Wednesday, December 21, 2011

Ashmina

  • Dear readers, sorry for the lack of updates. Getting busy with current life and got no passion to start writing. My thoughts are so full of things, including ideas, but I just can't write them down into good stories. Hhhhh. You don't know how random my feelings really are -___-
  • This is an old story, I wrote it about 3 months ago and... well, enjoy. Been thinking about some new stories though.
  • Hope you will enjoy it. Critics would always be lovely <3

Ashmina

KRIIIIING!
Suara bel yang menandakan berakhirnya pelajaran hari ini membangkitkan kembali semangat murid-murid yang sempat hilang saking bosannya mendengar ocehan panjang lebar Pak Agus mengenai peradaban kuno. Guru senior yang satu itu benar-benar tahu cara jitu meninabobokan murid-muridnya. “Jangan lupa remedial sejarah hari Jumat setelah salat Jumat. Saya nggak mau lihat nilai di bawah lima lagi, terutama kamu Ashmina!” serunya pada seisi kelas sesaat sebelum meninggalkan ruangan.
Ashmina, Ashmina, Ashmina! Yang dimaksud hanya menggeleng ogah-ogahan. Kesal karena Pak Agus dengan seenak jidat menyindindirnya di depan kelas dan kesal karena Pak Agus melisankan nama lengkapnya. Ashmina. Selama lima belas tahun hidupnya, Mina tak pernah sekali pun menyukai namanya. Pernah sekali waktu ia mengetik namanya di sebuah search engine dan yang muncul adalah nama-nama perempuan dari Nepal. Ia sama sekali tak bangga akan hal itu.
Mina merasa namanya terkesan sangat kampungan, apalagi jika dibandingkan dengan nama teman-temannya. Mina sering kali bertanya mengapa bunda memberinya nama yang terdengar begitu aneh sedangkan nama kedua kakaknya normal, malah cenderung bagus—Dania dan Anggara. Namun, bunda tidak pernah benar-benar menggubrisnya.
“Eh Sarimin, gue pinjem catetan biologi lu ya, lengkap abis nih,” seru Leo, teman sekelasnya.
Nah, yang begini ini yang ia tidak suka. Mina hanya  memutar bola matanya. Gerah. Sarimin hanya satu dari banyak panggilan yang diberikan teman-temannya. Mulai dari Sarimin yang terkenal sebagai monyet, Amin yang namanya sama dengan tukang fotocopy sekolah, Mimin, sampai Minah yang kesannya pembantu banget.
Karena tidak direspon lawan bicaranya, Leo berkoar lagi. “Woy Sarimin! Boleh ngga nih gue pinjem buku lo?”
“Nama gue Mina!” sergah Mina, emosi. Leo hanya memasang wajah pura-pura takut, menyelipkan buku catatan Mina ke dalam tasnya kemudian bergabung dengan kumpulan cowok-cowok yang sedang asyik bermain kartu. Mina benar-benar senewen dibuatnya. Seenaknya saja ganti-ganti nama orang, Leo nggak tahu apa kalau Mina setengah mati pengen ganti nama?
“Jangan sewot gitu napa Min?” Kassandra mengambil tempat duduk di sisi Mina. Sekilas senyum jahil bermain di bibir Sandra tatkala melihat sahabat karibnya sibuk misuh-misuh sendiri.
“Leo yang nyebelin, San!” kilah Mina.
Sandra mengibaskan tangannya, “Really? Menurut gue, lo yang terlalu sensitif,” balas Sandra. “Come on Min, mau sampai kapan sih lo mempermasalahkan nama lo? It’s no big deal at all!” tandasnya.
Mendengar komentar Sandra, kontan emosi Mina terpancing. Intonasinya naik tatkala ia bicara pada Sandra. “Oh, jelas aja. No big deal karena nama lo bagus kan, Kassandra?” Tentu saja Sandra nggak ngerti, namanya bagus. Sangat jauh dari kesan kampungan. Belum sempat Sandra menanggapi ucapan Mina, suara lain datang menginterupsi perdebatan mereka—Lilian.
“Minah, ntar tugas kimia kita gue kirim ke e-mail lo aja ya, paling ntar malem,” ujarnya sambil lalu.
Mina sudah akan bangkit dan membentak Lilian kalau saja tangan Sandra tidak menahannya. Detik berikutnya Lilian sudah keburu pergi tanpa menunggu jawaban Mina. Dengan suara sarat kemarahan, Mina menatap Sandra lekat-lekat. “Lo liat kan?”
Sandra menggeleng cepat, melempar pandangan skeptis seolah tingkah Mina benar-benar konyol. “Mau nama lo Inem, atau Juliet, atau Indah, lo bakal tetep lo kan Min? Ini tuh omong kosong!” tukasnya.
Mina bergeming selama beberapa detik kemudian dengan kasar melepaskan cengkraman Sandra pada pergelangan tangan kirinya. “Sampai kapan juga lo ga akan ngerti, San!” Mina menyandang tasnya dan melangkah keluar kelas. Meninggalkan Sandra yang tampak tak habis pikir dengan kelakuannya. What’s in a name, Min? Shakespeare aja bilang gitu, batin Sandra.
***

Sesampainya di rumah Mina menghempaskan tubuhnya di sofa terdekat di ruang tamunya. Lelah lahir batin. Lelah karena sekolah yang menyebabkan kelelahan lahir dan lelah karena pertengkaran-pertengkaran yang berkaitan dengan batinnya. Semuanya dilatarbelakangi oleh namanya yang konyol dan memalukan. Ashmina, diucapkan berkali-kali pun tak akan berpengaruh apapun kecuali membuat Mina semakin tak menyukainya. Hanya Ashmina saja, tak ada nama belakang apalagi nama tengah.
Kekesalannya pada Sandra jauh lebih besar dari yang ditunjukkannya pada perdebatan mereka tadi. Meskipun bersahabat, bisa dibilang Mina dan Sandra berbeda kasta. Sandra yang cantik, populer, dan kaya raya sementara Mina hanya anak dari pengusaha catering rumahan yang namanya biasa disamakan dengan nama pembantu. Mina sendiri tak yakin apakah ia iri pada nama Sandra yang terdengar lumayan classy atau iri pada sosok Sandra sendiri.
Ia mengerling ruang keluarga. Retinanya menangkap sosok bunda dan Dania, kakak perempuannya, sedang asyik membahas resep-resep baru yang akan diterapkan pada usaha catering bunda. Melihat suasana hati bunda yang sedang baik, Mina berinisiatif mengangkat topik yang sebisa mungkin selalu dihindari bunda: namanya. Setelah Dania menghilang dari pandangannya, Mina bergegas mendekati bunda yang masih sibuk membaca.
“Buuuun,” rajuknya.
Bunda tersenyum mendengar intonasi manja yang digunakan putrinya. Tanpa mengangkat kepala dari pekerjaannya, bunda bertanya lembut, “Ada apa sayang?”
Selama sesaat Mina berpikir untuk mengurungkan niatnya. Mina yakin, begitu ia mulai membuka pembicaraan, mood bunda yang sedang baik ini akan segera rusak. Ia menggeleng sekali, mengenyahkan pikiran tersebut. “Kenapa sih Mina dikasih nama Ashmina?”
Bunda tak lantas menjawab. Awalnya Mina pikir bunda tak benar-benar mendengarkannya tapi kemudian bunda menyingkirkan buku-buku resep dari hadapannya dan menghela napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Kenapa Mina nanya ini lagi? Bukankah bunda sudah bilang berkali-kali kalau Ashmina itu nama yang bagus?” Bunda balas bertanya.
“Tapi Bun, bagus itu menurut Bunda. Menurut orang lain nggak gitu, menurut Mina ngga gitu!” jawab Mina, masih berusaha menjaga kesopanan dalam nada bicaranya.
Sebelah alis bunda melesat naik selama sepersekian detik sebelum kemudian menanggapi dengan santai, “Masa? Siapa yang bilang?”. Intonasinya membuat Mina semakin sewot.
“Banyak Bun! Leo bilang kaya Sarimin, monyet yang suka pergi ke pasar. Lili panggil aku Minah, memangnya aku pembantu?” Mina menjawab tak sabar. Dengan sorot mata menantang, ia menatap bunda lekat-lekat. Bersiap melontarkan sanggahan atas pembelaan-pembelaan Bunda.
“Mereka sirik sayang, Mina itu nama yang sangat bagus.”
Lagi-lagi, jawaban klise yang keluar dari mulut bunda. Benar-benar membuatnya semakin kesal apalagi diucapkan oleh bunda dalam cara yang santai. Bagaimana mungkin bunda bisa begitu tenang sementara dirinya sudah terbawa emosi? Kesal karena pembawaan bunda yang begitu in control dan terkesan tidak serius, Mina bicara lagi. “Bunda bilang gitu karena Mina anak Bunda kan? Bunda juga tahu kan kalau Mina itu nama yang jelek dan malu-maluin?!” tukasnya.
Mendengar tuduhan asal putrinya, Bunda terkejut. Belia menggeleng lembut sebelum menjawab. “Nggak gitu Mina, bunda bilang begitu karena memang—“
Udah deh, Bun,” sergah Mina. “Dalam bahasa Jawa Mina itu artinya ikan Bun, ikan! Nama itu doa kan Bun? Orang tua mana yang ngasih nama anaknya ikan? Ngga ada, mereka semua ngasih nama yang bagus untuk anak-anaknya. Bahkan nama Kak Dania dan Kak Angga bagus, kenapa cuma Mina yang namanya kampungan?!” cerocos Mina panjang lebar.
Bunda tidak berkata apa-apa, terlalu terkejut akibat dibombardir pertanyaan oleh putrinya. Tatapan matanya berubah sendu dan butir-butir air mata mulai menggenangi pelupuknya. Bunda tak mengerti jalan pikiran putri bungsunya. Tak ada yang salah dengan nama kamu, Nak, batin bunda. “Lantas kamu mau Bunda melakukan apa sayang?” tanyanya lirih.
“Ganti nama kek, apa kek, akte kelahiran bisa dibuat lagi kan?! Mina capek Bun jadi bahan ejekan temen-temen!” tandasnya. Bersamaan dengan kata-kata tersebut, Mina bergegas naik ke kamar. Meninggalkan bunda yang hanya bisa mengelus dada akibat perkataannya.
***

 Jam dinding di kamarnya menunjukkan pukul delapan tiga puluh. Siswa-siswi kelas sepuluh dan sebelas hari ini masuk jam sepuluh karena murid-murid kelas tiga sedang melaksanakan try out tingkat kota. Mina telah siap dengan seragamnya meskipun waktu sekolah masih sembilan puluh menit lagi. Setelah mematut diri di cermin, Mina bergegas turun untuk sarapan.
Kening Mina berkerut heran tatkala menemukan udara kosong di bawah tutup saji meja makan. Bunda nggak masak adalah fenomena langka yang hanya terjadi beberapa kali dalam sebulan. Penasaran, tungkai kembarnya dilangkahkan ke dapur. Alih-alih nasi goreng atau sandwich, yang ditemuinya hanya semangkuk bubur. Bukan bubur ayam biasa melainkan bubur yang dikenal Mina sebagai bubur merah putih. Ia mencoba menelaah maksud bunda menyediakan jenis masakan yang jelas-jelas tidak umum itu.
Terkesiap, Mina mengambil tiga langkah mundur. Bubur merah putih biasanya dibuat jika ada yang hendak mengganti nama. Ia mengerti maksudnya. Ia bergegas meninggalkan dapur untuk mencari bunda.
Dania menahannya. “Mau kemana kamu?” tanyanya.
Mina berdecak sebal. “Cari Bunda.”
“Sini, ikut aku dulu,” ujar Dania seraya menggiring Mina ke kamarnya. Dania membuka laci tempatnya menyimpan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan urusan kantor. Diraihnya sebuah amplop panjang yang tampak lusuh, kemudian ia serahkan kepada adiknya. “Baca ini dulu sebelum marah-marah sama Bunda,” titahnya.
Mina patuh dan menerima surat tersebut. Dania sama keras kepalanya dengan dirinya sendiri, melawan kakaknya hanya akan menambah rasa pusing di kepala. Ia membuka surat tersebut dengan sangat perlahan. Kertasnya yang terlihat rapuh membuat Mina yakin bahwa sedikit tarikan saja dapat membuat kertas itu sobek. Ia membaca tulisan tangan yang tertera pada surat tersebut. Ketika matanya telah sampai di akhir paragraf, setetes air mata jatuh dan membasahi kertas dalam genggamannya.
Surat itu berisi cerita mendiang ayahnya ketika menempuh ibadah haji lima belas tahun yang lalu, dialamatkan kepada bunda. Kala itu ayahnya sedang bermalam di terowongan Mina. “Mina adalah tempat yang sangat indah, tak peduli berapa juta orang yang sedang berada disini, aku tetap menganggapnya indah. Maukah kau menamakan putri kita dengan nama Mina? Aku akan sangat bahagia,” tulisnya.
“Surat itu ditulis dua hari sebelum ayah meninggal, dikirim melalui paket pesan super kilat dan sampai disini seminggu setelah ayah meninggal. Singkatnya, itu permintaan terakhir Ayah,” jelas Dania.
Hati Mina mencelos, ia benar-benar tertegun. bunda begitu mencintai ayah, ayah sangat menyukai nama Mina, dan Mina sendiri membencinya. Marah-marah ingin ganti nama dan membuat bunda sakit hati. Dadanya terasa sesak, bukan karena kamar Dania minim oksigen melainkan oleh penyesalan. Mina merasa sangat tidak bersyukur. Namanya bukan tidak berarti, tapi sangat berarti, terutama bagi bunda dan almarhum ayah.
Mina menghapus jejak tangisan pada wajahnya dan bergegas meninggalkan kamar Dania. Tujuannya? Kamar bunda. Ia akan memeluk bunda, minta maaf, dan meminta bunda menggagalkan rencana pergantian nama yang sedang dipersiapkan. Ia menyukai nama Ashmina apa adanya.
***

Monday, December 5, 2011

Kaleidoskop & Cakrawala Biru

  • Well, I should be studying physics & history right now but I just can't wait until the end of the exam week to blog. My books just came about two hours ago!
  • So, let me introduce you to my new babies; Menari & Lagu Pilihan.


  • Buku kumpulan cerpen gitu, isinya cerpen2 yg hasil seleksi #11projects11days di Nulisbuku.com. Di dua buku ini ada dua tulisan gue, di lagu pilihan judulnya Kaleidoskop sementara di Menari judulnya Cakrawala Biru.
  • They aren't my best stories, though. Somehow, I don't even like them. It's just... well, read it yourself and drop me some feedbacks :)
  • Oh ya, buat yg mau order bukunya bisa email ke admin@nulisbuku.com; check 'em out here Lagu Pilihan & Menari
 
Kaleidoskop
Oleh: Khairunnisa Putri Kanhida
Soundtrack: Arti Sahabat – Nidji

.
.

Prom Night.
Acara yang selalu diimpi-impikan oleh mayoritas siswa perempuan. Ajang dimana semua orang bisa tampil total di depan khayalayak, berdansa semalaman, tertawa-tawa bersama, serta bernostalgia mengenai masa SMA mereka.
Arlita dan semua orang di ballroom dengan dekorasi ekstravagan itu bertepuk tangan tatkala sebuah video dokumenter yang merangkum tiga tahun kebersamaan mereka selesai diputar. Senyum penuh makna menghiasi paras cantiknya. Disusul dengan air mata yang mulai berkumpul di pelupuk matanya.
“Hei, jangan jadi mellow gitu dong,” goda Leo seraya menyikut pelan rusuk Arlita.
Refleks, wajahnya merona, merah, sangat serasi dengan mini dress yang kini tengah melekat sempurna pada tubuhnya. “Gimana nggak mellow, itu sedih banget tau, kamu aja tuh yang ga sensitif.”
Leo tergelak halus. “Iya sih, tapi kan prom night itu waktunya have fun, masa kamu malah nangis gitu? Nanti dikira orang aku yang nangisin kamu,” ujarnya sambil mengacak halus rambut pacarnya.
Lita sontak mundur. “Hei! Jangan acak-acak rambut aku! Aku dua jam penuh di salon cuma untuk ini,” sergahnya cepat.
Have fun, Lit, have fun.” Leo mengingatkan. “Mending kita dansa aja yuk,” imbuhnya tatkala tembang lembut milik Christian Bautista, Since I Found You, mulai mengalun.
Tanpa menunggu jawaban, cowok itu menarik Lita dalam pelukannya dan mulai bergerak mengikuti irama. Arlita tersenyum geli, meletakkan kedua tangan di bahu pasangannya. Ia memutuskan untuk mengikuti anjuran Leo, have fun.
“Seandainya kita punya waktu lebih banyak ya Lit,” ujar Leo di tengah dansa mereka.
Lita tertegun. “Maksud kamu?”
“Yaaa, seandainya kita jadian lebih cepat, supaya nggak cepat berakhir kaya gini.”
“Leo! Kamu ngomong kaya kita mau putus besok!” Lita sontak menghentikan gerakannya. Bingung dengan ucapan Leo yang mendadak ngawur.
Masih dalam gestur tenang yang sama, Leo menarik Lita untuk kembali berdansa. “Kita nggak akan putus besok, nggak juga nanti,” jawabnya mantap.
“Terus?”
“Nanti kan kita udah nggak di SMA lagi, Lit. Do you think everything will be exactly the same?” Leo bertanya balik.
Lita terhenyak pelan. Ia tahu semuanya tak akan pernah sama lagi. Dan mengingat pepatah bahwa masa SMA adalah masa-masa paling indah, ia sangsi bahwa hubungannya bersama Leo di masa depan bisa lebih indah dari saat ini. “Aku nggak akan berubah,” jawabnya pelan.
Leo tertawa tanpa menghentikan gerakannya. Seulas senyum tipis bermain di wajahnya tatkala mendengar janji naif yang terlontar dari bibir kekasihnya. “Tapi aku iya, sayang.”
Lita tak menjawab. Pandangannya jatuh pada corsage merah kecoklatan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Kemudian sosok seorang gadis dalam balutan dress biru langit menarik atensinya.
Nantya Rahmania, sahabatnya. Atau mungkin, mantan sahabat? Arlita mendadak pusing ketika sejumlah besar ingatan manis membombardir pikirannya. Ingatan akan persahabatannya dengan si kapten cheers tersebut.
Persahabatan itu dulu begitu menyenangkan. Persahabatan dimana mereka saling berbagi cerita, saling menghibur, menangis bersama, juga menertawakan orang lain yang bukan inner circle mereka.
Ikatan itu putus hanya karena masalah sepele. Cowok. Andai saja kala itu mereka tak mementingkan ego masing-masing.
Kata-kata Leo sebelumnya menyentil nurani Lita. Semuanya tak akan sama lagi. Mereka akan berubah dan menjadi dewasa. Dan Lita tak ingin jadi dewasa dalam keadaan seperti ini.
Ini adalah kesempatan terakhirnya untuk memperbaiki keadaan.
Tiba-tiba ia melepaskan diri dari pelukan Leo, membuat cowok itu terkejut selama beberapa detik. “Leo, kamu nggak keberatan kan sendiri dulu, sebentar aja, aku ada urusan.”
“Ap—“
“Lima belas menit,” potong Lita tanpa memberi kesempatan bagi Leo untuk menjawab kemudian bergegas menghampiri Nantya.
“Nan,” sapanya pelan, ragu.
Kening Nantya berkerut penuh tanya. Mereka sudah tak saling bicara selama lebih dari enam bulan.
Lita menghela nafas panjang sebelum mulai berkata. Seketika kilasan singkat akan persahabatan mereka memenuhi memorinya. “Maafin salah gue selama ini ya, Nan. Kita masih bisa sahabatan lagi, kan? Bisa kaya dulu lagi kan?”
Nantya melongo. Kaget tiba-tiba ditembak langsung seperti ini. Apalagi Lita nyerocos terus. “Gue nggak ngerti, kenapa tiba-tiba?”
“Nggak tiba-tiba, gue udah lama mau ngomong ini sama lo. Tapi gue ga pernah berani,” akunya jujur. “Leo bilang, semuanya nggak akan sama lama selepas SMA. Termasuk gue sama lo.”
“Lantas?”
“Gue nggak mau kita kaya gini terus Nan, lo tetap sahabat gue. Walaupun nantinya kita bakal berubah, bakal tambah dewasa, gue mau kita dewasa bareng-bareng. Apa lo betah musuhan terus kaya gini?”
Nantya terhenyak pelan. Pandangannya menerawang menatap kerlip lampu di langit-langit. “Is it what you really want? A friendship with me?”
“Ya, a pure and unconditional one.” Lita mengangguk mantap. Hanya sebuah persahabatan yang tulus, tanpa batas, dan tanpa syarat.
 “Nantya, gue cuma mau kita sahabatan lagi. Sahabat itu... sangat penting buat gue,” imbuhnya seraya tersipu malu. Jarang-jarang ia ngomong sentimentil seperti ini.
“Buat gue juga, kok,” imbuh Nantya perlahan.
So... bestfriend again
Nantya tersenyum tulus, menarik sahabatnya ke dalam pelukan yang hangat. “Nanti lo harus cerita semuanya ya, semua yang lo alamin selama enam bulan terakhir.”
“OK,” sahut Lita ceria. “Tapi sebelumnya, ada yang harus kita lakuin dulu.”
Sebelum Nantya sempat merespon, Lita keburu menariknya ke depan. Tempat para penyanyi dan pengisi acara berkumpul. “Mas Indra, habis ini tolong puter lagunya Nidji yang Arti Sahabat ya.”

***


 
Cakrawala Biru

“Nay! Lihat sini deh, banyak penyu!”
Naira menoleh. Seulas senyum samar tersungging di bibir pinkish-nya. Ia tak bergerak sedikit pun dari posisinya saat ini. Tak ada juga niatan untuk balik berteriak. Suasana hatinya terlalu buruk. Bahkan penyu tak terdengar menarik sama sekali.
“Nggak mau kesini, Nay? Bagus banget, kamu pasti suka!” Abi berseru lagi.
Lagi-lagi, hanya seulas senyum tipis yang mampu ia lontarkan. Kali ini disertai sebuah gelengan. Selama tiga detik pemuda itu tampak bingung. Wajah polosnya penuh tanda tanya di bawah sinar mentari pagi. Kemudian ia tersenyum jenaka dan kembali sibuk bermain dengan penyu.
Naira menghela nafas panjang, membiarkan oksigen memenuhi rongga paru-parunya. Sepasang iris hitam itu memandang kaki langit yang terbentang luas di hadapannya. Cakrawala, tempat bertemunya langit dan bumi. Ia ingin berteriak sekedar untuk melepas penat yang hinggap di benaknya. Ia sudah akan berteriak sekeras-kerasnya kalau saja tak ada Abi di sisi lain pantai. Kalau perlu sampai pita suaranya putus.
Dia bisa nari? Nggak salah? tanya Arina, sahabat karibnya, saat pertama kali Naira memperkenalkan Abimanyu sebagai pacarnya. Naira tak akan lupa pada tatapan skeptis yang ia terima kala itu. Juga nada bicara Arina yang naik seoktaf lebih tinggi ketika melisankannya, seolah Naira baru saja mengambil keputusan terburuk seumur hidupnya.
Ia tak pernah berhenti bertanya-tanya. Apa salahnya menjadi seorang penari? Naira adalah seorang penari. Ia piawai membawakan tari pendet, tari jaipong, tari gambyong, bahkan juga jenis-jenis tari internasional macam waltz dan salsa. Abi juga seorang penari.
Sebuah similaritas yang menjadikan semuanya terasa salah di mata orang lain.
Tanpa terasa, Abi telah berdiri di belakangnya. Dengan amat lembut meletakkan sebelah tangannya di pundak kiri Naira. “Kamu nggak apa-apa?” tanyanya penuh perhatian.
Naira tersenyum lagi. Sampai-sampai ia sendiri merasa otot bibirnya kram saking seringnya tersenyum tanpa bicara. “Aku nggak apa-apa, Bi.” Suaranya agak parau saat menjawab.
Sorot mata Abi memancarkan kecemasan. “Bener nggak apa-apa? Kamu diem aja, biasanya cerewet. Kalau kamu sakit, kita pulang aja.”
“Jangan!” sergah Naira cepat. Abi sudah mengikhlaskan hari Minggu yang seharusnya digunakan untuk nyicil tugas kuliah sekedar untuk mengembalikan mood Naira yang belakangan ini tampak kurang baik. Naira merasa tidak enak karena sejak tadi malah nyuekin Abi. “Aku nggak sakit kok, beneran, suer.”
Kening Abi berkerut tak yakin. “Bener ya nggak kenapa-kenapa? Yaudah kita turun yuk,” ajaknya seraya merangkul Naira dan membawanya berjalan menuju garis pantai.
“Penyunya lucu banget!” pekik Naira girang tatkala melihat seekor penyu terdampar di tepi pantai. Dengan sigap ia mulai menggulung celana jeans-nya.
“Makanya daritadi aku panggil kamu, eh kamunya ngelamun aja,” sindir Abi halus. “Kamu mikirin apa sih, Nay? Cowok lain?”
Naira tergelak halus. Abi kalau lagi cemburu memang paling bikin gemes. “Aku mikirin kamu kok, Bi,” jawabnya kalem. Jujur.
“Ah masa? Aku nggak percaya,” balas Abi tanpa menatap Naira. Pandangannya kini terfokus pada penyu-penyu lain yang mulai mendekat.
Naira tertegun sesaat. Mengapa Arina dan Ghea begitu kontra terhadap hubungannya dengan Abi? Tak ada yang salah dengan pemuda ini.
“Itu nggak cowok banget, Nay. Mending kalau dance-nya breakdance atau shuffle dance. Tapi waltz? Yang bener aja!” seru Ghea dengan gaya super dramatis kala itu. Yang benar saja, menurut Naira, Ghea terlalu banyak nonton sinetron.
“Kamu nari deh,” ujar Abi pelan namun seketika membuyarkan lamunan Naira.
“Na...ri?”
Abi mengangguk mantap. Jemarinya sibuk mengembalikan penyu ke habitat asalnya. “Iya. Kalau kamu ada masalah, pelampiasannya sama nari aja. Itu kan hobi kamu, positif lagi.” Atensinya kini terfokus pada Naira sepenuhnya.
“Disini?” tanya Naira tak percaya.
“Iyalah, mau aku temenin?” tanya Abi lagi. Ia menarik nafas panjang dan meraih kedua tangan Naira dalam genggamannya sebelum gadis itu sempat menjawab. “May I have this dance?” tawarnya.
Kedua mata Naira membelalak besar. Penari sih penari, tapi masa iya tiba-tiba Abi ngajak nari disini, di Pantai Parai?
“Nggak ada musik, Bi.” Naira mencoba berdalih.
“Terus kenapa?” tantang Abi.
Naira menelan ludah. “Tapi Bi—“
“Ssssst,” potong Abi cepat. “Emang kenapa kalau nggak ada musik? The music is all around us. All you have to do, is listen,” lanjutnya penuh percaya diri.
Sekilas senyum bermain di bibir Naira. Ia mengenali ucapan tersebut. Salah satu kutipan dari film musikal berjudul August Rush.
“Tunggu apa lagi?” tanya Abi seraya mempererat genggamannya.
Naira menghembuskan nafas, pasrah. “Satu dansa aja,” cetusnya memberikan syarat.
Abi mengernyit tidak terima. “Kita punya waktu banyak dan disini cuma ada segelintir orang, why no dance till we drop?”
Tanpa bicara lagi, Naira mulai berdansa. Menarik Abi juga dirinya larut dalam sebuah waltz yang indah. Untuk saat itu, ia tak peduli pendapat Arina dan Ghea atau pun orang-orang lainnya. Mungkin juga untuk selamanya.
Ia tak akan berhenti hanya pada satu tarian saja.

***