Monday, May 21, 2012

Seribu Buah Pikiran


  • Been a long time with no post! I miss writing so much. So. Damn. Much. Got a lot of ideas running out on my mind, actually.
  • This is about an amateur writer with huge desire to be one. Konfliknya ngga banyak dan 'berat' sih. Just enjoy, critics would be so lovely :)

Seribu Buah Pikiran

A good reader makes a good writer. Begitulah common belief yang selama ini dipercayai orang-orang awam, termasuk Krisanti Azmi. Sejak kecil, gadis berusia delapan belas tahun itu sangat gemar membaca. Kamarnya dipenuhi rak-rak berisi novel, komik, buku-buku motivasi, jurnal, serta bahan-bahan bacaan lainnya. Baginya, membaca merupakan petualangan seru yang dapat dinikmati tanpa harus bergerak sedikit pun dari sofanya yang nyaman.
Nicholas Sparks, Dewi Lestari, dan Sitta Karina merupakan sedikit dari sekian banyak novelis kesukaannya. Baginya, karya-karya mereka adalah masterpiece yang fenomenal. Masing-masing novelnya memiliki daya pikat tersendiri dan meninggalkan kesan yang tak terlupakan.
Sebut saja novel-novel roman karya Sparks seperti The Notebook dan A Walk To Remember. Dengan menonton filmnya saja sebagian besar perempuan pasti menangis tersedu-sedu. Atau seri Supernova milik Dewi Lestari yang meskipun penuh dengan scientific information tetap terasa mengagumkan. Kisah cinta penuh konflik para cucu Hanafiah dalam karya-karya Sitta Karina pun merupakan cerita-cerita terbaik yang selalu diingatnya.
Sejak masih duduk di bangku SD, Krisan mulai mengasah kemampuan menulisnya. Dimulai dari dongeng-dongeng kecil yang sederhana, fan fiksi-fan fiksi dari cerita yang sudah ada, cerpen-cerpen remaja yang sekali-dua kali dimuat di majalah, sampai coba-coba menulis novelnya sendiri. Menurutnya, penulis akan  menjadi profesi yang menyenangkan.
Keputusan ini diambil saat ia duduk di bangku kelas dua SMA. Untuk itu, Krisan yang merupakan anak IPA nekat banting setir ke dunia sosial demi masuk jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Meskipun akhirnya resmi menjadi mahasiswi sastra, kedua orang tuanya masih setengah hati memberi izin. Mereka sangat mendukung cita-cita Krisan sebelumnya, yaitu menjadi arsitek. Menurut mereka, menjadi penulis tidak harus lulusan sastra.
Krisan tahu betul itu benar, hanya saja, ia tak ingin menghabiskan waktu empat tahun bergelut dengan ilmu yang tidak akan digunakannya di kemudian hari.
“San, dari tadi gue telfon ko ga diangkat sih? Daritadi gue udah muter-muterin FIB, tanya-tanya orang, sampe sms cowo lu segala!” cerocos Latisha, sahabatnya sejak SMA yang kini kuliah di jurusan tetangga, Sastra Inggris.
Krisan meraih ponselnya dengan ogah-ogahan. “All alerts off, Sha. Kenapa ga coba cari ke kantin sih repot-repot muterin FIB segala?”
“Gue tadi ke kantin dalem, taunya lo nongkrong disini,” jawab Latisha sambil berjalan menuju tukang minuman terdekat dan sejurus kemudian kembali dengan sebotol minuman dingin. Kali ini ia mengambil kursi di depan Krisan.
“Tadi gue dipanggil Pak Rahmat, katanya essay gue di mata kuliah english literature bagus. Nilainya A+ dan sekarang dia nyuruh gue bikin yang kaya gitu lagi, buat dimasukin ke portofolio tugas-tugas murid berprestasi! Ga nyangka banget gue, karangan kebutan gitu dipuji-puji dosen segarang doi.” Latisha berhenti, pandagannya tertuju pada kertas-kertas penuh tulisan yang berserakan di meja. “Itu tugas?”
Krisan mengangguk bete. Menyadari mood sahabatnya yang sedang kurang bersahabat, Latisha bertanya lagi. “Kenapa sih? Lagi berantem ya sama Nova? Apa kangen rumah?”
“Ngga dua-duanya,” jawab Krisan tanpa mengangkat wajahnya dari kertas-kertas di hadapannya. Tangannya sibuk mencoret-coret bagian tertentu. Ia sedang sangat suntuk dengan kuliahnya, ngga banget deh Latisha pamer tentang essay-nya yang dipuji-puji si dosen sementara nasibnya sedang bertolak belakang.
“Terus kenapa? Cerita dong!”
Krisan menghentikan aktivitasnya dan menatap Latisha yang tengah menyeruput minumannya. Si bawel itu bukan tipe sahabat yang pengertian yang langsung back off kalau ia sedang malas cerita. Fudul banget gitu orangnya. “Kayanya gue ga bakat jadi penulis deh.”
“Apa?! Ko tiba-tiba? Kenapa bisa mikir kaya gitu?” tanya Latisha ngga kalah kepo dari sebelumnya.
“Ya gitu, kayanya tulisan gue ga cukup bagus. Ini aja cerpen buat matkul keterampilan menulis kata dosennya kurang menarik, kurang twist, dan ending-nya bisa ditebak.”
Latisha melirik sekilas kertas-kertas yang tadi dicoret Krisan sebelum kembali menatap sahabatnya. “Cuma karena satu tugas lo berpikir untuk ganti cita-cita?”
“Gue takut kalo jalan bukan disini, Sha,” ujar Krisan jujur.
“Gini deh San, lu kan dari dulu seneng banget sama dunia buku dan tulis-menulis ini, walaupun masih amatir lu udah nulis banyak cerita kan, bagus-bagus kok, bahasanya ngalir, deskripsinya cantik, orang-orang juga pada muji-muji tulisan lo. Kenapa tau-tau gini?”
Krisan menghela napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya. “Cerpen-cerpen gue... masalahnya bukan di bahasa atau deskripsinya, Sha. Di ceritanya itu sendiri.”
“Emang kenapa sama ceritanya? Ngga ngerti San,” Latisha berkata clueless, jujur. Raut wajahnya memancarkan tanda tanya besar.
“Gitu deh Sha,” balas Krisan singkat, malas membahas lebih jauh. “Gue balik ke tempat kost dulu ah, ada kuliah lagi ntar sore,” ujarnya seraya merapikan kertas-kertas dan memasukkannya ke dalam map plastik kemudian meninggalkan Latisha yang masih bengong di tempatnya.

***

Krisan melirik sekilas benda bulat yang tergantung di dindingnya sebelum kembali fokus pada layar mungil laptop kesayangannya. Benda itu menunjukkan pukul sembilan lebih lima belas, waktu malam itu. Kesepuluh jarinya berbaris di atas keyboard, siap menari dan menghasilkan rangkaian kalimat yang indah. Namun, sejak tadi Krisan hanya menatap kosong layarnya. Hanya ada dua paragraf yang tercetak pada halaman microsoft word itu. Pikirannya keburu buntu.
Krisan menyerah. Ia menghentikkan aktivitasnya dan berjalan menuju rak novel, mengambil salah satu novel favoritnya—Èclair karya Prisca Primasari. Ia membaca cepat, melompat ke halaman-halaman tertentu untuk membaca bagian-bagian yang ia sukai. Imajinasinya berkembang dan sekilas senyum merekah di bibirnya tatkala membaca kisah pertemuan Sergei dan Katya.
Detik berikutnya, Krisan menutup novel tersebut keras-keras. Ia baru menyadari sesuatu. Sejak dulu, gadis itu selalu butuh pancingan untuk memulai ceritanya. Entah itu dari membaca novel, cerpen-cerpen orang lain, atau kisah-kisah film yang ditontonnya. Krisan selalu menyebutnya ‘terinspirasi’, tetapi sekarang ia sadar, ide-idenya jarang yang bersifat orisinil.
Tentu saja karena hampir semuanya hasil terinspirasi dari cerita lain.
Saat membaca Refrain karya Winna Efendi, Krisan terinspirasi untuk menulis cerita tentang cinta dalam persahabatan—yang kemudian direalisasikan dalam cerpennya yang berjudul Hatimorfosis. Saat membaca Aerial-nya Sitta Karina, Krisan tertarik untuk menulis kisah fantasi serupa. Setelah membaca Divortiare-nya Ika Natassa, Krisan buru-buru menyalakan laptop dan mencoba menulis dengan gaya Ika yang cenderung slengean.
Krisan tercenung di sisi tempat tidurnya. Dulu waktu masih senang menulis fan fiksi pun ia membuat cerita dari plot yang sudah ada, hanya menambahkan bumbu-bumbu imajinasi pada ceritanya. Padahal ia tahu, seorang penulis harus cerdas dan kreatif. Memang ada novel best-seller yang ceritanya plagiat?
Tidak ingin memikirkannya lebih jauh, Krisan memilih tidur.

***

Riuh rendah celoteh para mahasiswa terdengar dari luar ruang kelas. Dari tempatnya duduk, Krisan bisa mendengar jelas suara Aldo dan Rico yang sedang melucu, disusul oleh denting tawa teman-temannya yang lain. Krisan buru-buru mengalihkan pandangannya pada sosok berwibawa di hadapannya, Pak Darma.
Sehari setelah malam perenungannya di kamar kost minggu lalu, Krisan memutuskan menemui dosennya yang walaupun cukup galak termasuk peduli kepada mahasiswanya. Saat itu Krisan menceritakan masalahnya dan kendala-kendalanya saat mulai menulis. Rupanya Pak Darma menanggapi dengan serius. Beliau bertanya sejauh apa Krisan ingin menjadi penulis, apa motivasinya, dan apa yang akan ia lakukan jika tidak menjadi penulis. Beliau pun meminta soft copy tulisan-tulisan Krisan untuk dievaluasi.
“Saya sudah baca tulisan-tulisan kamu,” ujar Pak Darma memulai pembicaraan. Krisan diam, menunggu. “Beberapa memang terasa familiar, mudah ditebak, dan terlalu simpel. Ada juga yang konfliknya terlalu berat untuk ukuran sebuah cerpen. Beberapa cukup bagus dan orisinil—entah karena saya jarang baca novel remaja atau memang begitu.”
Krisan menghela napas dalam-dalam, belum ingin memberikan tanggapan.
“Saya suka cerpen kamu yang judulnya Kaleidoskop dan Bunga Terakhir. Ceritanya fresh, mengalir, dan sederhana. Bagaimana menurutmu?”
“S-saya... ya, kedua cerpen itu ide asli saya. Tapi saya rasa cerpen-cerpen itu kurang greget, konfliknya ngga seperti cerita-cerita saya yang lain.”
Kedua alis Pak Darma terangkat heran. “Yang ngga terinspirasi dari cerita lain maksudnya? Kok kamu malah nggak pede sama tulisan yang idenya benar-benar hasil brainstorming kamu sih? Coba ceritain lagi, gimana sih proses ‘terinspirasi’ yang kamu maksud itu.”
Gadis itu menghela napas lagi. “Biasanya habis baca novel yang bagus, saya langsung dapat ide. Tapi ya idenya ngga jauh-jauh dari novel yang habis saya baca. Biasanya saya langsung tulis apa yang ada di pikiran saya, takut keburu lupa dan keburu ngga excited sama tema itu.”
Pak Darma mengangguk-angguk mengerti. Beliau menanggalkan kacamatanya dan menegakkan posisi duduknya. “Krisanti, ide itu buah pikiran. Ide yang baik harus diendapkan dulu, ngga bisa langsung ditulis begitu saja. Kalau kamu punya ide, tulis dulu supaya ngga lupa, kamu kembangin di otak kamu sampai kiraa-kira bisa ditulis jadi cerita.”
“Terinspirasi itu sah-sah saja, tapi kamu harus banyak modifikasi. Misalnya kamu ambil tema, tapi setting, karakter orang, dan plotnya harus kamu ubah sendiri. Kalau sama saja, bisa dibilang kamu cuma tulis ulang dalam versi kamu sendiri. Kalau dalam dua-tiga hari kamu udah ga tertarik sama ide itu, ya sudah tinggalkan, cari yang lain. Kalau kamu kepikiran terus, berarti ide itu memang minta dikembangkan jadi cerita,” jelas Pak Darma panjang lebar.
“Kalau idenya saya tinggalkan, gimana kalau ga ada ide yang lain, Pak?” tanya Krisan setengah takut.
Pak Darma menepis udara kosong dengan tangannya. “Alah, mana mungkin. Kapasitas otak manusia itu di luar dugaan kamu. Rata-rata manusia biasa bisa menghasilkan 40 ide dalam sehari, kalau dioptimalkan malah bisa jadi 1000 ide sehari. Ide itu bisa datang dari mana saja, kehidupan pribadi kamu, kehidupan orang lain, apa yang ada di sekitar kamu, mimpi, juga dari imajinasi. Tinggal pintar-pintarnya kamu meramu ide itu jadi cerita.”
Krisan diam lagi. Ia ingin bertanya bagaimana caranya, tapi takut malah menghabiskan kesabaran Pak Darma yang telah berbaik hati meluangkan waktunya untuk membantu Krisan. Perihal bagaimana cara mendapatkan ide brilian, rasanya itu urusan Krisan sendiri.
“Saya kemarin juga baca tulisan-tulisan kamu untuk mata kuliah lain. Resensi, artikel, dan biografi singkat yang kamu tulis juga bagus. Kamu punya bakat linguistik yang bagus. Ini bisa jadi senjata kamu. Cerita yang sederhana pun kalau ditulis dengan bahasa yang indah dan menarik bisa jadi karya yang luar biasa. Soal masalah ide, kamu harus berani bereksplorasi dan banyak latihan.”
Sebersit senyum menghiasi paras gadis itu. “Terima kasih banyak, Pak. Nanti saya coba untuk ngga baca novel apa pun sebelum menulis.”
Pak Darma tertawa. “Pokoknya jangan takut idenya kabur,” candanya seraya bangkit dan mempersilakan Krisan keluar. Sebelum meninggalkan ruangan, Krisan mencium tangan dosennya dan sekali lagi mengucapkan terima kasih.

***

“Udah ngga feeling blue nih? Apa masih krisis cita-cita” tanya Latisha seraya menyodorkan sekantong lays rasa rumput laut kepada Krisan.
Krisan mengambil beberapa dan mengunyahnya dengan santai. “Engga dong, udah dapet pencerahan nih dari Drs. Sudarma Kasiyarno, M.Hum,” jawabnya bangga seraya menatap hamparan danau hijau di hadapannya.
“Ceilaaaaaaah,” ledek Latisha sambil tertawa. Matanya mengikuti arah pandangan Krisan. Mereka tengah menikmati angin sore yang lembut di tengah-tengah jembatan teksas, jembatan besar berwarna merah yang menghubungkan Fakultas Teknik dan Fakultas Ilmu Budaya. “Tetep mau jadi penulis kan?”
“Gimana yaaaaaa?”
“San?”
Krisan tertawa merdu disertai anggukan mantap. “Yup. Gue udah praktekkin nih nasihat-nasihat si bapak. Sekarang gue lagi nulis cerita juga. Ngga terinspirasi dari mana-mana, loh! Murni buah pikiran hasil brainstorming.”
“Iya? Mau dong bacaaaaaa!” pinta Latisha sambuil tetap mengunyah cemilannya.
“Nanti ya, Pak Darma dulu yang baca.”
Latisha tertawa lepas. “Jangan-jangan lo sama dia lebih dari sekedar curhat akademik lagi? Jangan-jangan curhatnya modus ya?” ledeknya dilengkapi sorot mata super jail.
Krisan ikut tertawa. “Iya nih, jangan bilang-bilang cowo gue ya,” candanya. Mereka berdua pun tertawa lagi.
Krisan mengorbankan banyak hal demi jalan yang ditempuhnya saat ini. Perjalanannya masih panjang, kurang lebih tiga tahun enam bulan. Ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan belajarnya. Krisan yakin, ia akan mampu meraih impiannya sejak kecil, menjadi penulis yang memberikan inspirasi bagi pembaca-pembacanya.

***

Monday, March 19, 2012

Bunga untuk Maisy

  • Hello readers! Super long-time-no-post! <3 does anybody miss my writings so far? :pp
  • Life's been good lately, but super busy. Academical life's great so far. Love life? Super fine!<3 you'll find some of him on Riza's personalities :DD  it's good to have every aspect of my life gets on the same track but it's just a lil bit sad that I don't have much time to do this hobby :(
  • I personally miss my writing a lot. I miss spending hours with words & my own imagination. This is the first story that I finished these three months. Not a great one, I think. I  wrote it in just... 4 hours. It's just, I don't have anything to do, no tasks, and I feel the urgency to write something again. You know what, it feels so good to finally write again!
  • The idea of the story is based on my personal experience. Some dialogs are even true :p 
  • Well, enjoy it people! Critics are always welcomed :D
Bunga untuk Maisy

Sudah menjadi rahasia umum kalau mayoritas gadis remaja saat ini menginginkan pasangan sempurna seperti Beast-nya Beauty, Pangerannya Cinderella, Romeo-nya Julliet, atau bahkan Shrek-nya Princess Fiona. In fairytales world, we call them ‘prince charming’. Well—aku tahu Shrek jelas tidak termasuk dalam kategori charming itu sendiri—but still, dia pasangan yang luar biasa baik dan setia. Prince charming doesn’t always have to literally look charming, does he?
Mereka selalu terlihat sempurna, sweet, murah hati, dan yang terpenting, mereka rela berkorban apapun untuk kekasih mereka. Meskipun kisah cinta tokoh-tokoh tersebut penuh lika-liku, akhirnya selalu bahagia. Not to mention Romeo & Juliet—we all know how tragic the story ended. Aku tahu, true love doesn’t have endings, but still....
Jadi wajar kan kalau gadis-gadis remaja seumuranku ingin diperlakukan dengan romantis? Nggak usah terlalu dramatis seperti aksi minum racunnya Romeo saat ditinggal mati Juliet, cukup perhatian-perhatian, kata-kata manis, atau hadiah-hadiah kecil sudah lebih dari cukup untukku. Sayangnya, nggak satu pun dari hal itu bisa aku dapatkan. I knew from the very start that Riza was never a prince charming. He’s neither charming nor sweet.
Riza selalu cuek, jarang gombal, bahkan kurang perhatian. Dia selalu sibuk tidur, makan, main game, main bola.... ugh, yang terakhir ini yang selalu bikin dia ninggalin aku berjam-jam. Main bola sama temen sekelas, main futsal sama temen-temen sekompleks, atau nonton liga Inggris di tv yang bikin dia lamaaaa banget bales sms. Wajar kan kalau aku kesel?
“Sy, diliatin Pak Anwar!” bisik Destia, teman sebangkuku. Ya, aku sedang melamun sendiri di tengah-tengah pelajaran fisika.
Aku mengerjap cepat, pelan-pelan mengerling ke arah Pak Anwar yang sedang duduk di kursinya. Kedua mata elangnya terfokus padaku. Cepat-cepat aku meraih pensil dan berpura-pura ikut Destia menghitung, padahal aku nggak ngerti sama sekali.
“Ngelamunin apa sih?” tanya Destia tanpa menatap ke arahku, pandangannya tetap tertuju pada kertas soal di hadapannya sementara tangannya masih sibuk menari di atas kertas kotretan.
Aku berhenti berpura-pura menghitung, Pak Anwar tampaknya sudah punya sasaran lain untuk dipelototin. “Riza,” jawabku pendek.
Destia terkekeh pelan seraya mengerling ke arahku. “Yakali banget deh Sy, siang-siang gini ngelamunin cowok,” ujarnya geli. “Eh tapi lu gak ngelamunin yang aneh-aneh kan?”
“Ngaco banget sih! Ya enggalah,” sergahku cepat. “Gua tuh lagi mikir, kenapa ya si Riza ga pernah so sweet sama sekali sama gue? Padahal kita udah pacaran lumayan lama.”
“Yaaaa lu kaya ngga tau Riza aja, dia kan emang orangnya gitu, cuek, ga peduli yang gitu-gitu.”
Aku berdecak pelan. “Tapi ya Des, semua orang pasti punya sisi romantis dong, walaupun gue yakin punya Riza kadarnya pasti minim banget. Tapi sekali-kali gue juga pengen digombalin, diunyu-unyu, dikasih bunga.”
Destia meletakkan pensilnya dan menatap lurus ke arahku. Sorot matanya jenaka. “Maisy, dulu pernah kan dikasih bunga sama Riza? Gue aja masih inget. Lagian kan lu sendiri yang bilang gombalnya gembel, ga bakat. Eh sekarang pengen digombalin.”
“Iya, pernah. Waktu dia nembak gue,” jawabku cepat. “Itu sih jelas aja Des, waktu itu dia ada maunya. Emang sih gombalnya norak, tapi seengganya daripada ga digombalin sama sekali.”
Tawa Destia berderai, yang kemudian langsung ditahannya karena beberapa murid mulai menoleh penasaran. Ia berdeham sekali sebelum menjawab. Sekilas senyum bermain di bibirnya. “Sy, mungkin Riza emang bukan tipe-tipe cowo yang bisa kaya si Marwan di iklan provider itu, tapi suatu saat pasti dia bakal melakukan hal-hal unyu yang bikin lo amazed, kok.”
Mau tidak mau aku tersenyum mendengarnya. Destia memang sahabat paling oke.

***

Happy birthday Mila, happy birthday Mila, happy birthday, happy birthday, happy birthday Mila!
Siang itu, sepulang sekolah, kelas XII IPA 4 heboh merayakan ulang tahun Mila. Lagu selamat ulang tahun terus berkumandang sementara aku dan teman-teman sekelas lainnya bergantian menyalami Mila, cipika-cipiki, dan mengucapkan selamat ulang tahun setelah seharian ini mengerjai Mila habis-habisan.
Aku baru saja memberikan hadiahku ketika Aida dan Destia menyikut pelan rusukku, memberi kode untuk menyingkir. Aku menurut dan mengambil tempat di antara mereka sementara Denis, pacar Mila, muncul dari kerumunan para cowok dengan cheese cake besar dan sebuket bunga mawar di tangannya. Seulas senyum menghiasi wajah tampannya.
Belum apa-apa, wajah Mila sudah merona merah.
“Selamat ulang tahun Kamila-ku, semoga kamu semakin cantik, semakin solehah, sukses, dan semakin sayang sama aku,” ujarnya dengan cengiran jenaka di akhir kalimat. Mila blushing, aku pun ikut-ikutan blushing.
Denis mengangkat cheese cake-nya, lilin dengan angka 18 menyala dan siap ditiup. Lagu happy birthday kembali memenuhi ruang kelas sementara Mila menutup matanya erat-erat, the make-a-wish tradition, kemudian meniup lilinnya. Riuh rendah tepuk tangan para murid bergema dan menjadi semakin keras ketika Denis menyerahkan sebuket bunga serta hadiahnya.
Kerumunan mulai bubar ketika Mila dan Denis mulai larut dalam dunia mereka berdua.

***

“Tadi Denis so sweet banget loh sama Mila,” ujarku membuka pembicaraan.
Riza mendongak menatapku. “So sweet gimana?”
Aku menyendok nasiku pelan-pelan, memikirkan kata-kata yang akan aku gunakan untuk menyindir Riza dengan sehalus mungkin. “Yaaa gitu, dia bawain cheese cake kesukaan Mila, terus ngasih bunga mawar sebuket, terus kadonya gatau apa tapi Mila keliatannya seneng banget.”
“Terus?”
“Apanya yang terus? Aku gatau terusannya,” jawabku.
Riza menghabiskan suapan terakhir nasinya dan mulai menyomot kuah sotoku. “Apa so sweet-nya kaya gitu doang?”
Listen who’s speaking, Mr. Most-unromantic-guy-ever? Aku buru-buru menghabiskan makananku. “Itu so sweet sayang, sekali-kali kamu so sweet juga dong sama aku, jangan kalah sama cowo-cowo lain.”
“Kaya Denis gitu? Cowo-cowo lain siapa? Aku kan ga punya saingan,” jawabnya cuek.
Aku mulai kesal. “Ya nggak usah kaya Denis, maksud aku, sekali-kali kamu yang romantis gitu. Aku mau bunga juga dong Riiiz.”
“Males ah.”
Males ah? Aku buru-buru menyedot es teh manisku. “Yaaah kamu ko gitu sih? Aku kan cuma minta bunga, masa gitu aja nggak mau.”
Riza mengangkat bahunya. Nada bicaranya masih sama cueknya dengan sebelumnya. “Abis kamu minta sih, aku jadi nggak mau ngasih.”
“Emang kalau aku ngga minta kamu mau ngasih?” tanyaku dalam nada satu oktaf lebih tinggi.
“Ngasihlah,” jawabnya enteng. “Itu soto kamu mau dihabisin ngga? Kalau engga buat aku aja ya?”
Aku mengangguk cepat, menggeser mangkok sotoku ke arahnya. Mood makanku sudah hilang sama sekali gara-gara cowok nyebelin yang satu ini. Padahal soto daging di rumah makan ini rasanya enak banget. “Masa sih?” tanyaku tak percaya. Siapa juga yang percaya, hampir tujuh bulan pacaran dikasih bunga baru satu kali, itu pun waktu baru jadian. Pencitraan banget biar kesannya romantis.
“Iya, tadi aja minta, giliran aku bilang mau ngasih kamunya malah ga percaya. Kamu mau kan dikasih bunga? Nanti aku beliin bunga deh untuk kamu.”
“Aku mau, tapi tadi katanya kamu nggak mau ngasih? Ko sekarang bilangnya mau?” Ini aku yang bodoh apa Riza emang bikin bingung sih?
Riza melahap suapan terakhir kuah sotonya sebelum menjawab. “Aku mau ngasih, tapi bukan gara-gara kamu yang minta. Aku maunya ngasih sendiri.”
“Kenapa ga dari dulu? Cowok-cowok lain aja sering ngasih bunga sama cewenya, kamu ngasih ke aku aja baru sekali. Sekarang pas aku minta aja bilangnya mau ngasih, gimana sih Riz? Kamu emang dari dulu ga ada romantis-romantisnya deh,” cerocosku tak sabaran. Riza emang paling jago menghabiskan kesabaranku.
“Kok kamu jadi nuntut aku macem-macem sih? Itu kamu tau aku ngga romantis, udah ah Sy jangan minta yang aneh-aneh. Jangan kaya anak kecil kebanyakan nonton sinetron,” tegasnya seraya meraih selembar uang dua puluh ribuan dan menyerahkannya kepada pegawai restoran. “Yuk ah, udah sore.”
Dibentak Riza seperti itu, aku cuma bisa diam dan ikut saja ketika ia berjalan menuju area parkir motor. Sepanjang jalan pulang, kami tidak bicara sama sekali.

***

“Jadi, sekarang lo berantem sama Riza? Padahal kan hari ini tujuh bulanan.” tanya Destia setengah berbisik sementara pandangannya mengawasi Bu Eva yang sedang asyik dengan laptop-nya. Waktu menunjukkan pukul tiga belas empat puluh dan aku merasa bosan setengah mati mengikuti pelajaran pkn ini. Murid-murid lain selain aku dan Destia pun sibuk mengobrol dengan teman sebangku masing-masing.
Aku menghelas nafas dalam-dalam sebelum menjawab. “Iya. Gatau deh, smsan sih tetep, tapi dia jutek banget. Tadi pagi aja ketemu di depan lapangan dia cuma nyapa gitu doang.”
“Berantemnya gara-gara lo minta bunga?”
“Gara-gara gue nuntut dia supaya romantis dikit,” bisikku setengah kesal. “Ya gue emang salah sih Des, mestinya gue ga ngomong gitu apalagi si Riza kan emang suka pundungan gitu. Tapi mau gimana lagi, dia tuh ga pekanya suka kebangetan, bikin orang kesel beneran,” curhatku tanpa ditahan lagi.
Destia berpikir sebentar sebelum menjawab. “Lo udah minta maaf sama dia?”
Aku mengangguk. “Tadi malem sih udah, dia bilang gapapa slow aja, tapi dianya tetep gitu.”
“Masih bete kali ya. Cowok kan emang gitu, egonya kesentil dikit pundungnya suka lama. Si Ega juga suka kaya gitu. Tapi ya Sy, kalau lu emang mau lanjut terus sama Riza, lu mesti terima dia apa adanya. Klise sih ini, tapi ya emang harus gitu. Kalau lu masih ngarep yang macem-macem dari Riza, yang ada lu bakal kecewa sendiri kalau dia nggak sesuai sama keinginan lu, dan lu bakal ngebanding-bandingin dia sama cowok-cowok romantis yang lain,” kuliah Destia panjang lebar.
Aku termenung cukup lama. Kata-kata Destia memang bukan hal baru buatku, bahkan cenderung teoritis dan aku sudah tau. Hanya saja, rasanya beda kalau Destia yang bilang padaku. Dia mengenalku dengan sangat baik dan aku tahu dia bilang begitu karena memang dia peduli.
“Iyaaaa gue ngerti maksudnya Des, cuma gimana ya kadang gua pengen diperlakukan kaya gitu. Ga perlu setiap saat, cuma saat-saat tertentu aja. Sekali-kali gue pengen dia nunjukkin rasa sayangnya dengan cara kaya gitu.” Aku mendesah pelan.
Destia mengerling ke depan kelas, memastikan Bu Eva tak menyadari kegiatan curhat colongan kamiu di sela-sela pelajarannya. “Nunjukkin rasa sayang ga harus kaya gitu kan Sy, lo tau kan gimana sayangnya Riza sama lo. Kayanya orang yang ngeliat kalian berdua juga tau, keliatan kok dari matanya Riza,” ujarnya meyakinkan.
Spontan otot-otot bibirku berkontraksi membentuk senyuman geli. “Sotau banget lo, Des.”
Destia tertawa pelan. “Eh tapi serius, kalau urusan sayang mah udah ga perlu dipertanyakan. Mungkin caranya nunjukkin beda, ngga kaya cara lo. Tapi dari yang gue liat selama ini, lo bahagia sama dia. Dia selalu bisa bikin lo seneng, bikin lo ngga bete, harusnya itu cukup Sy.”
Sebelum aku sempat merespon, bel pulang berbunyi tiga kali dan Destia buru-buru merapikan barang-barangnya. “Sorry banget gue dijemput nyokap, mau jemput kakak gue di bandara. Ntar kalau mau cerita bbm aja ya, semoga cepet baikan,” ujarnya diakhiri senyum tulus dan tepukan halus di pundakku.
Aku ikut bangkit dan mengantarnya berjalan ke pintu kelas. “Makasih banyak ya Des,” ujarku tulus. Ia mengangguk dan langsung berlari keluar. Baru saja aku hendak berbalik ke kelas, sebuah sweater tebal biru donker tersampir di bahu kiriku. Dari aroma parfumnya saja aku sudah tahu itu milik Riza.
“Hey,” sapaku ragu-ragu.
“Hey.” Riza balik menyapa. Senyumnya yang biasa telah kembali menghiasi wajahnya. Aku sedikit lega melihatnya, dia sudah nggak marah. “Maaf ya aku malah marah sama kamu. Kita ngobrol di kantin yuk.”
Aku mengikutinya ke kantin dan duduk di salah satu pojok paling nyaman. Riza memesan es kelapa muda dan aku memesan nutrisari dingin. “Aku juga minta maaf Riz, harusnya aku ngga ngomong kaya kemarin. Harusnya aku ngga nuntut kamu macem-macem—“
“Aku ngerti Sy, ngga apa-apa kok,” potongnya lembut. “Dari dulu aku emang paling ga bisa romantis-romantis gitu, kamu tau sendiri kan. Tapi kalau itu bisa bikin kamu seneng, aku juga bakal nyoba Sy, cuma mungkin caranya nggak kaya cowo-cowo lain.”
Aku sengaja mengulur waktu menjawab, membiarkan Mang Asep menghidangkan minuman kami dulu. “Iya Riz, aku tau, aku juga ngga ngarep setiap saat kamu romantis gitu. Iya? Makasih banyak ya, tapi kalau emang kamu ngga suka kaya gitu juga aku ngga maksa kok Riz.”
“Ah ngga maksa tapi pengen kan?” tanya Riza setengah menggoda.
Aku tersenyum malu. “Yaiya dong Riz, kamu pake nanya.”
Riza tertawa. “Aku coba ya, tapi kamu jangan terlalu ngarep ya, Sy.”
Aku mengangguk cepat dan menengguk minumanku sampai tinggal setengahnya.
“Sebentar ya,” ujar Riza kemudian bangkit berdiri tanpa menunggu jawabanku. Sejurus kemudian ia kembali dengan sebuket bunga mawar warna jingga dan sekotak biskuit coklat kesukaanku. Ia menarik kursi di sampingku. “Selamat tanggal 27 ya sayang, semoga kita awet terus.”
Tanpa berkaca pun aku yakin wajahku pasti memerah. “Kamu inget?”
“Aku ngga segitunya Maisy, masa tanggal jadian kita aja aku lupa sih? Jangan-jangan malah kamu ya yang lupa?” tanyanya pura-pura tersinggung.
Aku tertawa lepas seraya meraih bunga dan biskuit darinya. “Ngga mungkin dong sayang,” jawabku geli. Kami pun tertawa bersama.

***

Rupanya Destia benar. Mungkin Riza memang bukan tipikal cowok yang bisa bermanis-manis denganku. Mungkin dia memang selalu cuek, dan akan selalu jadi pacar menyebalkan yang paling jago menghabiskan kesabaranku. But the truth is, he’s the one who makes me feel this good. Dia selalu bisa bikin aku senang bahkan di saat aku bener-bener lagi nggak mood.
Riza punya caranya sendiri untuk buat aku bahagia. Meskipun super ngeselin, he never actually hurt me. Dia bukan cowok yang cuma bisa bikin aku sedih. He’s more likely my smile maker rather than my tears waster. Mungkin memang cowok seperti Riza ini yang aku butuhkan untuk sekarang dan nanti. Aku sayang dia :)

***