Sunday, September 11, 2011

Aku suka kamu, Annisa!

  • Kurang lebih 4000 kata atau 13 pages Ms Word
  • This is the kind of story you usually watch on ftv :p
  • Cerita ini plotnya ngga jelas dan banyak loncat-loncatnya, makanya cerita ini dibagi jadi tujuh part. Setiap bagian yang dipisah tanda *** itu berarti beda setting ya ;)
  • Semoga ini cukup unyu untuk Ceki dan Deyang <333
  • Happy reading! :)

Aku suka kamu, Annisa!

Annisa Candrakanti Aditama menghempaskan tubuhnya pada sofa super empuk di ruang keluarga. Gesturnya menyiratkan kelelahan akibat aktivitas sepanjang hari, sangat kontras dengan raut wajahnya yang tampak cerah. Bukan hanya hari ini, tapi sudah hampir dua minggu senyum di wajahnya tak juga pudar. Penyebabnya tak lain adalah Bagas, mahasiswa semester tiga fakultas kedokteran Universitas Indonesia yang ditemuinya di bedah kampus UI dua minggu yang lalu.

Menjadi dokter bukanlah destinasi hidup Annis. Cita-citanya adalah menjadi seorang akuntan. Karena Friska—sahabatnya merengek minta ditemani tour ke fakultas kedokteran, jadilah ia beruntung bisa berkenalan dengan mahasiswa super ganteng itu. Sejak pertemuan pertama mereka, Annis merasa sangat klik dengan Bagas. Cara bicaranya yang santai serta selera humornya yang nyeleneh tampak sangat mengesankan di mata Annis.

Berita bagusnya, hubungan mereka masih berlanjut hingga saat ini. Tampaknya Bagas menaruh minat yang sama pada dirinya.

“Dari mana aja Nis jam segini baru pulang?” tanya Anggara, kakak semata wayang Annis yang usianya hanya bertaut dua tahun. Yang diajak bicara tampaknya tidak mendengar. Angga meneliti singkat profil adiknya yang tampak sedikit kucel. Bayangkan saja, sudah hampir jam delapan malam dan masih pakai seragam sekolah.

“Nis!” serunya seraya menyodok lembut tulang rusuk adiknya.

Annis yang gelian spontan merespon—menarik diri sejauh mungkin dari jangkauan tangan kakaknya. “Mas Angga apaan sih, geli tau Mas!”

“Yee, lo tuh yang apaan, masih muda udah ngelamun aja,” jawabnya seraya menyodorkan semangkuk popcorn karamel.

“Ngga ada hubungannya ngelamun sama umur.” Annis manyun , menyomot seraup popcorn.

“Ngelamunin apa sih lo? Cowok ya?”

Annis melengos malas. Kakaknya ini selalu saja bertingkah seperti wartawan, mau tahu semua urusan Annis. “Adaaaa aja, Mas ngga usah tau deeeh,” kilahnya.

Pantang menyerah, Angga kembali angkat bicara. Tak lagi bertanya melainkan langsung saja memulai ceramahnya. “Bagus deh kalo udah nemu cowo baru, daripada ngegalau-in si Malik mulu,” (Annis memutar mata mendengar kalimat ini,) “Asal jangan kaya dulu lagi ya, hati-hati sama cowok.” cerocosnya. Ia bangkit dari tempat duduknya untuk mengacak-acak rambut sang adik kemudian cabut ke kamarnya.

Annis paling bosan diceramahi seperti ini oleh Anggara. Apalagi kalau sudah menyinggung topik sensitif tentang Malik, sang mantan yang selalu menjadi sumber kegalauan Annis sehingga Angga tak bosan-bosan meledek kelakuan adiknya yang menurutnya sangat lebay alias sinetron abis. Tapi Malik itu cerita lama.

“Annis udah pulang? Tadi jadi jenguk Friska?”

Suara lembut seorang wanita meredakan emosinya. Liana Aditama, ibunda dari Anggara dan Annisa. “Iya Ma, baru pulang. Jadi kok, udah Annis sampein salam mama, kata Friska salam balik.”

“Padahal tadi Mama udah buatin bolu pisang kesukaan Friska, udah dititip ke Pak Ujo supaya dibawa pas jemput kamu, eh malah ketinggalan. Kira-kira kamu kapan kesana lagi?”

“Besok!” jawab Annis super cepat sehingga ia malu sendiri. “Eh...engga tau juga sih, besok bisa.”

Kedua alis ibunya bertaut melihat tanggapan putrinya yang bersemangat. “Semangat banget sih? Kamu ngecengin abangnya Friska ya?”

Ngecengin calon dokter yang lagi praktek disana Ma, batin Annis. Tentu saja tak berani ia lisankan. Bisa-bisa diceramahi jilid dua. “E-engga kok Ma, apaan sih Mama. Yaudah Annis ke atas dulu ya, gerah nih mau mandi.” Liana menatap figur putri bungsunya yang tampak lusuh, tersenyum kecil selama beberapa detik kemudian bergegas meninggalkan ruang keluarga.

***

Waktu menunjukkan pukul empat lewat sepuluh.

Annis yang baru selesai mengikuti les matematika memasukkan semua buku-bukunya ke dalam tas secara asal-asalan. Ia setengah berlari menuju warung kopi tempat supirnya sedang menunggu. “Pak Ujo, cabut sekarang yuk!” serunya, menginterupsi Pak Ujo yang tengah menikmati secangkir kopi hitam dan sebungkus kacang sukro.

Sudah terbiasa dengan polah majikannya yang serba seenaknya, Pak Ujo langsung menghabiskan sisa kopinya dalam satu teguka. Meninggalkan selembar uang lima ribuan kemudian menatap figur Annis dari atas sampai bawah.

“Apa lagi Pak?!”

“Non, tali sepatunya belum diiket.”

Annis membelalak. Dengan kedua tangan terletak di pinggang, ia mengikuti arah pandang supirnya. Converse hitamnya yang belel. “Kan bisa di mobil, Pak!” serunya. Pak Ujo manggut-manggut kemudian membuka pintu mobil dan mempersilakan Annis masuk. Mereka pun mulai berkendara.

Kondisi jalanan yang super macet membuat Annis makin senewen. Pak Ujo tampak heran melihat majikannya yang sibuk misuh-misuh sendiri. “Non Annis buru-buru amat? Bukannya kalo jenguk Non Friska ga ada jam besuknya?”

Besuk pasien di ruang VIP memang ga ada batasnya, tapi yang mau Annis lihat itu kan calon dokter yang ngecek kamar pasien setiap jam empat tiga puluh. Annis hanya bergumam nggak jelas menanggapi pertanyaan itu. Jujur sama Pak Ujo tuh sama saja kayak jujur sama semua orang rumah soalnya Pak Ujo yang notabene supir keluarga sejak Annis belum lahir itu pasti nerusin ceritanya ke tuan dan nyonyanya, bahkan ke Angga juga.

Dan rasanya belum waktunya semua orang rumah tahu mengingat Annis belum punya apa-apa untuk diceritakan.

.

.

Arloji perak yang melekat pada pergelangan tangan Annis menunjukkan pukul empat lima puluh ketika mereka akhirnya memasuki kawasan rumah sakit. Kawasan yang beberapa hari ini menjadi sangat akrab bagi Annis karena rutin mengunjungi Friska. Awalnya hanya solider semata, datang untuk menjenguk sahabatnya yang baru saja melakukan operasi pengangkatan batu ginjal untuk mengobrol dan berbagi gosip sekolah.

Tujuannya berubah tatkala suatu sore ketika mereka sedang asyik bercanda, seorang cowok sepantaran Anggara masuk untuk mengecek keadaan Friska. Orang yang sama dengan orang yang ditemui Annis saat acara bedah kampus UI. Kontan hatinya berbunga-bunga apalagi saat mereka kebetulan bertemu lagi di lobby dan kala itu, si calon dokter mengajaknya nongkrong sebentar di cafetaria.

Kabar menyenangkannya, mereka masih keep in touch dalam intensitas yang cukup tinggi sampai sekarang. Entah mengobrol ketika bertemu di rumah sakit, smsan, atau teleponan di malam hari.

“Aku turun sini aja Pak,” ujar Annis tak sabar. Tanpa menunggu jawaban Pak Ujo, ia bergegas membuka kunci kemudian turun dari mobil.
***

“Anniiiiis!” sambut Friska sedetik setelah Annis menutup pintu kamar. “Ko lama sih? Gue bosen banget tau dari tadi ga ada kerjaan, ga ada tontonan, ga ada lo,” curhatnya.

Annis memutar bola matanya. Temannya yang satu itu memang sama dramatisnya seperti dirinya. “Lebay banget sih lo,” sahutnya seraya meletakkan bolu pisang titipan mamanya di meja di samping tempat tidur.

“Ya ampun, ini pasti dari nyokap lo. Bilangin makasih ya buat Tante Liana, doi emang the best.”

Annis malah celingukan alih-alih menanggapi kata-kata sahabatnya. Pandangannya sibuk mengobservasi peralatan rumah sakit dengan rasa ingin tahu tingkat tinggi. Sebagai sahabat yang baik, Friska mengerti apa yang ada dalam pikiran Annis. Ia meraih sebuah apel dan menggigitnya sebelum berkata dengan santai.

Slow Nis, si itu belum dateng kok.”

Annis tertawa keras mendengar Bagas sudah menjadi si itu di mata Friska. Ia menatap pintu dengan pandangan penuh harap kemudian mengangkat bahu. “Siapa juga yang nungguin siapa,” kilahnya, berpura-pura cuek dan memutuskan akan mengobrol saja dengan Friska. Friska mengulum senyum jahil, meskipun di luarnya pura-pura cool, Friska tahu banget kalau dalam hati temannya itu bener-bener ngarep.

Tiga puluh menit telah berlalu dan Annis telah menceritakan berbagai gosip yang tengah beredar di sekolah. Bahkan ia telah mengulang tiga kali berita perihal putusnya Maya dan Seno, ketua kelas mereka yang super kece (Friska sangat senang soal ini, berarti ia punya kesempatan pedekate ke Seno yang sudah lama diincarnya).

Untuk terakhir kalinya, Annis mengerling pintu dengan tatapan penuh harap sebelum akhirnya memutuskan untuk pulang.

“Ngga nunggu dia dulu Nis?”

Annis menggeleng nggak mood seraya menyandang tas di bahunya. “Entaran aja deh, besok ada pr fisika soalnya.”

“Yaudah gapapa, ntar gue wakilin aja pedekatenya, titip salam ngga lo?” goda Friska. Annis melotot dibuatnya.

Tok tok.

Refleks keduanya mengerling pintu dengan spekulasi dan harapan yang sama. Annis yang berharap, sebetulnya. Ia bertukar pandang dengan Friska yang kemudian berseru, “Silakan masuk.” Sesuai dugaan yang masuk adalah Bagas—sendiri alih-alih ditemani suster seperti biasanya. Ia menebar senyum jahil kemudian menyapa Annis sebelum memeriksa infus dan alat-alat kedokteran yang digunakan Friska. 

“Kalau ada keluhan, langsung panggil suster saja ya Friska. Saya tinggal dulu.”

Annis tersadar dari lamunannya. Sesaat sebelum meninggalkan ruangan, Bagas menghampirinya dan berbisik di telinganya, “Annis bisa tunggu gue di cafetaria lima belas menit lagi?” tanyanya. Membuat annis meleleh seketika. Di sela-sela debar jantungnya yang tak karuan, Annis memberi anggukan frigid atas permintaan Bagas.

“Muka lo bener-bener ngga kontrol, kaya orang abis disihir,” komentar Friska sesaat setelah pintu kamarnya tertutup.

Annis menanggapi, “Sihir cinta?” Mereka pun tertawa bersama.

.

.

Sesuai janjinya, Annis dan Bagas janjian di cafetaria. Saking takut telatnya, Annis bahkan sudah stand by di tempat tujuh menit sebelum waktu yang ditentukan. Pikirannya sibuk menerka-nerka apa gerangan yang ingin dibicarakan Bagas. Memang sih ia tidak bilang ingin bicara, tapi kan secara implisit... well, setidaknya itulah yang ditangkap Annis dari esensi perkataan Bagas.

“Eh Nis, sorry lama ya,” sapa Bagas seraya menyunggingkan senyum super ramah, seketika membendung rasa cemas Annis.

Annis melempar senyum manis sebagai balasan. “Santai aja, Annis yang kecepetan kok Gas,” sahutnya.

“Sebenernya gue mau ngajak lo jalan, cuma  ngga enak kalau ngajak lewat telfon atau sms, atau di depan Friska,” ujar Bagas setengah tersenyum.

Terhenyak pelan, Annis hanya melongo.

“Kenapa? Ngga mau ya?” tanya Bagas lagi.

“M-mau kok Gas,” sergahnya. Annis benar-benar speechless dibuatnya.

Seulas senyum lega tersungging di wajah polos Bagas yang kalau menurut Annis luar biasa ganteng. Ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi dan menatap Annis lekat-lekat dalam gestur santai. “Jumat ini, Richmond Cafe, jam empat sore. Bagaimana?”

Jumat? Annis gigit bibir. “Sabtunya ada ulangan fisika, kalau Sabtu aja gimana?”

“Hari Sabtu Annis sekolah?” tanya Bagas, heran.

“I...ya. Gimana?”

Bagas menimbang-nimbang gagasan tersebut. “Sabtu gue ada diskusi bebas sama dosen anatomi,” jawabnya. “Jumat aja ya, ntar fisikanya gue ajarin. Gimana?” Bagas menanti penuh harap. Annis mengangguk. Senyum puas tersungging di wajahnya. “Ntar gue jemput ke sekolah aja ya Nis,” tambahnya sebelum Annis berjalan menjauh.
***

Waktu terasa sangat lama ketika kita sedang menantikan sesuatu.

Ya, Annis sangat amat setuju akan hal itu, terlebih jika sesuatu yang tengah dinantinya adalah first date dengan Bagas. Bahkan tiga hari yang biasanya berlalu dengan cepat pun terasa seperti dua minggu saat ujian kenaikan kelas. Menyebalkan, terasa lama, dan membuat Annis ingin segera mengakhirinya.

Pelajaran matematika yang biasanya menjadi pelajaran kesukaan Annis sama sekali tak menarik perhatiannya. Benaknya sibuk berorientasi pada spekulasi-spekulasi mengenai kegiatan apa yang akan ia lakukan bersama Bagas sepulang sekolah nanti. Saking tidak fokusnya pada lingkungan sekitar, Annis bahkan tidak menggubris sama sekali ocehan Vita mengenai gosip seputar jadiannya Seno dan Livia yang super mendadak. Menurut Vita, Liv merupakan orang ketiga penyebab putusnya Seno dan Maya.

Yang membuat Vita heran adalah Annis yang tampak tidak tertarik sama sekali sehingga ia menghentikan ocehannya dan memutuskan untuk mengerjakan tugas pemberian Pak Septian.

Bel yang berbunyi terdengar seperti panggilan surga di telinga Annis. Terlebih setelah dua menit sebelumnya Bagas baru saja mengonfirmasi bahwa ia akan tiba di sekolah Annis dalam waktu sepuluh menit. Dalam waktu kurang dari sepuluh menit Annis telah memasukkan semua buku dan peralatan sekolah ke dalam tasnya kemudian bergegas berlari menuju lahan parkir.

Setidaknya seratus motor milik para siswa telah berderet disana, variatif mulai dari merk, model, sampai warna. Namun, kawasaki hijau-hitam yang biasa terparkir di area parkir rumah sakit tempat Friska dirawat itu belum menunjukkan tanda-tanda kehadiran. Berkali-kali Annis melayangkan pandangan pada arloji keemasan yang melingkar di tangannya, sepuluh menit. Bahkan sepuluh menit saja terasa sangat lama.

Seseorang meletakkan tangan di pundak Annis. “Nis, sorry, udah nunggu daritadi ya?” tanyanya.

Bagas.

Refleks ia tersenyum cerah. “Oh hei, Gas, nggak kok, ngga apa-apa.”

Lawan bicaranya balas tersenyum seraya mengangsurkan sekantung makanan kecil. Annis mengintip isinya, chuba rasa keju, chitato, wafer tango, biskuat cokelat, buavita, dan coki-coki. Spontan ia tertawa dan menerima bingkisan tersebut.

“Kebanyakan cowo normal biasanya ngasih bunga,” goda Annis.

“Mungkin gue memang ngga normal? Well, yang pasti lo bakal lebih suka makanan-makanan itu daripada bunga, soalnya bunga ngga bisa dimakan, iya kan?”

“Emang Bagas tau apa yang Annis suka?” tantangnya.

“Semua yang di dalem situ, iya kan?”

Annis tertawa lagi, kali ini terpesona akan sikap Bagas yang begitu santai dan nggak sok romantis ala film-film televisi yang biasa ditontonnya di hari Minggu. Ia memang suka jajan makanan anak sd, dan Bagas tahu itu. Sesaat mereka sama-sama terdiam sebelum Bagas mulai bicara lagi.

“Jadi, belajar fisika atau jalan dulu?”

Opsi pertama sama sekali bukan pilihan. Terus terang Annis akan memilih jalan saja alih-alih jalan dulu kemudian belajar fisika. Mendengus pelan sebelum menjawab, “Fisika dulu aja Gas.” Lebih baik belajar dulu baru jalan daripada pas jalan nggak konsen karena mikirin soal-soal fisika (yang sebetulnya hampir nggak mungkin terjadi karena Annis yakin adanya Bagas bakal bikin dia nggak peduli sama seluruh dunia). Hiperbolis? Memang, tapi begitulah jika dua orang saling jatuh hati.

Bagas mengangguk senang akan pilihan Annis. “Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian ya Nis?” candanya.

Annis sudah akan tertawa tetapi dihentikan oleh cengkraman seseorang pada pergelangan tangannya. Kuat dan rasanya akan sulit dilepaskan. “Jadi, ini cowok baru kamu?” tanyanya dengan nada meremehkan. Ia menatap figur Bagas dengan sorot mata tak suka. Bukan, bukan hanya tak suka, tetapi juga benci.

“Cowok brengsek kaya dia ga pantes dapetin cewek kaya kamu Nis,” lanjutnya.

Annis membelalak. “Mas Angga ngomong apa sih? Jangan ngaco ah Mas.”

“Gue ngga ngaco Nis, harusnya lo tanya, siapa cowok ini sebenernya!” Jari telunjuknya mengarah pada wajah Bagas. Annis menatap kakaknya dengan tatapan berang kemudian menatap Bagas dengan tatapan... bingung. Prihatin. Kemudian bingung. Raut wajah Bagas menjadi sangat pucat

“Ini ada apa sih sebenernya? Bagas? Mas Angga? Annis nggak ngerti apa-apa!” serunya frustasi. Antara bingung karena tidak mengerti arah pembicaraan mereka serta kesal karena aksi mereka bertiga mulai menjadi tontonan warga sekolah.

Bagas tak menjawab.

“Dia udah ngebunuh cewek yang gue sayang.”

Dunia Annis bagai runtuh. Seluruh tubuhnya seolah dialiri setruman listrik beribu-ribu volt. Lutunya lemas mendengar pernyataan kakaknya. Seluruh fokusnya dipusatkan pada Bagas dan matanya menatap mata hitam di hadapannya. “Bagas, kamu... ini bohong kan?”

Melihat Bagas tak kunjung bereaksi, hormon adrenalin seolah menghujam jantung Annis. Seolah ia ingin menarik Bagas, mengguncang-guncang tubuhnya, atau melakukan apapun yang nekat yang dapat membuat Bagas berbicara. “Gas, jawab Annis. Mas Angga bohong kan?” Annis masih menunggu, tak ada sanggahan maupun bentakan balik dari Bagas, ia hanya membuang muka dan menghindari pandangan Annis yang begitu intens.

Sebuah seringai puas menghiasi wajah Angga. “Udahlah Nis, dia ngga jawab karena emang ga bisa, karena dia ngerasa bersalah, udahlah ayo pulang!” tandasnya seraya menarik paksa lengan Annis. Annis masih menatap Bagas meskipun tungkainya kini bergerak menjauh.

Kesedihan dan penyesalan, begitulah kesan yang ditangkapnya dari sorot mata pemuda itu.
***

Dua hari telah berlalu sejak kejadian ala sinetron yang menimpa Annis, Bagas, dan Angga. Sejak saat itu, Annis dan Bagas belum berhubungan sama sekali. Tak ada telfon, tak ada sms. Keduanya sama-sama menarik diri sampai waktu yang belum diketahui.

Menurut Angga, Bagas adalah penyebab kematian Indy, kekasihnya di masa SMA. Angga menolak berbicara lebih jauh, ia hanya berpesan bahwa Bagas adalah cowok yang tidak pantas buat Annis dan secara tegas menyuruhnya menjauhi Bagas. Menyisakan tanda tanya besar di benak Annis.

Semuanya tampak tidak singkron. Sepengetahuannya, Indy meninggal karena penyakit asma akut yang tak tertolong lagi. Bagaimana mungkin Bagas punya andil dalam kematiannya?

Didorong oleh rasa  penasaran—dan juga rasa kangen, Annis memberanikan diri untuk mengajak Bagas bertemu. Bukan untuk kencan lagi melainkan untuk berbicara empat mata. Ia setengah mati ingin mendengar klarifikasi, sanggahan, atau apapun dari mulut Bagas. Suatu pembelaan atas tuduhan kakaknya yang Annis pikir sangat mustahil terjadi. Mereka janjian bertemu di Starbucks EX Plaze pada hari Minggu sore.

.

.

Sesampainya di Starbucks, Bagas telah menunggu.

Annis menghela nafas dalam-dalam, mencamkan baik-baik bahwa ia akan menjadi pendengar yang baik, tak boleh memotong pembicaraan, dan harus ikhlas menerima apapun penjelasan Bagas. Setelah berjanji pada dirinya sendiri—meskipun dengan setengah hati—ia bergegas duduk di hadapan Bagas. Tanpa mengawali konversasi mereka dengan prelude dan basa-basi lainnya, Annis bertanya to the point mengenai kebenaran tuduhan Anggara.

Bagas menghembuskan nafas panjang. “Mungkin emang bener kata abang lo, Nis.”

Bukan. Bukan itu jawaban yang Annis cari. Nggak mungkin Bagas seperti itu.

“Dulu waktu gue dan abang lo sama-sama di SMA, ada cewek namanya Indy. Cantik, juara kelas, ketua mpk, dan anak basket. Waktu itu gue kapten basket dan kita lumayan sering latihan bareng, terutama pas deket turnamen nasional.”

Bagas meneguk caramel macchiato-nya. Melihat waja Bagas yang pucat, Annis tahu cerita akan segera mencapai klimaks. “Indy semangat banget ikut turnamen. Dia minta gue buat latihan bareng. Gue yang waktu itu over excited karena nemu temen latihan kaya Indy, gatau apa-apa soal penyakitnya.” Jeda, Annis masih menunggu. Bagas melanjutkan. “Kita latihan kelewat sering, mungkin terlalu berat buat dia.”

Lagi-lagi jeda. Annis hampir buka mulut kemudian ingat janjinya untuk menjadi pendengar yang baik.

“Kita menang di turnamen itu tapi setelah beres tanding, Indy pucat banget. Malemnya dia masuk rumah sakit, diopname selama dua minggu terus....”

Annis tahu kelanjutan ceritanya. Hari itu pukul sepuluh malam, telepon Mas Angga berbunyi, telepon dari Sofia, sahabat Indy yang mengabarkan bahwa Indy baru saja menghembuskan nafas terakhirnya. Annis ingat sekali, mereka sebelumnya sedang belajar bareng kemudian Mas Angga hilang kendali. Melempar barang-barang di kamarnya dan menangis. Bahkan Annis ikut menangis melihat kakaknya.

“Aku tahu, Gas.” Annis berkata lirih, menggenggam tangan Bagas.

Bagas merespon sentuhan Annis dengan seulas senyum. “Indy mungkin cewek terbaik yang pernah gue kenal, prestasinya, semangat hidupnya, bahkan orang-orang ga tau kalau dia sakit. She’s the reason why I wanna be a doctor.”

“Annis ga ngerti kenapa Mas Angga sebenci itu sama Bagas.”

“I killed her, Nis,” sergah Bagas. “Apa itu masih kurang jelas?”

“Engga Gas, itu semua udah takdir. Mungkin Annis emang ga ngerti hubungan kalian bertiga, tapi Annis tahu itu bukan salah Bagas. Bukan salah siapa pun kalau Indy meninggal, Mas Angga ngga ngerti.”

Bagas membelalak heran. Bagaimana bisa adik dari seseorang yang amat membencinya justru membelanya habis-habisan? “Gimana kalo lo ada di posisi Angga?”

“Berat. Tapi Mas Angga tau kalo Indy sakit, harusnya dia ngga nyalahin Bagas atas kematian Indy,” jawab Annis.

“Dia ceweknya Angga?”


Annis mengangkat alis. “Bagas nggak tahu?”

“Emangnya gue tukang gosip?” Bagas pura-pura tersinggung, membuat Annis ingin tertawa.

“Mereka nggak pacaran, Mas Angga emang sayang banget sama Indy tapi Indy nggak mau pacaran. Katanya, waktunya tinggal sedikit.” Bagas manggut-manggut mendengar jawaban Annis. “Jangan-jangan... Bagas juga suka ya sama Indy?”

“Hahahahaha engga lah, dari dulu gue mikirnya dia ceweknya Angga, ngga mungkin lah gue demen sama pacar temen gue.”

Annis mengulum senyum, memasukkan gula ke dalam kopinya kemudian memberanikan diri untuk bertanya, “Kalau gitu... Bagas sukanya sama siapa?”

Bagas ikut tersenyum mendengar godaan Annis. “Sama adenya Angga,” jawabnya lugas.

***

Tidak ada acara tembak-menembak setelah pengakuan Bagas yang secara implisit menyatakan bahwa Bagas suka Annis sore tadi. Meskipun luar biasa senang, Annis bertanya dalam hati apakah ini cara pacaran anak kuliahan yang tanpa pernyataan atau mereka memang belum resmi menjadi sepasang kekasih? Apa pun itu, Annis bisa memikirkannya nanti malam.

Sekarang ini mereka tengah berjalan-jalan di Monas. Ya, monumen nasional. Setelah menutup pembicaraan mereka mengenai peristiwa yang melatarbelakangi hubungannya dan Angga, Bagas mengajak Annis jalan-jalan sebelum mengantarnya pulang. Awalnya Annis agak sangsi mendengar Bagas menyebut “Monas” sebagai tujuan mereka. Sekarang ia seratus persen setuju atas pilihan tersebut.

Langit sore begitu indah, apalagi jika dinikmati bersama seseorang yang spesial. Lebih spesial lagi ketika sepuluh menit yang lalu Bagas memanggil sekelompok pengamen jalanan—yang kebetulan suaranya bagus—untuk menyanyikan lagu-lagu seperti Panah Asmara, Just The Way You Are, I Will Fly, dan typical love songs lainnya. Membuat jantung Annis berdebar tak karuan.

“Nis,” seru Bagas seraya menyodorkan sebuah gulali besar berwarna pink.

Annis tertawa seraya menerima gulali tersebut. Menggumamkan sesuatu seperti terima kasih kemudian mulai menyantapnya. Annis sukaaaa sekali, Bagas selalu penuh kejutan. Bersamanya menyenangkan meskipun terkadang Annis merasa diperlakukan seperti anak TK. Gulali, chuba rasa keju, coki-coki..., tapi toh ia senang-senang saja selagi semua itu dari Bagas.

“Pulang yuk Nis, udah sore. Mendung lagi, kayaknya bentar lagi hujan,” ajak Bagas.

Annis memandang langit, sedikit kecewa dengan ajakan Bagas tapi kemudian mengangguk dan mengekor Bagas menuju tempat parkir.

Lima menit setelah mereka mulai berkendara, hujan mulai turun. Kian lama kian deras dan mengguyur seluruh tubuh Annis dan Bagas. Seluruh tubuh Annis yang hanya dibalut jeans, t-shirt santai, serta cardigan terasa membeku ditengah hembusan angin kencang. Bagas yang awalnya bermaksud menaikkan kecepatan motornya agar mereka cepat sampai, mengurungkan niatnya. Ia menghentikan motornya di sebuah halte dan menyuruh Annis turun.

“Kamu turun sini aja ya Nis, pulang naik taksi.”

Annis melongo.

....Bagas serius?

“Hujannya deres banget Nis, ada petir juga. Nanti kamu sakit kalo motor-motoran sama aku apalagi rumah kamu masih jauh. Naik taksi aja ya, gapapa kan?”

Oh. Annis mengantongi maksudnya. Bagas menyetop taksi dan memakaikan jaketnya pada Annis. Annis mencegahnya. “Ngga usah Gas, nanti kamu kedinginan.”

“Ngga apa-apa, yang penting kamu ngga sakit. Aku udah biasa kok.”

“Jangan Gas, kamu pake aja. Ngga apa-apa kok, Annis gapapa. Lagian kan Annis naik taksi.”

Bagas berpikir sejenak kemudian mempersilakan Annis masuk ke dalam taksi seraya menyerahkan uang lima puluh ribuan kepada supirnya. “Hati-hati ya Nis, sampe  rumah langsung mandi air hangat, makan. Nanti malem aku telfon.”

Annis tersenyum lagi. “Iya Gas, kamu juga hati-hati ya, Pak Dokter jangan sampai sakit.”

“Pelan-pelan ya Pak nyupirnya,” pesan Bagas kepada supir taksi kemudian menutup pintunya.

.

.

Annis sampai di rumah dua puluh menit kemudian. Basah kuyup dan setengah membeku dan disambut oleh Mas Angga.

“Kamu abis ketemuan sama cowok itu? Cowok macam apa yang ngebiarin ceweknya pulang naik taksi, basah kuyup. Bukannya dianterin pulang. Takut?”

“Bukan urusan Mas,” sergah Annis defensif.

“Oh jelas itu urusan aku, aku ngga mau ade cewek aku satu-satunya main sama pembunuh.”

“Bagas bukan pembunuh!” Annis berang mendengar tuduhan kakaknya.

“Bukan pembunuh? Setelah apa yang dia lakuin sama Indy—“

“Mas keterlaluan! Apa yang terjadi sama Indy itu bukan salah Bagas, Mas tau itu. Mas ngga bisa jadiin Bagas kambing hitam selamanya, buka mata Mas, udah waktunya buat move on!” bentak Annis sebelum menghambur ke kamarnya. Menangis, mungkin.

***

Sudah hampir seminggu berlalu sejak pertengkaran Annis dan Anggara yang terakhir. Mereka belum saling bicara, sekalinya bicara pun hanya akting di depan Mama. Tak ada canda tawa di meja makan saat makan malam, tak ada acara nonton dvd bersama, dan tak ada yang membantu Annis mengerjaan pr kimia. Annis muak dengan tingkah kakaknya yang terus-menerus menyalahkan Bagas, menuduhnya pembunuh, padahal ia tahu bahwa penyakit yang diidap Indy memang mematikan.

Hubungannya dengan Bagas masih lancar. Meskipun belum bertemu lagi sejak di halte pekan lalu, komunikasi mereka masih berjalan dengan lancar baik melalui sms maupun telepon.

Waktu menunjukkan pukul tiga tiga puluh dan Annis sudah tak sabar ingin menenggelamkan diri di antara bantal dan guling. Lelah. Kepalanya pusing akibat soal-soal ulangan yang hanya enam puluh persennya bisa ia kerjakan. Hm. Sebuah motor kawasaki berwarna hijau yang dikenalnya sudah lebih dulu mengambil tempat parkir di depan rumahnya.

Annis menepuk pelan pundak Pak Ujo. “Annis turun sini aja Pak, itu motornya Bagas. Bapak parkir sini aja ya,” ujarnya sambil membuka pintu mobil. Motor Angga juga terparkir di garasi, pertanda bahwa si pemilik sedang ada di rumah. Perasaan was-was menguasai dirinya. Apa yang Bagas lakukan di rumahnya?

Mereka sedang duduk di teras ditemani dua cangkir kopi dan beberapa toples kue kering. Keduanya sama-sama menoleh ketika Annis datang. Dilihat dari gestur yang kaku serta sorot mata yang sama-sama intens, Annis tahu mereka baru saja melalui sebuah konversasi yang berat. Anggara menyuruh Annis duduk.

“Gue tahu Bagas ngga salah,” ujar Anggara memulai pembicaraan. “Selama ini gue ngga rela, berat ngelepas orang yang gue sayang, ngga ikhlas karena bukan gue melainkan lo yang ngabisin banyak waktu sama Indy di akhir hidupnya.”

“Gue juga minta maaf Ga, mungkin gue emang salah, tapi gue gatau sama sekali soal penyakit Indy,” jawab Bagas.

“Gue percaya, lagian sekarang gue udah sama Fathia, kasian dia kalau gue terus-terusan mikirin masalah Indy. Dan sekarang kan lo calon dokter, jangan ada yang kaya Indy lagi ya?”

Bagas mengangguk sungguh-sungguh. “Gue bakal usaha.”

Anggara tersenyum mendengar janji Bagas. “Dan soal yang satu lagi...” mengerling Annis, “gue percaya sama lo,” tambahnya sambil ngeloyor ke dalam rumah, meninggalkan Annis dan Bagas berdua.

“Kamu udah baikan sama kakakku?”

“As you see, Nis.” Bagas berdeham sejenak, menyeruput kopinya, kemudian menggenggam kedua tangan Annis. Seulas senyum tersungging di bibirnya. “Jadi...?”

Annis tahu benar apa maksud Bagas tapi ia menggeleng cepat.

“Engga?” tanya Bagas lagi.

“Kamu belum bilang apa-apa, aku mau jawab apa?”

Bagas tersenyum lagi, kali ini benar-benar puas. Kedua matanya difokuskan pada Annis kemudian berbicara dengan penekanan pada setiap kata.

“Aku suka kamu, Annisa.”
***

No comments:

Post a Comment