Sunday, October 30, 2011

Jahe dan Kayu Manis untuk Ayah

  • Hello, dear readers!!! As if I have any :p, it's been like..... weeks I don't write and I miss writing soooooo much. Life's been busy and totally messed up lately. Lots of troubles, competition, tears, even fights. And they all haven't finished yet. But well, this is Sunday, and a lot of things going on this week gave me so much to write about. But even though I have so many ideas, with a lot of things on my mind, I couldn't turn them into written form except this one. Again, it's about family.
  • Hope you enjoy it! As always, critics would be lovely

Jahe dan Kayu Manis untuk Ayah
Maya terpaku menatap deretan huruf yang berbaris rapi pada lembaran buku cetak biologi di hadapannya. Pandangannya menatap lekat-lekat setiap kata yang tertulis, memastikan tak ada satu pun informasi yang terlewat, sekali pun nuraninya enggan membaca lebih jauh.
Berbagai penyakit, sindrom dan simtoma dapat terpicu oleh diabetes mellitus, antara lain: Alzheimer, ataxia-telangiectasia, sindrom Down, penyakit Huntington, kelainan mitokondria, distrofi miotonis, penyakit Parkinson, sindrom Prader-Willi, sindrom Werner, sindrom Wolfram, leukoaraiosis, demensia, hipotiroidisme, hipertiroidisme, hipogonadisme, dan lain-lain.
“Ada yang mau bertanya?” seru Bu Yuli keras, memastikan semua murid di ruangan dapat mendengar suaranya. Tangan kanan Maya melesat naik. “Ya, Vismaya.”
“Kalau seseorang sudah terlanjur menderita diabetes, apa itu bisa disembuhkan?” tanya Maya penuh harap. Ia terdiam, menatap Bu Yuli dengan pandangan nanar dan menunggu. Ingatannya melayang pada sosok lelaki bersahaja yang sangat ia sayangi, ayahnya.
Bu Yuli menghela nafas sebelum menjawab. “Diabetes dalam stadium awal masih bisa ditangani. Caranya tentu saja dengan menurunkan kadar gula dalam darah, yaitu menjaga pola makan yang sehat dan rajin olahraga. Tetapi diabetes dalam stadium lanjut, dalam hal ini yang penderitanya sudah tergantung pada suntikan hormon insulin, agak sulit untuk ditangani.”
Maya menghembuskan nafas lega. Ia merasa sedikit lebih rileks setelah mendengar penjelasan Bu Yuli. “Terus Bu, ada nggak sih yang bisa kita lakukan buat mereka?” lanjutnya.
“Ada, kita itu bisa jadi... apa ya namanya, satpam. Jadi kalau pola makan mereka mulai melenceng, kita harus jadi satpam yang tegur mereka, kita juga bisa memberi semangat dan doa untuk mereka,” jawabnya disertai seulas senyum hangat. “Oh ya, ada yang tahu kapan hari diabetes sedunia?”
Hampir semua murid menggeleng kecuali Citra, teman sebangku Maya, yang notabene adalah ketua PMR di sekolah mereka. “14 November, Bu,” jawabnya.
“Betul! 14 November, satu minggu dari sekarang. Di lebih dari 100 negara, hari itu diperingati dengan pencahayaan gedung-gedung dan monumen-monumen dengan cahaya biru. Biru adalah warna symbol diabetes global. Lingkaran biru juga telah diadopsi sebagai logo resmi Hari Diabetes Sedunia.”
Murid-murid bergumam “ooooh” mendengar penjelasan tersebut. Bagi sebagian besar murid, hal ini merupakan informasi baru. Termasuk juga bagi Maya. “Terus Bu, kalau di kita ngerayainnya gimana?” celetuk Garin dari pojok kelas.
“Kalau di Indonesia, biasanya diperingati dengan adanya penyuluhan-penyuluhan mengenai diabetes, terus juga pernah ada pembagian obat herbal gratis dari industri jamu lokal, dan sebagainya. PMR sekolah kita rencananya mau mengadakan penyuluhan di aula, mengundang narasumber dari puskesmas dan bagi-bagi souvenir warna biru,” jelas Bu Yuli lagi. “Masih ada yang ingin bertanya?”
Bel berbunyi tepat ketika seluruh murid menggeleng. Bu Yuli mengucapkan salam kemudian bergegas meninggalkan kelas. “Langsung balik yuk May,” ajak Citra.
“Temenin gue ke Gramed dulu mau ngga? Bentar aja, mau ada yang dilihat,” pinta Maya.
Citra mengiyakan dan mereka langsung pergi ke Gramedia, toko buku yang terletak 50 meter dari sekolah mereka. Sesampainya disana, Maya langsung menghilang di balik rak buku-buku kesehatan. Citra menatapnya dengan pandangan melongo. “Nyari apa sih May?” tanyanya penuh selidik.
Alih-alih menjawab pertanyaan Citra, Maya malah balik bertanya. “Kira-kira apa ya yang bisa gue bikin dari kayu manis dan jahe?”
Kening Citra berkerut heran. “Hah? Buat apaan?”
Maya mengerjap cepat kemudian menutup buku dalam genggamannya. “Ada deh, yaudah yuk pulang,” ujarnya kemudian meletakkan buku di tempatnya semula.

***

Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un telah berpulang ke rahmatullah Bapak Joko Suyanto, dini hari tadi pada pukul empat tiga puluh. Sekali lagi, telah berpulang ke rahmatullah Bapak Joko Suyanto....”
Maya sontak terjaga dari tidurnya. Kedua matanya membelalak lebar, tak percaya akan apa yang baru saja didengarnya. Dengan terburu-buru ia bergegas meniggalkan kamar. Sepi. Tak ada siapa pun di ruang keluarga. Dapur dan kamar orang tuanya pun sepi. Maya buru-buru mengganti piamanya dengan sepasang training dan sweater kebesaran berwarna biru tua kemudian cepat-cepat melangkah keluar rumah.
Rumah Pak Joko sudah dipenuhi orang, di antaranya para tetangga dekat dan beberapa orang yang Maya sendiri belum pernah liat. Ayahnya tengah sibuk mengurus surat kematian Almarhum Pak Joko sementara ibunya tengah menghibur Bu Joko yang tak kuasa menahan tangis. Maya menatap nelangsa pemandangan mengejutkan di hadapannya. Air matanya tumpah tatkala melihat Deswita, sahabatnya sejak kecil, tengah memeluk jenazah ayahnya seraya mengangis tersedu-sedu. Ia buru-buru meninggalkan rumah duka dan kembali ke rumahnya sendiri.
Komplikasi diabetes dan kolesterol, kata ibu. Maya teringat kembali akan pelajaran biologinya mengenai sistem ekskresi serta penyakit-penyakit yang dapat terpicu oleh diabetes. Maya takut kalau suatu saat nanti ayah akan mengalami hal yang sama seperti yang dialami Pak Joko dan korban-korban penyakit diabetes lainnya. Maya takut akan ditinggalkan ayah seperti Pak Joko meninggalkan Deswita. Maya ingin ayah tetap sehat untuk melihatnya sukses di masa depan nanti.
Apalagi hasil tes laboratorium terakhir ayah menunjukkan bahwa kadar gula dalam darahnya sedikit meningkat. Nuraninya tersentil. Ia semakin ingin melakukan sesuatu untuk ayah.

***

Tanggal 14 November yang digadang-gadang sebagai hari diabetes sedunia rupanya jatuh pada hari Minggu. Maya sengaja bangun pagi-pagi sekali untuk mempersiapkan sesuatu untuk ayah. Ia dan ibu akan memasak untuk ayah yang saat ini sedang ikut kerja bakti di mesjid. Jam dinding di dapur menunjukkan pukul enam ketika Maya telah selesai mempersiapkan seluruh alat dan bahan untuk masak.
“Emang kamu mau masak apa sih, May?” tanya ibu, mengikuti Maya berjalan ke dapur.
Yams with Ginger and Cinnamon.”
Kedua alis ibu bertaut heran. “Apaan tuh? Ibu baru denger.”
“Makanan dari jeruk sama kentang gitu Bu, terus pakai kayu manis sama jahe, nanti jadinya manis gitu deh Bu, aku lihat resepnya di internet kayaknya enak,” jawab Maya kalem sembari mulai mengupas kentang.
Ibu mengambil pisau dan mulai membantu Maya mengupas kentang. “Hati-hati loh May, ayah kan ga boleh makan yang manis-manis,” ucap ibu sedikit was-was. Maya dapat membaca rasa khawatir pada kilau matanya.
Seulas senyum bermain di wajah Maya. “Enggak kok Bu, ini kan manisnya juga dari jeruk. Lagian ya, makanan ini tuh dapat predikat world’s healthiest food! Lagipula kayu manis sama jahe itu bisa menurunkan kadar gula dalam darah, bagus untuk penderita diabetes seperti ayah.”
Ibu manggut-manggut mendengar penjelasan Maya. Meskipun tidak tahu pasti akan khasiat bahan-bahan pada makanan ini, beliau memutuskan untuk percaya pada Maya. Mereka pun memasak tanpa banyak bicara. Ayah datang tepat ketika Maya baru saja meletakkan masakannya ke atas piring saji.
“Wah masak apa nih, wanginya enak banget,” ujar ayah dengan nada menggoda.
“Sini Yah, duduk sini!” seru Maya bersemangat. Ia cepat-cepat menarik salah satu kursi meja makan, mempersilakan ayah untuk duduk, dan mempersembahkan hasil masakannya dengan gaya ala chef internasional yang sering dilihatnya di acara Masterchef.
Ayah tampak takjub. Pertama karena melihat perlakuan putrinya yang berbeda dari biasanya. Kedua karena melihat makanan yang tampak asing di hadapannya. “Wah, dalam rangka apa ini May? Ayah kan nggak ulang tahun.”
Maya menarik kursi di hadapan ayah. Bingung dari mana harus memulai. Maya bukan tipikal anak yang bisa dengan mudah menunjukkan rasa sayang mereka kepada orang tuanya. Sekarang pun Maya yakin, kata-katanya pasti terdengar aneh di telinga ayah dan ibu.
“Hmm, gini Yah,” ujarnya sedikit terbata. “Kata guru aku, diabetes itu bisa memicu banyak penyakit lainnya, tapi juga masih bisa ditangani. Hari ini hari diabetes sedunia, makanya aku masakin makanan yang sehat, supaya Ayah bisa sehat terus.” Tuh kan, aneh, lanjutnya dalam hati.
Selama beberapa detik ayah tampak bingung. Detik berikutnya, beliau tersenyum seraya melepas kacamatanya. “Makasih ya Maya, ayah senang sekali.”
Maya menelan ludah. Inilah alasan kenapa ia tak terbiasa bicara sentimentil kepada orang tuanya, ayahnya juga sama seperti dirinya. Selalu speechless kalau menyangkut masalah begini. Untuk mencairkan suasana yang tampak canggung, Maya buru-buru menyiapkan sendok dan garpu untuk ayah.
“Enak May,”ujar ayah pendek sembari mengacungkan kedua jempolnya. Maya tergelak pelan.
“Maya sayang sama Ayah, semoga Ayah sehat terus ya, Maya siap kok kalau harus jadi koki yang nyiapin makanan sehat untuk Ayah, Maya juga bisa jadi satpam yang ngontrol pola makan Ayah,” tuturnya panjang lebar.
Ayah meletakkan peralatan makannya. “Ayah juga sayang sama Maya, makasih banyak ya,” ujarnya kemudian kembali melanjutkan aktivitasnya.
Maya tersenyum tulus. Meskipun ayah irit bicara, ia yakin ayah sungguh-sungguh dengan perkataannya. Mulai saat ini, ia akan langsung turun tangan dalam menjaga kesehatan ayah. Wujud kasih sayangnya sekaligus meringankan pekerjaan ibu yang selama ini selalu mengurus ayah sendirian.

***

Thursday, October 6, 2011

Magnet Misterius

  • Hello, hello! Lagi-lagi buah karya hasil mumet belajar. Lagi keranjingan bikin cerpen yang super short xoxoxoxo
  • This is basically my true experience. I'm trying to dig more ideas from myself and develop them into stories. Soal bahan pembicaraannya... anak smanti pasti tau siapa guru yang dimaksud hahaha itu bukan sisi percakapan yg asli kok, jujur aja gue lupa waktu itu ngomongin apa aja sampai gue bisa ngerasa kaya gitu. Satu-satunya isi percakapan yg kebayang cuma itu karena gue inget si Deyang =))
  • Enjoy, people! Critics would be more than lovely <3

    Magnet Misterius

          “Sama Niki? Ngga salah?” tanya Tessa dalam nada satu oktaf lebih tinggi dari sebelumnya.
    Leony tertawa keras melihat polah sahabatnya. “Santai aja, Niki baik kok, gue jamin lo ngga bakal kenapa-napa. Kalau dia macem-macem, bilang gue, deal?”
    Tessa memalingkan wajahnya, cemas. Masalah terletak pada status Nikita yang saat ini merupakan pacar Dirga, mantannya Tessa. Tak jadi soal kalau ternyata hatinya sebaik ibu peri. “Tapi Le, jangan berdua aja dong, lo tau kan kalau gue sama dia berdua pasti canggung, ntar ngomongin apa dong biar nggak garing?”
    “Hm...., gimana kalau ngomongin Dirga aja? Kan sejak putus udah lama tuh lo ga update kabar tentang dia,” goda Leony sambil memasang mimik jahil.
    Wajah Tessa sontak blushing. Alih-alih menjawab, ia malah gigit jari. Mudah saja bagi Leony untuk bicara tentang Dirga, tapi untuk Tessa, sulitnya bukan main. Tessa dan Dirga adalah pasangan yang sangat serasi. Hubungan mereka bertahan cukup lama meskipun jalannya tak selalu mulus. Beberapa kali putus tetapi selalu kembali bersama pada akhirnya. Membuat sebagian orang berpikir mereka memang ditakdirkan untuk bersama.
    Namun, realita berkata lain. Banyaknya masalah internal serta sikap Tessa dan Dirga yang sama-sama moody dalam menyikapinya membuat hubungan mereka semakin renggang. Tessa sempat sakit hati, ketika akhirnya ia mencetuskan kata ‘putus’, Dirga justru telah menemukan penggantinya. Terlebih setelah mengetahui bahwa sosok yang dimaksud adalah Niki, teman sekelasnya.
    Meskipun hubungan Niki dan Dirga sudah hampir setengah tahun, sebisa mungkin Tessa menghindari kontak langsung dengan Niki. Kalaupun ternyata satu kelompok pelajaran, mereka hanya membicarakan yang penting-penting saja. Tak pernah mengungkit Dirga sama sekali.
    “Jadi gimana Tes, nggak apa-apa kan berdua aja sama Niki?”
    Tessa mengangguk cepat, refleks. Sebetulnya ia masih ingin membujuk Leony tetapi sepertinya tak akan berhasil. “Yaudah deh, nggak apa-apa Le.”
    Leony mengulum senyum tipis, antara geli dan kasihan. “Gini deh, lo kan selalu penasaran kenapa Dirga suka sama Niki, ntar kalau lo ngobrol berdua aja kan lo bisa sekalian cari tahu, gimana?”
    Tessa berpikir sesaat. Leony memang benar, selama ini ia selalu penasaran akan pilihan Dirga. Sosok Niki yang tomboy, ceplas-ceplos, dan ramah memang berbeda nyaris seratus delapan puluh derajat dengan dirinya. Tessa feminin, menyukai hal-hal yang manis dan girly, cengeng, tidak pernah berkata kasar, tetapi moody dan banyak mau.
    “Bener juga Le,” putusnya. “Yaudah deh nggak apa-apa, lagian kan disana juga les fisika bukan mau ngapa-ngapain,” jawab Tessa sambil tersenyum penuh arti.

    ***
    “Nik, berangkat sekarang, yuk!” seru Tessa.
    Selama tiga detik raut wajah Niki tampak bingung mendengar intonasi Tessa yang sedikit terlalu ceria. “Sekarang, Tes? Yaudah yuk,” jawab Niki seraya menyandang tas di bahunya dan mulai melangkah keluar kelas.
    Mereka berjalan berdampingan, mengobrol basa-basi mengenai matahari yang panasnya di atas rata-rata, praduga mengenai jalan raya yang kemungkinan macet, serta ulangan biologi yang baru saja berlalu kemudian naik angkot jurusan warung jambu.
    “Tadi cita-cita PTN ngisi apa aja, Nik?” Tessa membuka obrolan dengan topik yang sedang hangat-hangatnya di antara siswa kelas 12, yaitu perguruan tinggi.
    “Farmasi UI sama Farmasi UGM, kalau Tessa?”
    Tessa diam sesaat, ia tahu kalau cewek mantannya ini memang bercita-cita menjadi apoteker. Tessa tergelitik untuk mencari tahu alasannya. “Gue maunya FE, Komunikasi, sama Sastra Indonesia UI,” jawab Tessa dengan mata berbinar. “Niki kenapa mau ambil farmasi?” tanyanya.
     Giliran Niki yang terdiam. “Gue paling ngga bisa makan obat tablet, dan pastinya banyak orang yang kaya gitu. Makanya mau kuliah farmasi supaya bisa buat obat dalam bentuk baru yang mudah dicerna semua orang. Tessa sendiri kenapa pilih itu?”
    “FE sih sebenernya biasa aja, yang paling pengen itu justru komunikasi, Nik. Gue kan emang seneng nulis banget ya Nik, jadi maunya komunikasi sama sastra,” tutur Tessa terus terang.
    Niki manggut-manggut mendengar penjelasan tersebut. “Oh iya, lagian Tessa aktif di majalah juga kan ya? Kata Dir—kata orang-orang juga cerpen lo bagus-bagus.”
    Spontan Tessa salah tingkah. Nyaris saja nama Dirga diucapkan. Ia tak tahu bagaimana harus bereaksi jika sosok di hadapannya benar-benar mengungkit Dirga dalam percakapan mereka. Meskipun penasaran mengenai apa saja yang Dirga ceritakan pada Niki, Tessa memilih berpura-pura tidak dengar kata-kata Niki sebelumnya. “Hobi sih awalnya, tapi lama-lama gue jadi ngerasa kalau minat gue sebenernya disitu. Niki pernah baca?”
    Lawan bicaranya menggeleng pelan. “Pengen sih, kemarin Kinan cerita katanya bagus-bagus. Nanti kapan-kapan gue baca deh,” janji Niki. “Eh, Tes, besok jadi ulangan plh ya?”
    Tessa berpikir sebentar. Figur seorang guru muda nan tampan terbesit di benaknya. Pak Indra, guru baru yang usianya hanya lima tahun lebih tua dari murid-murid kelas 12. Sekilas senyum geli bermain di bibirnya. “Iya Nik. Masa kemarin gue ketemu Pak Indra di kantin, terus dia pakai baju olahraga gitu warna biru terus ganteng banget deh hahaha.”
    Niki ikut tertawa, imaji seperti yang dideskripsikan Tessa terpampang jelas di otaknya. “Iya? Ya ampun kemarin aja pas upacara kan dia ganteng banget ya Tes, terus si Dinda teriak ‘Pak, punya obeng ngga?’ gitu coba, ada-ada aja ih.”
    “Hah, yang bener, Nik?” Tessa melongo. Dinda memang tak punya urat malu. “Terus dia denger ngga? Ternyata dia punya aja, buat menangkal pertanyaan kaya gitu.”
    “Kalau denger juga kayaknya pura-pura nggak denger deh Tes, gayanya tetep cool soalnya hahaha bisa juga ya, kali aja dia sering ditanya kaya gitu, makanya di bagasi motornya sengaja ada toolbox,” jawab Niki setengah tertawa.
    Kedua mata Tessa berbinar jahil. “Jangan-jangan semua cewek yang ketemu dia di jalan nanya gitu ya Nik?”
    Niki tertawa lagi. Guru mereka itu memang lebih terlihat seperti anak kuliahan daripada guru. Bahkan beberapa murid yang punya kakak berusia di atas 22 merasa sungkan untuk memanggil Pak Indra dengan sebutan ‘Pak’. “Katanya dia udah punya cewek tahu Tes, guru juga katanya.”
    “Wah? Emang iya?”
    “Hahahaha ya ampun Tessa, jangan kecewa dong. Selama janur kuning belum dipasang, masih ada kemungkinan buat direbut, kok,” goda Niki.
    Kali ini Tessa tertawa lepas. Ia sama sekali tak menyangka bisa ngobrol dengan akrab mengenai banyak hal dengan Niki. Selama ini, kata ‘canggung’ selalu membuatnya menghindar. Niki justru sangat warm padanya, tidak sinis seperti ekspresi yang umumnya ditampilkan seorang pacar pada mantan pacarnya. Meskipun Nikita bukan tipikal gadis idaman Dirga yang biasa, Tessa dapat melihat magnet misterius pada diri gadis itu. Magnet yang mampu membuat mantan pacarnya jatuh cinta head over heels.
    Mungkin mulai saat ini, ia bisa memperbaiki hubungan di antara mereka bertiga. Baik hubungannya dengan Niki maupun dengan Dirga. She will have to thank Leony later.

    ***

    Segelas Susu Cokelat

    • What a simple one! Nothing special and... well, it's just a try. Alternate links: writing session club 
    Segelas Susu Cokelat

    “Kenapa Mas jadi nyalahin aku?!”

    “Ya jelas-jelas kamu yang salah, istri itu harusnya ngurus rumah, ngurus anak, bukannya keluyuran!”

    “Alah, itu sih dulu, sekarang zaman udah maju, udah bukan zamannya perempuan diem di rumah.”

    Fania menutup telinganya, berusaha tak mendengar adu teriak antara ayah dan bunda. Merasa kedinginan di tengah-tengah malam yang hangat. Ini bukan yang pertama kalinya, sudah berpuluh-puluh kali ia mendengar pertengkaran tak berujung seperti ini. Mereka selalu bertengkar, tak pernah benar-benar memedulikan Fania, bahkan tak peduli untuk sekedar menurunkan volume suaranya. Lalu saat sarapan, mereka akan bersikap seolah tak ada yang terjadi, memasang senyum palsu dengan harapan dapat mengelabui Fania.

    Tapi ia bukan anak kecil, bukan lagi Fania delapan tahun lalu yang percaya begitu saja ketika bunda bilang bahwa pertengkaran itu berasal dari televisi yang bunda lupa matikan. Ini telah berlangsung sekian tahun, dan puncaknya adalah belakangan ini. Tak jarang bunda mengeluarkan ancaman ‘ceraikan aku’ untuk memenangkan argumen. Fania hampir menangis mendengarnya.

    Sepi, tak ada lagi adu mulut. Setidaknya itu yang terdengar olehnya. Fania melepaskan selimutnya dan bangkit berdiri menuju pintu. Setelah memastikan tak ada suara apapun, ia memutar kenopnya dan berjalan menuju dapur di lantai bawah. Rupanya Kak Nina telah lebih dulu mengambil posisi di meja makan.

    “Ngga bisa tidur ya De?” tanyanya seraya tersenyum kecut.

    Fania mengangguk, menarik kursi tepat di hadapan Nina. “Kakak denger juga ya?”

    “Sampai tetangga juga kayaknya denger. Kakak malu de kalau keluarga kita kaya gini terus. Akhir-akhir ini memang selalu seperti ini ya?” Sejak kuliah di Universitas Padjajaran tiga tahun yang lalu, Nina memang lebih sering tinggal di Bandung.

    “Akhir-akhir ini hampir setiap malem kak, paling engga dua hari sekali. Puncaknya minggu lalu waktu Kakak di Bandung, mereka sampai lempar-lempar barang, terus bunda teriak histeris dan minta cerai.”

    Nina shock mendengar penuturan adiknya. “Ya ampun sampai separah itu ya de?” Ia tak menyangka kalau agenda rutin keluarga ini akan sampai ke tahap cerai.

    “Kita udah bener-bener kehilangan kehangatan keluarga ya Kak?” Fania mengajukan pertanyaan retoris.

    Alih-alih menjawab, Nina menghela nafas dalam-dalam, membiarkan sejumlah besar oksigen memenuhi rongga paru-parunya kemudian menghembuskannya. “Aku nggak tahu apa kita memang pernah punya keluarga yang hangat. Mereka itu seperti ini sejak kita kecil kan?” Ia bertanya balik.

    Fania merenungi jawaban kakaknya. Memorinya mengenai kebohongan demi kebohongan bunda menyeruak ke permukaan. Televisi yang lupa dimatikan hanya salah satu dari banyak. Saking seringnya mendengar pertengkaran orang tuanya, Fania hampir saja lupa kapan semua ini dimulai. Ia tak tahu apakah kehangatan keluarga itu kian lama menghilang atau memang tak pernah ada. Ia juga tak tahu apakah ia merindukan kehangatan itu atau malah menginginkannya.

    “Aku juga nggak tahu kak. Bukankah seharusnya keluarga itu adalah tempat yang paling aman untuk kita?” Lagi-lagi, sebuah pertanyaan retoris meluncur dari mulut Fania.

    Nina mengerling tangga di sudut ruangan, kamar orang tuanya berada di lantai dua. “Kita nggak bsa berharap banyak sama mereka,” jawabnya. Menghela nafas dalam-dalam kemudian melanjutkan, “Idealnya, keluarga memang orang-orang yang selalu membuat kita merasa aman dan nyaman. Tapi kamu harus ngerti, keluarga kita kondisinya beda. Mengharapkan perubahan nggak akan mengubah apapun. Aku juga selalu berdoa setiap salat, kamu juga ya, jangan lupa doain ayah dan bunda.”

    Nina menunggu jawaban sementara Fania tidak berniat buka mulut. Nina bangkit menuju dapur, mengambil sebuah mug besar dan sekotak susu bubuk coklat, memasukkan tiga sendok makan ke dalam mug kemudian menuangkan air termos sampai nyaris penuh. Fania memperhatikan ketika kakaknya mengambil sendok kecil untuk mengaduk susu, menambahkan sedikit air dari dispenser, kemudian kembali menempati tempat duduknya.

    Fania memandang kedua mata kakaknya dalam-dalam, mencoba menelaah isi hatinya. Nina selalu terlihat lebih santai, lebih dewasa, ia selalu ingin tahu apakah jauh di lubuk hati kakaknya terdapat perasaan sedih yang sama seperti yang ia miliki.

    “Kita benar-benar dituntut buat dewasa, de. Kita nggak bisa lagi tutup telinga dan beranggapan kalau semuanya akan baik-baik saja. Hidup ini bukan dongeng,” terangnya seraya mengangsurkan mug berisi susu cokelat dengan uap yang masih mengepul kepada adik bungsunya.

    “Kehangatan yang bisa kamu dapatkan saat ini.”

    Fania tersenyum tipis, menggumamkan ucapan terimakasih, kemudian mulai menyeruput minumannya. Hangat dan manis, seperti kehidupan yang selalu ia harapkan.

    ***