Monday, August 29, 2011

Loser Like Me

28 Agustus 2011
Glee © Ryan Murphy
Central Character: Rachel Berry
Additional: New Directions, Will Schuester, Shelby Corcoran, Mr. Berry
Title © Glee's original song; Loser Like Me
Story © Khairunnisa Putri Kanhida


 
Mungkin saat ini adalah saat dimana waktu berjalan seperti siput bagi Rachel Berry. Bukan, bukan seperti siput. Bahkan siput pun berkali-kali lipat lebih cepat dari ini.

Sementara degup jantungnya kini bertempo presto, pandangannya terus menerus jatuh pada jam dinding besar yang sewarna dengan dinding tempatnya melekat. Keringat mengucur melalui pelipisnya. Bahkan ia tidak peduli pada kemungkinan bahwa cairan itu dapat merusak lapisan make up yang telah melekat sempurna pada wajahnya. Satu-satunya fokusnya hanyalah jarum jam yang sepertinya tengah bergerak dalam kecepatan satu meter per jam.

Mungkin ini adalah sepuluh menit terlama sepanjang enam belas tahun hidupnya di dunia.

“Tes, tes.” Sebuah suara memecah rasa gugup yang kini menguasai dirinya. Seseorang dengan tuksedo hitam dan dasi kupu-kupu tengah menepuk halus ujung microphone, memastikan alat elektronik tersebut masih berfungsi dengan baik. Seorang juri, mungkin? Kemudian seseorang mengangsurkan amplop putih bersegel perak padanya.

Kini jantungnya tak lagi berpacu pada tempo presto, melainkan prestissimo. Kedua matanya terpejam rapat. Telinganya seolah enggan mendengar apapun yang bertentangan dengan kehendak otaknya. Bahkan mulutnya yang biasa mengalirkan beribu-ribu kata kini terkunci rapat.

Rachel Berry sedang terkena serangan panik.

“Pertama-tama, kami selaku pihak penyelenggara mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya pada seluruh peserta yang telah berpartisipasi dalam kompetisi bernyanyi Broadway tingkat regional.”

Ya tuhan tolonglah....

“Kami sangat bangga menyaksikan bakat-bakat yang dimiliki para peserta disini. Hampir seluruh peserta telah menampilkan kemampuan terbaik mereka. Namun, hanya ada satu pemenang.”

...Nah.

“Dan pemenangnya adalah...”

Tidak bisakah mereka mengulang prelude sehingga tak perlu ada pengumuman pemenang?

“...Sunshine Corazon dari Carmel High....”

“Tidak,” sanggah Rachel lirih. Tak seorang pun selain dirinya dapat mendengar penolakan tersebut.

Tidak mungkin ia kalah dalam kompetisi ini. Ia tumbuh mendengarkan dan menyanyikan lagu-lagu bertema Broadway. Karir bernyanyinya selalu terinspirasi oleh Barbara Streissand, bintang Broadway ternama di dunia. Masa depannya adalah tinggal di New York, menjadi aktris broadway ternama, dan bernyanyi di stage of Wicked. Broadway adalah hidupnya.

Adalah tidak mungkin ia dikalahkan oleh Sunshine Corazon.

“Rachel?” Timbre merdu Shelby Corcoran menyentakkannya kembali ke realita.

“Mom.”

“Kau baik-baik saja?” tanyanya khawatir.

“Y-ya.”

Shelby menatap putri sematawayangnya lekat-lekat. Meskipun nyaris tidak pernah menghabiskan waktu bersama sebagai ibu dan anak, wanita itu yakin bahwa putrinya tidak baik-baik saja. Putrinya yang ambisius tidak mungkin menganggap kekalahannya sebagai hal yang biasa.

“Aku tahu kau tidak baik-baik saja.”

Rachel menghela nafas dalam-dalam. “Aku merasa seperti pecundang.”

“Rachel, aku menyesal kau tidak menang. Penampilanmu bagus sekali, kau tahu? Para juri sangat terkesan dan nilaimu hanya selisih beberapa poin dari Corazon. Kau tidak perlu merasa

“Aku ingin pulang, Mom,” sanggahnya.

Shelby mengangguk singkat. “Kuantar kau pulang,” ujarnya tanpa memberikan opsi ya dan tidak bagi Rachel. Ia merangkul putrinya dan membawanya berjalan menuju tempat parkir.
***

Lima hari telah berlalu sejak kompetisi bernyanyi Broadway berakhir dan Rachel Berry masih belum masuk sekolah. Dari yang diceritakan ayah-ayahnya, Rachel menghabiskan waktunya meringkuk di dalam kamar, menolak makan, bahkan menolak bernyanyi.

Kurt menganggap ini sebagai situasi gawat darurat. Rachel yang dikenalnya akan membunuh demi mendapat kesempatan bernyanyi solo. Ia mengutarakan kekhawatirannya pada anggota Glee yang lain dalam suatu sesi latihan mereka.

“Tak ada yang lebih gawat dari seorang Rachel Berry yang menolak bernyanyi,” ujarnya dramatis.

Mercedes membelalak tak percaya. “Itu tak akan terjadi, Kurt.”

“Sayangnya, itu yang sedang terjadi, Mercedes.”

“Mungkin itu bukan Rachel?” usul Santana. Tidak membantu sama sekali.

“Ya, jangan mengada-ngada begitu,” tambah Quinn.

Kurt melipat kedua lengannya di dada dan menatap teman-temannya dengan pandangan skeptis. “Itu maksudku, Rachel yang kita kenal mungkin akan mogok makan, tapi ia tak akan mogok bernyanyi. Dengar, kita harus lakukan sesuatu untuk mengembalikan semangatnya.”

Santana mendengus keras. “Kau tahu, mekipun ia sering kali membuat telingaku sakit dengan berbagai ocehannya, jujur saja aku sedikit merindukannya. Aku setuju, bagaimana caranya?”

Kurt berpaling pada Finn. “Finn, kau pacarnya. Bagaimana kondisi Rachel sekarang?”

“Aku datang ke rumahnya dan ia menyuruhku pulang,” jawab Finn enteng.

“Dan kau pulang begitu saja? Demi tuhan Finn, tidakkah seharusnya kau berusaha lebih keras?”

“Hei, aku sudah berusaha! Kau kenal Rachel, ia sangat ambisius dan kekalahan itu membuatnya sangat kecewa. Dia sangat menginginkan trofi itu, kau tahu? Ia merasa seperti loser, mungkin ia butuh waktu untuk sendiri.”

“K

“Kenapa dia menginginkan trofi bodoh seperti itu? Kau bisa membelinya di toko,” sela Brittany.

Hening.

“Kau jenius Brittany.” Kurt berbinar bahagia. “Kalian setuju?” tanyanya pada semua orang. Tampaknya semua orang memikirkan hal yang sama.

“Terimakasih, aku memang suka cupcakes.”

Semua orang kecuali Brittany.
***

“Rachel, keluarlah dan lakukan sesuatu yang berguna,” seru Mr Berry seraya menyingkap selimut merah muda yang menyelubungi tubuh putrinya.

“Hmm I’m going to marry my bed, Dad.”

“No, you’re not. Sekarang cepat berpakaian yang rapi, teman-temanmu sedang menunggu di luar.”

“Teman-teman ap

“Sepuluh menit, Rach,” sergah ayahnya kemudian bergegas meninggalkan kamar bernuansa girly tersebut. Memberikan waktu bagi putrinya untuk berpakaian yang layak.

Rachel sungguh enggan bangkit dari sarangnya yang nyaman. Terlebih lagi untuk menemui teman entah siapa itu yang tengah menunggunya di luar. Ia meraih terusan selutut bercorak polkadot dari lemarinya kemudian mendudukkan dirinya di kursi meja rias. Lihat betapa kacau dirinya saat ini. Dioleskannya foundation pada wajahnya dan lip balm pada bibirnya. Tidak jauh lebih baik.

Menyerah, ia bangkit dan menyeret dirinya menuju kamar mandi. Sedikit percikan air dingin mungkin dapat membuatnya terlihat lebih segar. Mungkin ayahnya benar, ia perlu melakukan hal lain yang sedikit berguna. Mungkin saja saat ini pita suaranya sudah mengalami defisiensi fungsi.

Mengecek penampilannya sekali lagi, Rachel mengangguk singkat pada refleksi dirinya yang dipantulkan oleh cermin. Sepuluh menit yang diberikan ayahnya akan habis dalam dua detik. Tungkai kembarnya kini melangkah meninggalkan ruangan berdekorasi manis yang akhir-akhir ini tak pernah ditinggalkannya sama sekali.

Ruang tamu.

Retinanya menangkap sosok teman-temannya yang tengah menunggu.

Finn, Kurt, Mercedes, Quinn, Brittany, Santana, Sam, Puck, Mike Chang, Tina, Zizes, dan Mr. Schuester. New directions full team. Sebuah kurva ganda merekah di bibirnya. Betapa dirinya sangat merindukan mereka. Merindukan kehadiran mereka, suara mereka, bahkan pertengkaran-pertengkaran mereka. Dilihatnya mereka semua tersenyum padanya. Bahkan Santana. Bahkan Finn, setelah ia dengan jahatnya menolak kunjungan kekasihnya beberapa hari yang lalu.

“Guys....” ujarnya lirih.

Kurt yang pertama bangkit diikuti beberapa yang lain. Ia memeluk Rachel dan berbisik tepat di telinganya, “kami merindukanmu”. Ia nyaris menangis menyaksikan sikap sahabat-sahabatnya. Kemudian Mr. Schuester angkat bicara.

“Jangan menangis dulu, kami punya sesuatu yang mungkin menghibur.”

Rachel memosisikan dirinya di antara Finn dan Kurt sementara Kurt sibuk mempersiapkan kejutan yang dimaksud. Brittany menyorongkan sebuah kantong besar dan Kurt bersiap mengeluarkan isinya. “Kau siap?” tanyanya sambil melempar senyum misterius. Rachel mengangguk tak sabar.

.
.

“Oh!” Rachel terkesiap.

Sebuah mahkota dan trofi berwarna emas.

Dengan sangat perlahan, Kurt menyematkan mahkota itu di kepala Rachel dan memerintahkan Quinn untuk memotret mereka. Rachel tertawa keras selagi sahabatnya menyerahkan trofi dengan gaya dramatis. Trofi itu bertuliskan “Selamat, Rachel Berry. Penyanyi terbaik menurut kami.”

Terharu.

Tidak, lebih dari sekedar terharu. Senang.

Luar biasa senang.

Mr. Schuester angkat bicara. “Kau lihat Rachel, kau bisa membeli trofi dan mahkota di toko pesta. Tidak berarti banyak bukan?” tanyanya. “Dengar, aku tahu kompetisi itu sangat berarti bagimu tapi kalah dan menang itu biasa. Dan kalah, itu wajar. Kau tidak perlu merasa sedih berlarut-larut atau mengurung diri di kamar selama berhari-hari. Ingat lagu kita, ‘Losers Like Me’? Tidak ada salahnya menjadi itu sekali-sekali, Rach. Bernyanyilah lagi, kami semua merindukanmu.”

Rachel terisak pelan. “Bukankah kita saling benci satu sama lain?” tanyanya, setengah bercanda.

“Kau tahu, kupikir juga begitu. Entah kenapa aku merindukan ocehan serta sikapmu yang menyebalkan.” Santana berkata terus terang.

Brittany mengangguk setuju. “Benar. Kita selalu bertengkar, mencuri pacar satu sama lain, tapi itu yang terjadi pada keluarga bukan?”

Rachel tertawa lagi, kali ini diikuti seluruh anggota New Directions. Pandangannya terkunci pada trofi dalam genggamannya, pada Finn, kemudian pada teman-temannya. Adalah benar ia tidak menyukai Santana, ia sering bertengkar dengan Mercedes hanya untuk memperebutkan giliran bernyanyi, ia menganggap Quinn sebagai saingan dalam memperebutkan Finn, dan lain sebagainya. Namun seperti yang dikatakan Brittany, itulah yang terjadi pada keluarga.

Tangisnya pecah.

Tangis haru, tangis bahagia, dan entah tangis apalagi, seluruhnya tumpah dalam derasnya air mata yang mengalir di wajahnya. “S-siapa yang punya ide seperti ini?” tanyanya sambil menggerakan mahkota yang tersemat di rambutnya.

Teman-temannya menjawab serentak.

“Brittany.”


FIN

Cherry Blossoms

13 Juli 2011
Detective Conan © Aoyama Gosho
Central characters: Shinichi Kudo & Ran Mouri
Additional Characters: Yusaku Kudo, Eri Mouri, Ai Haibara, & Profesor Agasa
Story © Khairunnisa Putri Kanhida



Rumah Profesor Agasa, 16:30
“Anu Ran, Shinmaksudku Conan, sedang mencoba skateboard barunya bersama Genta dan Mitsuhiko. Paling tidak mereka baru akan kembali satu jam lagi,” jelas Profesor Agasa.

“Begitu ya. Ya sudah aku tunggu disini saja ya Profesor, boleh kan?” Ran bertanya sambil melirik arloji di tangan kanannya.

“Tentu boleh dong, tapi aku ada perlu sebentar ke minimarket di sebrang jalan, kamu disini sama Ai ya, nggak keberatan kan Ran? Sebentar saja kok, paling lama 30 menit.”

“Eh? Ya, tentu saja nggak keberatan, ya kan Ai?”

Ai tersenyum. “Ya, tentu saja ,” jawabnya.

Giliran Profesor Agasa tersenyum lega. “Kalau gitu kalian baik-baik ya, hati-hati di rumah,” pesannya.

.

.

“Nah, bagaimana kalau kita nonton tv saja?” tanya Ai sambil meraih remot, memindahkan televisi ke saluran 5 tanpa menunggu jawaban Ran. 

Saluran tersebut menayangkan liputan singkat mengenai Taman Inogashira di kota Musashino, taman wisata yang terkenal dengan keindahan bunga sakuranya di musim semi. Sebuah lengkung indah tersungging di bibir Ran tatkala gadis itu menyaksikan tayangan di televisi. Sorot matanya begitu damai dan penuh cinta.

Ai menangkap gelagat ini. “Kenapa?” tanyanya langsung.

Ran tersadar dari lamunannya. Ia tertawa kecil menanggapi pertanyaan Ai. “Ah? Tidak, tidak apa-apa. Hanya saja aku punya kenangan manis yang tak terlupakan yang berkaitan dengan bunga sakura,” jawabnya terus terang.

“Kenangan manis...bersama orang yang disayang ya?”

Juara karate tingkat kota itu tertawa lagi, kali ini pipinya bersemburat merah. “Ya, bersama si gila teka-teki yang dingin itu. Ai mau dengar ceritanya?” tawarnya.

“Eh, boleh?” tanya Ai tidak percaya. Ran mau berbagi cerita pribadi dengannya?

“Hmm..., sebetulnya ini cerita lama sekali. Terjadinya kira-kira 10 tahun yang lalu....”
 ***

Rumah kediaman Kogoro Mouri, musim semi 2001.

“Maaf lagi-lagi menyusahkanmu Eri,” ujar Yusaku Kudo pada si tuan rumah.

Eriistri Kogoromenggeleng lembut. “Santai saja Yusaku, kita kan sudah seperti keluarga. Ngomong-ngomong Yukiko kemana? Biasanya dia yang menjemput Shin,” tanyanya.

“Casting untuk film layar lebar berjudul ‘Sandiwara Boneka’, dia ingin sekali mendapatkan peran itu.”

Eri setengah terkejut. “Wow, Yukiko kembali ke dunia perfilm-an? Padahal katanya sudah bosan.”

“Well, sebetulnya karena dia melihat akting aktris-aktris baru yang menurutnya terlalu biasa, tidak cocok memerankan Haruna dalam film ternama itu, makanya Yukiko mencalonkan dirinya sendiri,” jelas Yusaku.

Lawan bicaranya manggut-manggut mendengar penjelasan itu. “Baiklah, katakan padanya semoga beruntung. Kubuatkan teh dulu ya, tunggu sebentar.” Eri berjalan ke arah dapur.

.

Yusaku Kudo mengedarkan pandangannya, meneliti setiap sudut rumah keluarga Mouri. Pandangannya jatuh pada dua anak berusia tujuh tahun yang sedang asyik bermain monopoli di ruang keluarga. Salah satunya adalah putra tunggalnya, Shinichi Kudo.

“Menyerah saja Ran, kamu bangkrut tuh,” ujar Shinichi dengan gaya tengil.

Ran Mouri menggeleng kuat-kuat. “Nggak, enak aja.”

Shin menguap lebar-lebar, pura-pura bosan. “Sudahlah, kasian tuh pinjam uang mulu sama bank. Lagian bosen tau menang mulu,” ledeknya.

Gadis di hadapannya meletakkan dadu yang hendak dilemparnya. “Yah, kau benar. Aku juga bosan kalah terus. Eh Shin, pasti seru ya kalau punya uang banyak seperti yang di monopoli!” serunya.

Shinichi melengos pelan. “Apa serunya? Nanti beli apa-apa jadi gampang, nggak ada tantangannya tau,” timpalnya cuek.

“Huh, itu sih menurut kamu yang gila tantangan. Tapi pasti seru lho, apalagi kalau uang itu dapatnya dari harta ka....”

“Eh, kenapa Ran?”

Ran tersenyum lebar sekali. “Harta karun! Itu dia Shinichi, ayo kita cari harta karun!”

Cowok tengil di depannya tertawa terbahak-bahak. “Yang benar saja, kau pikir kita hidup di zaman edo, sekarang kan hampir semua wilayah tanahnya sudah di beton, mana ada tempat buat gali menggali harta karun.”

“Aaaah, Shinichi payah ah nggak seru!”

Yusaku yang sedari tadi menonton tiba-tiba tersenyum jahil melihat tingkah laku Shinichi dan putri Mouri di hadapannya.

“Hei, kenapa kamu senyum-senyum sendiri, Yusaku?” tanya Eri.

“Eh? Oh, tidak, tidak apa-apa,” jawabnya sambil menyeruput teh yang dihidangkan Eri. Senyum jahil masih menghiasi wajah tampannya.

Keesokan harinya,
Sepulang sekolah di SD Teitan

Shinichi Kudo sedang membereskan buku-bukunya ketika sebuah amplop putih terjatuh dari buku sastra Jepangnya. Isinya, tentu saja sepucuk surat. Sebuah surat tantangan yang ditujukan untuk detektif cilik Shinichi Kudo.

Ingin harta karun yang tak ternilai harganya?
Ikutilah petunjuk yang kuberikan
Distrik ternama tempat si rambut merah yang baik hati
Petunjuk berikutnya akan kau temukan disana

“Hei Ran, sepertinya permohonanmu terkabul, baca nih,” ucapnya sambil menyerahkan surat itu kepada Ran. Gadis itu tampak luar biasa senang.

“Ayo Shinichi ayo! Kamu mau ngikutin petunjuk ini kan?” Ayolaaaah,” desak Ran.

Shinichi terkekeh. Sepertinya rencananya bermain sepak bola sepulang sekolah harus dibatalkan. “Iya iya, kalau gitu kita pulang dulu, ganti baju dan makan. Nanti kujemput kau sekitar satu jam lagi, gimana?” usulnya. Ran mengangguk setuju.

Satu jam kemudian...

“H-hei, kamu bawa apa aja sih Ran?!”

Gadis yang diajak bicara tampak kesulitan membawa barang bawaannya. “Ugh, bantuin dong Shin, berat nih!”

Shinichi tertawa geli menatap sahabatnya. Diraihnya tas ransel yang sejak tadi Ran bawa dengan susah payah. “Kamu bawa dua tas? Yang benar saja, kita kan bukan mau jalan-jalan.”

“Iya tau kok, itu isinya baju ganti, makan siang buat kita berdua, air mineral, senter, kotak P3K, peta Tokyo, sama payung. Semuanya penting tau.”

“Huh yasudah,” balasnya cuek. Shinichi melirik singkat figur Ran yang hari ini tampak fresh. Ia mengenakan atasan floral dengan celana pendek di atas lutut. Rambutnya ditarik ke belakang dengan bando berwarna merah, senada dengan motif bunga di bajunya.

“Jadi, kita kemana dulu nih Shin?” tanyanya.

Shinichi berpikir sejenak. “Entahlah, sambil berjalan saja. Menurutmu rambut merah yang baik itu apa ya?”

“Entahlah, mungkin sebuah simbol atau maskot lembaga tertentu?”

“Lembaga apa?”

“Hmm tidak tahu, mungkin mall, hotel, atau rumah makan. Iya ngga sih?”

Rumah makan! Rasanya pernah, sesuatu yang terkenal. Shinichi tahu. Tapi apa? Dia bahkan tak bisa mengingatnya sama sekali. Sesuatu yang berambut merah dan baik hati? Mungkin Wendy’s atau

McDonalds! Itu dia, rambut merah baik hati maksudnya adalah Ronald McDonald, maskot restoran cepat saji itu. Dia baik hati karena sosoknya selalu tersenyum ramah menyapa pelanggan.”

Ran menatap cowok cerdas yang baru saja mengutarakan hasil pemikirannya. “Eh tapi di distrik ini ngga ada McD lho, lagian surat itu bilang distrik ternama kan?”

“Ya, distrik ternama  yang dekat sini ada dua, Shibuya dan Ikebukuro. Shibuya lebih dekat, karena itu pasti maksudnya McD di Shibuya. Ayo cepat kita berangkat!” serunya bersemangat.

Shin memang cerdas! “Ah, berangkat kemana, Shin?”

“Tentu saja stasiun dong, ayo Ran!”

.

Sepuluh menit kemudian mereka tiba di stasiun, Ran menunggu di peron 5 sementara Shin pergi membeli tiket untuk mereka berdua. Kini mereka telah berada di kereta yang menuju stasiun Shibuya.

“Kira-kira isi harta karunnya apa ya? Jangan-jangan emas, uang, atau jangan-jangan mayat seperti yang ada di film kamen yaiba? Hiiiy sereeeem.”

Shinichi terkekeh. “Kurasa bukan sesuatu seperti itu, jangan berharap terlalu banyak Ran.”

“Eh, lalu harta karun seperti apa ini menurutmu?” Ran bertanya balik.

“Entahlah, kita lihat saja nanti. Ayo Ran, kita sudah sampai, lekas turun!” ajaknya.

.

.

“Itu McD Shin, di sebelah sana!” Ran berkata sambil menunjuk sebuah plang besar tak jauh dari mereka. Patung Ronald McDonald telah menunggu mereka dalam gayanya yang khas, ramah dan selalu tersenyum. Di kakinya tertempel secarik kertas berwarna sama dengannya, merah. Shin menarik kertas itu dan membacanya bersama dengan Ran.

Selamat Shinichi Kudo, petunjuk pertama berhasil kau pecahkan
Yang setia selalu menunggu, tak pernah berubah atau pun pergi
Good luck!

“Yang setia selalu menunggu, tak pernah berubah atau pun pergi?” Ran mengulang petunjuk kedua dalam nada bertanya.

“Ya, menurutmu siapa yang paling setia?”

“Eh? Maksudmu siapa itu siapa apanya? Mungkin istri atau suami, mana kutahu.”

Shin berpikir keras. Ingatannya kembali pada percakapannya dengan ayahnya. Suatu hari ia membaca draft novel terbaru ayahnya tentang seorang pria penyendiri. Ia tidak mau berhubungan dengan wanita mana pun karena baginya semua wanita sama saja, tidak setia. Hingga akhirnya dia menemukan seekor anjing yang sangat setia padanya. Kehadiran anjing itu melengkapi hidupnya.

Kelanjutan novel itu, Shinichi tidak terlalu peduli. Yang jelas itulah jawaban petunjuk kedua: anjing. Sebuah lengkung terbentuk di bibirnya, tampak puas dengan kesimpulannya sendiri.

“Heh kamu pasti udah tau ya? Kasih tau dong!” rengek Ran.

“Iya. Eh Ran, kamu tahu nggak anjing mana yang paling setia?”

Ran berpikir sesaat. “Lho, itu sudah pasti Hachiko kan? Kamu pasti tahu ceritanya, tentang anjing yang setia menunggu pemiliknya sampai sepuluh tahun setelah pemiliknya itu meninggal.”

“Ya, itu dia jawabannya. Petunjuk berikutnya ada pada patung Hachiko, tak jauh dari stasiun Shibuya.”

“Benarkah? Kalau begitu ayo, aku penasaran sekali!” pekik Ran.

Mereka pun berjalan kembali menuju stasiun Shibuya, tempat patung Hachiko yang setia selalu menunggu tanpa pernah pergi dan berubah. Persis seperti dugaan Shinichi, petunjuk kedua tertempel di kaki Hachiko.


Kau memang cerdas detektif cilik, tapi bisakah kau pecahkan petunjuk kali ini?
Lima belas langkah ke kanan, tempat yang indah bagi buah ceri
Ya, ini adalah petunjuk terakhir
Selamat berjuang!

“Satu, dua, tiga,....” Ran berjalan ke kanan, mencoba memecahkan arti petunjuk itu secara harfiah. “Disini tidak ada apa-apa Shin, apalagi buah ceri,” lanjutnya. Tampak sedikit kecewa.

Shinichi tertawa geli. “Tentu saja bukan seperti itu, Ran. Hmm, coba lihat, kita berada di stasiun,” ujarnya sambil menunjuk peta persebaran stasiun di Tokyo.

“Eh, mungkinkah maksudnya 15 stasiun ke arah kanan?”

“Ya, stasiun Ueno. Masih mau ikut denganku Ran?”

“T-tentu saja, masa aku mau turun di tengah jalan dan pulang sih, ayo cepat beli tiket!”

.

.

Sepanjang perjalanan Shinichi sibuk berpikir. Buah ceri di Ueno? Lagipula kenapa harus di Ueno, jarak lokasi satu ke lokasi dua hanya terpaut paling tidak 500 meter. Sementara jarak lokasi kedua dan ketiga, 15 distrik. Yang benar saja.

“Kira-kira buah ceri disini maksudnya apa ya Ran, aku tidak

“Hmmm.” Ran menyenderkan kepalanya di bahu Shinichi. Rupanya sejak tadi ia tertidur.

“Aah payah, apa boleh buat kuselesaikan sendiri saja.”

Satu jam kemudian mereka tiba di stasiun Ueno. “Ran, bangun, kita sudah sampai. Ayo lekas turun?”

“Hmmapa? Oh, aku ketiduran ya?” Ran bertanya, masih linglung.

“Sudahlaaah, ayo cepat turun

.

.

Tak lama kemudian mereka menginjakkan kaki di tanah Ueno. Shin masih bingung dengan arti kata buah ceri yang tertera pada petunjuk terakhir. Pandangannya meneliti satu per satu objek yang ada di sekitarnya.

“Kita kemana Shin?” tanya Ran.

“Entahlah, aku belum memecahkan petunjuk yang terakhir. Kita berjalan saja.”

Ran patuh, mereka pun berjalan menyusuri trotoar terdekat. Pandangan Ran jatuh pada Taman Ueno.

“Hei, lihat itu Shin! Taman Ueno, tempat terbaik untuk melihat bunga sakura. Sekarang musim semi Shin, ayo kita kesana!”

Sakura!

Shinichi tersenyum puas, puzzle yang menyusun teka-teki itu kini lengkap. “Begitu rupanya.”

“Eh, apanya?”

“Petunjuk terakhir itu maksudnya Taman Ueno, buah ceri yang dimaksud adalah bunga sakura. Dalam bahasa Inggris, sakura berarti cherry blossoms. Penggunaan kata buah itu hanya sebagai pengecoh saja. Nah, ayo Ran!”

Mereka berjalan memasuki Taman Ueno. Hamparan bunga sakura yang sedang mekar merupakan pemandangan yang luar biasa indah.

“Inilah harta karunnya, pemandangan bunga sakura yang indah.” Shinichi menyimpulkan.

“Eh, kau yakin tidak mau menggali tanah sekitar sini? Siapa tahu harta yang sebenarnya terkubur disini,” usul Ran.

“Tidak, kurasa tantangan yang ditujukan padaku ini sepertinya untukmu, kau paling suka pemandangan bunga.”

“Masa?”

“Ya, dan sepertinya aku tahu siapa penantang misterius ini.” Ia tersenyum lagi, ingatannya melayang pada sosok ayahnya, Yusaku Kudo. Ya, orang yang diyakininya sebagai pemberi tantangan.

Ran masih tampak bingung dengan penjelasan Shinichi.

“Tidak usah dipikirkan. Nah, kamu bawa bekal untuk kita berdua kan? Ayo makan disini!”

“Ya, ya, aku bawa onigiri kesukaanmu, juga ada yakisoba dan minumannya.”
 ***

Ran sudah kembali ke masa kini. Di hadapannya tampak Ai Haibara yang terpukau oleh cerita masa kecilnya.

“Jadi sejak kecil Ran dan Shinichi kecil selalu main bareng ya?” tanyanya.

“Hmm, begitulah. Ngomong-ngomong sudah lama aku nggak dengar kabar darinya,” sahutnya. Dari irisnya terpancar sedikit kesedihan.

“Jangan khawatir, ia akan segera kembali! Percayalah!” Ai berkata berapi-api.

Ran terkejut sesaat. “Eh? Ya, pasti. Terimakasih ya Ai,” jawabnya disertai senyum tulus.


Mulai saat ini Ai bertekad akan berkerja siang dan malam untuk membuat obat penawar racun APTX 4869 yang menyusutkan tubuhnya dan Shinichi. Ya, dia bertekad mengembalikan Shinichi ke sisi Ran.