum penuh pengertian. Dengan lembut ia meraih kedua tangan Darisa dan menggenggamnya erat. “Kalau kamu sedih sekarang, it’s ok. Kalau kamu mau nangis, nangis aja sampai puas.”
Perlahan, sebentuk senyum penuh rasa terima kasih menghiasi paras cantik Darisa. “Makasih ya Sen, kalau ngga ada kamu, kakek mungkin meninggal tanpa pernah tahu yang sebenarnya. I won’t ever thank you enough.”
Seno melepaskan genggamannya pada tangan Darisa. Gesturnya berubah rileks. “Simpel aja. Kalau udah pulang ke Jakarta nanti, jalan sama aku ya?” pintanya disertai senyum yang membuat Darisa meleleh.
Tanpa banyak pikir, Darisa menyanggupi. Ia menghapus sisa-sisa tangis pada wajahnya lalu mereka mulai mengobrol ringan tentang apa saja. Tangisan Darisa kini telah berganti tawa. Mungkin ia bisa membawa hubungan mereka dari Tasikmalaya ke Jakarta.

***

Orion

  • Well, I finally updated this blog. This is something I wrote several weeks ago, inspired by an article about entrepreneur. Enjoy, pals! As always, I kindly wait for your feedbacks :D
 
Orion
“Putus?!”
Irin memutar kedua bola matanya. Gerah sekaligus risih. Widuri sudah menanyakan pertanyaan ini sebanyak tiga kali. “Iya Wid, putus.” Untuk yang keempat kalinya, jawaban itu masih sama.
“Kok bisa?”
“Ya bisa, bisa-bisa aja Wid,” jawab Irin nelangsa. Ia sudah cukup patah hati dengan masalah ini. Widuri malah bikin hatinya semakin miris. “Udah deh Wid, gue nggak mau bahas ini dulu.”
Widuri mengerjap cepat, berusaha meredam rasa penasaran yang bersarang di pikirannya. “Eh iya, sorry banget ya Rin, nanti kalau udah siap cerita, cerita ya.”
Irin mengangguk pelan. Ia tidak yakin akan pernah siap untuk bercerita mengenai hubungannya yang baru saja kandas tanpa menangis keras. “Nanti ya Wid, gue lagi bener-bener nggak mau ngomongin itu, maaf banget belum bisa cerita,” ujarnya sungguh-sungguh.
“Iya, gue ngerti kok,” ujar Widuri penuh pengertian. Dengan lembut ia mengusap pelan bahu Irin, berharap sentuhan kecil tersebut dapat mengalirkan sedikit semangat baru bagi sahabatnya. Sindrom pasca putus memang tidak pernah mudah, Widuri paham betul. Ia menghela nafas panjang sebelum mengajukan pertaanyaan berikutnya.
Pertanyaan yang menurutnya sendiri terkesan sangat tidak sensitif jika mengingat kondisi hati Irin sekarang. “Terus Rin, soal Orion gimana?”
Irin mendengus pelan. Pertanyaan yang sama yang terus berputar di otaknya sejak kata putus pertama kali dicetuskan. Pertanyaan kedua setelah; how am I gonna live my life without him?. “Gue juga nggak tahu Wid, semoga aja bisa tetap profesional, meskipun pasti rasanya nggak sama lagi.”
Widuri mengangguk lagi. Seulas senyum lembut dan penuh perhatian tersungging di bibirnya. Meskipun khawatir dan tidak yakin, ia memilih memercayai jawaban Irin. “Gue percaya sama lo dan Reksa,” jawabnya sungguh-sungguh.

***

Dalam sekali tekan, Andini Putri Khairina menonaktifkan ponsel pintarnya. Tak ada lagi pesan-pesan penyemangat yang selalu berhasil membuahkan senyum di wajahnya. Tak ada pula alunan lagu Since I Found You milik Christian Bautista yang biasa memecah keheningan malamnya. Menandakan bahwa seseorang disana juga tengah memikirkannya.
Irin mendengus kesal. Frustasi dan depresi. Dengan malas-malasan, ia mencoba berkonsentrasi pada laptop dan tumpukan kertas di mejanya. Mulai dari tugas kuliah, proposal, sampai Standard Operating Procedure garapannya sendiri.
Laptopnya berbunyi pelan, isyarat ada pesan masuk pada account yahoo mesengger-nya. Irin meraih mouse, mengarahkan kursornya pada opsi open. Sebuah pesan instan dari Mba Hani, konsultan bisnisnya.

hani_1807 : rin, kalau meeting besok sore bisa ngga?
andinikhairina : aku nggak bisa ma, besok ada kuliah sore
hani_1807 : kalau lusa sore gimana? Kamu ada kuliah juga nggak?
andinikhairina : kalau lusa insyaAllah bisa mba, mau dimana ketemunya?
hani_1807 : di starbucks margo city aja ya, aku sekalian ada talkshow soal business management soalnya, atau mau di tempat kamu?
andinikhairina : margo city would be fine, jam berapa mba?
hani_1807 : jam 4an aja, sama reksa juga ya, ada yang mau aku omongin soal plan baru kalian

Deg! Irin merasa sedikit tersetrum mendengar kalimat terakhir Mba Hani. Dengan ogah-ogahan ia kembali menyalakan ponselnya lalu mengetik pesan singkat kepada Reksa. Tak lama kemudian, Reksa membalas pesannya dalam dua kata super singkat; Bisa Rin.
Irin menelan ludah, walaupun kini statusnya dan Reksa sudah turun dari pacar menjadi mantan pacar, ia gondok juga kalau smsnya dibalas sesingkat itu. Apalagi oleh orang yang biasanya tak pernah tidak menyertakan embel-embel akung pada setiap smsnya. Ia mengetik pesan balasan untuk Mba Hani kemudian memilih opsi invisible to everyone.
Jam dinding di sudut kamarnya menunjukkan pukul sepuluh tiga puluh ketika Irin memutuskan naik ke tempat tidur dan meninggalkan semua pekerjaannya. Ia butuh refreshing. Refreshing dari segala rutinitasnya. Irin merasa lebih merana dari sebelumnya.
Dulu, ia selalu punya Reksa sebagai tempat berbagi. Reksa yang ganteng, Reksa yang gokil, Reksa yang selalu menjadi moodbooster bagi Irin. Reksa yang sejak seminggu terakhir tak pernah lagi menatap Irin tepat di matanya.
Putus.
Sebuah kata yang selama lebih dari dua tahun terakhir tak pernah terlisankan baik dari mulut Irin maupun Reksa. Sebuah kata tabu yang sebisa mungkin Irin tahan meskipun telah berulang kali terlintas di benaknya. Sebuah kata yang bagi Irin bukan merupakan solusi.
Ironis. Karena pada akhirnya, Irinlah yang mencetuskan kata tersebut.
Muhammad Reksa Ardiansyah, sosok lelaki yang selama dua tahun terakhir tak pernah sedetik pun meninggalkan hati dan pikiran Irin. Irin telah mengenal Reksa dengan sangat baik. Ia telah melihat pemuda itu tumbuh, dari seorang cowok SMA biasa yang berstatus sebagai kakak kelasnya hingga kini memimpin usaha yang mereka rintis bersama. Orion, sebuah coffee place bernuansa cozy yang menjadi saksi bisu kisah cinta Irin dan Reksa.
Irin dan Reksa sama-sama memiliki minat yang tinggi pada dunia bisnis dan kewirausahaan. Sejak mulai berpacaran, mereka telah mencoba menjalankan berbagai bisnis bersama. Mulai dari jualan pulsa, jual barang-barang terbaru via internet, sampai akhirnya lahirlah sebuah tempat ngopi bernama Orion.
Ide ini tercetus begitu saja dari mulut Irin. Padahal, Irin sendiri bukan pecinta minuman berkafein tersebut. Usaha mereka berjalan lancar, menjadikan baik Irin maupun Reksa sebagai mahasiswa yang mandiri dan tak lagi bergantung secara finansial kepada orang tua masing-masing.
Irin biasanya menggunakan uangnya untuk membeli barang-barang favoritnya seperti novel, baju, dan sepatu. Lain lagi dengan Reksa, cowok itu paling-paling hanya menggunakan sebagian kecil untuk memodifikasi mobilnya. Sisanya ditabung, buat modal nikah sama Irin. Sekarang setelah mereka putus, Irin benar-benar tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Baik pada hubungannya dengan Reksa maupun pada usaha yang mereka rintis. Usaha yang tak hanya melibatkan dua orang namun juga banyak pihak lainnya.
Irin menggeleng kuat-kuat, mencoba mengenyahkan segala pikiran yang berkecamuk di benaknya. Ia memejamkan matanya erat-erat, berusaha tidur dan melupakan segalanya meskipun hanya sementara. Cinderella said that in dreams, we lost all the heartaches.

***

“Maaf banget mba, tadi aku nyari dosen fiksi dulu buat nyerahin tugas, udah lama?” cerocos Irin tanpa henti setibanya di Starbucks, Margo City.
Mba Hani menyesap kopinya perlahan kemudian mengangguk penuh pengertian. “Ah, kuliah, aku kangen rasanya jadi mahasiswa. Nggak apa-apa, duduk aja, aku ditemenin Reksa ini.”
Irin mengangguk seraya menggumamkan ucapan terimakasih. Dengan gestur kikuk yang serba canggung, ia mengambil tempat duduk di sebelah Reksa, tepat di depan Mba Hani. Sejak putus, Irin tak pernah sedekat ini dengan mantannya. Untuk menutupi rasa grogi yang meliputi perasaannya, Irin buru-buru meraih menu dan memesan ice chocolate.
“Aku ke toilet dulu ya sebentar, kalian rundingin dulu aja soal terobosan baru Orion, nanti kita bahas,” ujar Mba Hani kemudian bangkit berdiri dan ngeloyor ke toilet. Meninggalkan Reksa dan Irin berdua saja.
Dengan gestur sok santai, Reksa meraih cangkir kopinya. Dalam jarak sedekat ini, Irin bisa menghirup aroma khas espresso classics kesukaan Reksa. “Tadi kesini naik apa?” tanya Reksa basa-basi.
“Taksi.” Irin menjawab lugas. Singkat, padat, dan jelas.
“Beneran abis nyari Pak Yudi? Masih soal tugas yang waktu itu apa udah baru lagi?” tanya Reksa penasaran. Yang kemudian langsung disesalinya karena terkesan terlalu perhatian.
“Masih tugas yang waktu itu kok, Sa,” jawab Irin kalem. Percakapan dengan Reksa biasanya hangat, belum pernah sedingin dan sekaku saat ini. Nafas lega terhembus dari mulut Irin ketika sosok Mba Hani mulai berjalan mendekat.
“Jadi tadi aku udah ngobrol sama Reksa, aku sih setuju sama idenya, menurut aku kalian jadi lebih mudah untuk melakukan terobosan baru, plus omset juga pasti nambah,” tutur Mba Hani tanpa henti sedetik setelah mengambil posisi duduk.
Kening Irin berkerut heran. Ide apa? Dengan pandangan bertanya, ia ganti memandang Reksa.
Standard Operating Procedure,” jawab Reksa. “Ini sebenernya ide Irin kok Mba, jadi kita bisa memperluas usaha dan buka cabang di tempat lain yang sama persis.”
Mba Hani mengangguk cepat. “Tapi kalian harus tetap mempertahankan standar ya, inget loh Orion kan suasanya cozy banget, nanti di cabang itu harus sama persis. Cita rasa kopi dan snack-nya juga. Namanya juga franchise.”
Irin mengangguk pelan. “Iya, kebetulan kita udah tanda tangan kontrak sama Argo. Konsep sama resep menu udah ada sama dia, soft opening kira-kira bulan depan. Jadi sistem waralaba.”
“Oh yaudah kalau udah sejauh itu,” ujar Mba Hani kemudian meneguk caramel macchiato-nya. “Argo-Argo ini orangnya kaya gimana? Kira-kira oke nggak kalau dijadiin business partner?” tanyanya kemudian.
Irin menatap Reksa, mempersilakan pemuda itu untuk menjawab. Reksa mengangguk sekali kemudian menegakkan posisi duduknya. “Saya kenal dia udah lama, orangnya friendly dan responsible. Dilihat dari track record-nya di dunia usaha sih kayaknya aman kalau jadi partner bisnis. Plus dia juga orangnya inovatif dan bisa nerima kritik.”
Mba Hani manggut-manggut dan meletakkan cangkirnya di atas meja. “Bagus dong, kalian semakin lihai aja dalam hal seperti ini,” pujinya tulus. “Oh ya, maaf ya saya nggak bisa lama-lama.”
“Ada meeting lagi Mba?” tanya Irin.
“Engga, anak saya lagi kurang sehat. Dari kemarin batuk pilek terus.”
“Ellie ya Mba?” Secercah rasa khawatir terpancar di kedua mata Irin. Kemudian disusul dengan seulas senyum hangat. “Semoga Ellie lekas sembuh ya Mba, tolong bilangin Irin kangen,” imbuhnya. Irin memang sangat menyukai anak kecil. Lucu dan menggemaskan.
Mba Hani tersenyum penuh terimakasih. “Makasih ya Rin, Ellie juga nanyain kamu terus tuh, kapan-kapan main ke rumah ya. Sekarang aku pulang dulu, goodluck buat kerja samanya,” ujar wanita itu kemudian bangkit berdiri dan meninggalkan Irin bersama Reksa.
Reksa berdeham sekali. Pandangannya terfokus pada jendela kaca di sisi ruangan. Hujan deras mengguyur pelataran Margo City. “Pulang sama siapa?” tanyanya seraya beralih menatap Irin.
Irin mengangkat bahu. Pertanyaan bodoh, pikirnya. Selama ini Irin kan selalu pulang sama Reksa. Kalau tidak ada Reksa, ya berarti pulang sendiri.
Reksa bertanya lagi. “Sendiri?”
“Iya,” jawab Irin pendek.
Canggung. Sebuah kata yang tepat untuk mendeskripsikan suasana di antara mereka saat ini. Reksa kembali menatap derasnya hujan. “Pulang sama aku aja ya, aku anter.” Pacar atau bukan, ia tak akan membiarkan Irin pulang sendiri di tengah hujan seperti ini.
Irin nyaris tersedak minumannya. Aku? Reksa masih saja menggunakan predikat tersebut untuk menyebut dirinya. “Nggak usah repot-repot Sa, aku bisa pulang sendiri kok. Dari sini kan nggak jauh,” tolaknya halus. Sedikit defensif.
“Nggak repot kok,” sergah Reksa cepat. Kemudian malu sendiri. “Maksud aku, sekalian aja. Kan kita searah. Daripada kamu hujan-hujanan.”
Hati Irin mencelos. Ia amat merindukan Reksa yang dulu. Reksa yang selalu perhatian. Bukan Reksa yang saat ini berpura-pura cuek padanya padahal setiap kata yang ia lisankan justru terkesan sebaliknya. “Yaudah, asal kamu nggak repot sih nggak apa-apa.” Cut that bull, Rin.
“Pulang sekarang aja yuk,” ajak Reksa kemudian bangkit berdiri dan meraih kunci mobilnya. Irin ikut berdiri dan mengikuti Reksa berjalan menuju area parkir.
Sepanjang jalan mereka tak membicarakan banyak hal. Hanya basa-basi mengenai cuaca yang akhir-akhir ini sangat ekstrem dan sedikit pembicaraan bisnis. Awkward. Irin ingin sekali turun di tengah jalan. Lebih baik hujan-hujanan dan naik taksi daripada semobil dengan Reksa tapi suasananya begini. Setibanya di rumah Irin, Reksa langsung pergi.
“Reksa nggak mampir dulu Rin? Padahal ibu habis bikin bakso. Kan Reksa suka banget,” kata ibu sesaat setelah Irin mengenyakkan diri di sofa ruang tengah.
Irin mengerling ibu dan menggeleng pelan. “Buru-buru kali bu, hujannya deras banget soalnya.”
“Justru karena lagi hujan, kan enak makan bakso pakai kuah,” jawab ibu. “Kalian lagi sibuk ya? Habis udah lumayan lama Reksa nggak main ke rumah, padahal biasanya seminggu minimal sekali.”
Maaf Bu, batin Irin. Sedih. Ibu tidak tahu bahwa ia dan Reksa sudah putus. Irin sendiri tak kuasa mengatakannya. Sejak dulu, ibu selalu menyukai Reksa karena pembawaannya yang santun dan sangat down to earth padahal berasal dari keluarga yang terbilang sangat mapan. “Lagi ngurusin buat buka cabang di Depok Baru itu Bu, kita soft opening sebulan lagi.” Irin terpaksa berbohong. Tidak sepenuhnya bohong karena memang itulah yang sedang terjadi.
Hanya saja, itu bukan alasan mengapa Reksa tak pernah berkunjung lagi.
“Oh pantas. Yasudah kamu istirahat dulu sana, kamu capek kan habis kuliah terus meeting segala? Pokoknya ibu doain semoga lancar ya buka cabangnya,” ujar ibu lembut.
Irin mengangguk cepat. Meskipun merasa bersalah, ia merasa ini belum waktu yang tepat untuk cerita kepada ibu. Ia masih tak ingin membicarakannya. Dengan gontai Irin melangkahkan tungkainya menuju kamar mandi. Setumpuk pekerjaan lain tengah menunggu untuk diselesaikan.

***

Dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam, hari yang telah lama ditunggu-tunggu pun tiba. Grand opening Orion cabang Depok Baru. Meskipun suasana kerja sedikit terganggu karena canggungnya hubungan di antara Reksa dan Irin, proyek mereka akhirnya rampung. Argo ternyata sangat kooperatif dan profesional. Irin sangat berterimakasih untuk hal itu.
Arloji perak yang melingkar di pergelangan tangan Irin menunjukkan pukul delapan empat puluh. Ia tengah duduk bersama Widuri di sudut ruangan Orion, menikmati segelas latte dingin sambil menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tersisa. “Besok bakal lancar nggak ya Wid?” tanyanya was-was.
“Rileks, Rin. Kita udah persiapkan semuanya matang-matang. Lo juga udah survey kesana berkali-kali kan? Dekorasinya oke, menu kopi dan snack-nya juga udah sip,” jawab Widuri santai. Dengan cermat ia membaca ulang seluruh dokumen yang berada di atas meja. Memastikan segalanya sempurna dan tanpa kesalahan.
Irin menyesap pelan minuman kafein yang terpaksa diminumnya untuk menahan kantuk. “Oke, mungkin gue terlalu parno,” simpulnya cepat.
Sekilas senyum jahil bermain di bibir Widuri. Ia menyilangkan kakinya kemudian tertawa pelan. “Lo khawatir soal Orion atau...?”
“Reksa?” tebak Irin. Ia memutar matanya dan menyunggingkan seulas senyum hambar. “Nggak, gue udah nggak bisa khawatir lagi tentang itu. Gue Cuma takut ini ujung-ujungnya bakal berdampak negatif buat Orion. Usaha ini kan nggak cuma punya kita, banyak pihak lain yang juga terlibat di dalamnya,” tutur Irin panjang lebar. Sudah lama ia ingin mengutarakan pikirannya.
Widuri manggut-manggut. “Gue tau kok segimana canggungnya suasana di antara kalian, kerasa banget. Jujur aja itu bikin kita jadi ngerasa canggung juga. Tapi kelihatan kok kalau kalian sama-sama berusaha untuk tetap profesional. Sekarang jalanin aja dulu,” sarannya lalu meraih cangkir kopinya.
Irin memikirkan perkataan Widuri. Jengah terhadap atmosfer di antara dirinya dan Reksa yang terlihat seperti dibatasi tembok tak kasat mata. “Terus gue harus gi
“Rin, bisa ngomong sebentar nggak?”
Widuri dan Irin sama-sama menengok. Mendapati sosok Reksa tengah berdiri di samping meja. Irin melempar pandang bingung. “Sebentar aja, penting,” pinta Reksa sekali lagi kemudian mengerling Widuri.
Mengerti akan gestur temannya, Widuri bangkit berdiri dan meninggalkan mereka berdua. Tanpa basa-basi, Reksa menempati kursi di hadapan Irin. “Orion kita tutup aja ya Rin, soft opening besok juga cancel aja.”
Irin membelalak. Terkejut akan perkataan Reksa yang asal dan nggak mikir dulu. “Kamu gila,” tukasnya cepat. Menutup Orion? Membatalkan acara yang telah mereka persiapkan jauh-jauh hari? Bisa-bisa mereka berakhir di balik jeruji besi atas tuduhan pembatalan kontrak secara sepihak.
“Nggak.” Reksa keukeuh. “Orion ini kita rintis berdua Rin, kita mulai ini dari nol. Dan sekarang, kita bahkan udah nggak pernah ngomong. Properly. Mau sampai kapan? Lama-lama fondasi usaha ini bisa keropos, Rin. Lebih baik kita tutup sebelum semakin jauh.”
Irin terhenyak halus. Meskipun terdengar nekad, perkataan Reksa terbukti benar. “Tapi Sa, aku nggak mau nutup Orion gitu aja, usaha ini kan jerih payah kita berdua.”
“Justru karena itu, Rin. Suasana di antara kita terlalu canggung. Kaku. Aku nggak ngerti lagi harus gimana. I’ve never been in any relationship that’s that long,” papar Reksa setengah frustasi.
“Tapi....” Irin terdiam lagi. Tak jadi melisankan argumennya. Reksa benar. Ia pun sama dengan Reksa. Sama-sama tidak tahu bagaimana harus bersikap kepada mantan pacar setelah lebih dari dua tahun masa pacaran.
“Irin.” Reksa memverbalkan nama gadis di hadapannya dengan lembut. “Aku nggak akan pernah bisa bersikap biasa aja sama kamu. Kamu bukan Widuri, bukan Mba Hani, bukan Elsa, bukan Seria. Kamu nggak pernah jadi sekedar teman buat aku. Makanya aku nggak pernah bisa bersikap seperti seorang teman sama kamu,” tuturnya sungguh-sungguh.
Jantung Irin berdegup dalam ritme lebih cepat dari biasanya. Reksa memang selalu seperti ini, to the point alias blak-blakan. Kadang membuat Irin risih karena ia jadi tahu beberapa hal yang sebaiknya tak perlu. Contohnya, perasaan Reksa saat ini. “What are you trying to say?” tanyanya retoris.
Reksa menghela nafas panjang sebelum menjawab. Dari raut wajahnya, terlihat bahwa pemuda itu tengah mencari kosakata yang tepat untuk mengutarakan maksudnya. “Aku masih sayang kamu Rin, that’s just it.”
And that is our main problem, lanjut Irin dalam hati. Mendadak kepalanya terasa pening dan lidahnya seolah tak mampu mengatakan apa pun. “Aku...”
“Nggak usah dijawab,” ujar Reksa pelan. Dengan lembut ia meraih kedua tangan Irin ke dalam genggamannya dan menatap gadis itu lekat-lekat. “Pikirkan aja dulu semuanya, besok pagi sebelum soft opening kita ngomong lagi, gimana?”
Irin memejamkan matanya cepat, namun akhirnya mengangguk mantap. Walaupun jujur, tak perlu berpikir pun ia tahu apa yang harus dikatakan kepada Reksa.

***

“Semuanya udah siap? Kita mulai acara lima belas menit lagi ya,” seru Argo dari sudut ruangan.
Widuri yang semula berdiri di antara Reksa dan Irin menengadah menatap langit-langit ruangan. Kemudian berjalan menuju Argo. Beberapa hal masih perlu dicek ulang sebelum acara.
Reksa menatap Irin dengan pandangan bertanya. “Aku juga masih sayang sama kamu, Sa,” jawabnya kalem. Meskipun ia tahu betul bahwa kaum Adam bukanlah pembaca pikiran, untuk yang satu ini  ia berharap Reksa mengerti tanpa harus berkata panjang lebar.
Reksa mengulum senyum senang tetapi buru-buru menyembunyikannya. Memasang mimik serius. “Inget nggak sih kenapa kita putus?”
Irin tertegun sesaat. Otaknya berusaha menguak memorinya dan memutar kembali rekaman peristiwa dimana hubungan mereka akhirnya berakhir.
“Gara-gara aku terlalu posesifkah?” tanya Reksa lagi.
“Sedikit, tapi bukan itu masalahnya.”
“Lantas?”
Lantas apa, Sa? Aku juga nggak tahu. Irin berpikir lagi, mencoba mengingat-ngingat bagian ketika ia mencetuskan kata putus. Dan ia tak mengerti kenapa ia melakukannya. Masalah mereka bukan hal aneh, hanya karena Irin merasa Reksa jadi kurang perhatian padanya akhir-akhir ini. Reksa bilang ia mengurangi sedikit perhatiannya karena selama ini Irin ribut terus kalau Reksa terlalu posesif.
Alasan yang terdengar tak masuk akal di telinga Irin. Mereka kemudian bertengkar, adu argumen biasa, dan putus. Irin sendiri jadi tak habis pikir mengapa kini semuanya terasa begitu konyol. Kemana fondasi hubungan mereka yang selama dua tahun ini telah terbangun dengan mantap? “Aku... nggak tau Sa.”
Reksa tertawa pelan. “Jadi..., nggak ada alasan untuk nggak balikan dong Rin?” tanyanya dalam intonasi menggoda.
Kali ini Irin yang tertawa, meruntuhkan seluruh tembok pembatas yang selama ini menghalangi mereka. “Hmmmm balikan nggak yaaaa?”
“Masih sayang kan? Kenapa engga?”
Irin menyunggingkan seulas senyum hangat. Sorot matanya juga memancarkan kehangatan yang sama. Ia mengangguk mantap. “Iya Sa, aku mau,” jawabnya pelan. Rona merah menghiasi kedua pipinya.
Reksa menggenggam kedua tangan Irin dan nyengir boyish. “Official couple again?”
“Yup.” Butuh waktu lebih dari satu bulan bagi Irin untuk menyadari bahwa putus bukan jalan keluar dari masalahnya. Bahwa perselisihan seperti apa pun dapat diselesaikan dengan kepala dingin. Bahwa Reksa sangat berarti bagi dirinya.
“Hei, kalian udah siap? Kita mulai acara lima menit lagi loh!” seru Argo lagi. Irin buru-buru menarik tangannya. Sayangnya, Widuri sempat melihat. Dengan raut wajah sumringah, ia mengedip jahil dan mengacungkan jempol kepada Irin. “Yaudah langsung mulai aja yuk, semuanya udah siap kok,” lanjut Argo.
 “Yuk, Rin,” ajak Reksa.
Irin mengangguk yakin. Kali ini ia yakin, segalanya akan baik-baiknya. Hubungannya dengan Reksa dan Orion akan berjalan dengan lancar.

***