Sunday, September 4, 2011

A Spoonful of Christmas Sugar

  • Disclaimer: Marissa von Bleicken © The Glee Project & Callum Hann © Masterfchef Australia. The restaurant, location, and everything besides the central characters fully belong to me.
  • Quotes © Rosie Cash
  • Lyrics © Jingle Bells by James Lord Pierpont
  • Mini poster will be added later
  • Kali ini panjangnya normal kok, sekitar 2300an kalo ngga salah.
  • Critics would be verrrrrry lovely :'>

    A Spoonful of Christmas Sugar

    “Wish you all A Merry Christmas,
    May the Joys of the season
    Fill your heart with goodwill and cheer.”


    ***
    “Kau mau kemana?”

    “Bukan urusanmu!”

    “Bagaimana dengan makan malam kita?”

    “Lupakan! Pergilah dengan Claire, aku yakin kalian akan bersenang-senang.”

    “Marissa, tunggu!”
    ***

    Rangkaian konversasi yang menyilet hati itu terus-menerus berputar dalam benak Marissa Von Bleicken. Butir-butir air mata yang tertahan di pelupuknya mendesak untuk keluar dan membasahi pipinya. Pertengkarannya dengan Dylan benar-benar menguras emosi. Seharusnya kini mereka sedang duduk bersama dan menikmati makan malam romantis di sebuah restoran bintang lima.

    Seandainya wanita itu tidak menghubunginya dua jam yang lalu.

    Namanya Claire Rodriguez, wanita yang memperkenalkan dirinya sebagai kekasih Dylan. Ia tak meluangkan waktu lebih banyak untuk mendengar. Satu hal yang sangat pasti, kecurigaannya selama ini terbukti benar, Dylan menduakannya. Betapa bodohnya dirinya, terlebih setelah ia setuju menghabiskan natal bersama Dylan di Sydney, Australia—kampung halaman kekasihnya padahal tindak-tanduk Dylan selama ini sudah mengindikasikan adanya ketidaksetiaan.

    Terkutuklah Dylan, jika bukan karena rayuannya yang manis dan menjanjikan, sekarang ini Marissa pasti sedang berada di rumahnya yang nyaman di Amerika, menyanyikan lagu-lagu natal bersama kakaknya, dan ditemani masakan rumah paling lezat buatan ibunya alih-alih berjalan luntang-lantung di pusat keramaian Sydney—sendirian.

    Angin musim dingin menerpa wajah Marissa, menyisakan rasa kebas akibat kedinginan di kedua pipinya. Pandangannya jatuh pada papan nama jalan bertuliskan Sydney Street, tak jauh dari tempatnya berdiri. Seketika sebuah ingatan menyenangkan terlintas di benaknya. Diraihnya sebuah kartu nama dari dompetnya kumudian sebuah lengkung ganda tersungging di bibirnya.

    The Dessert Kingdom
    2009 Sidney Street, St. Louis, MO 52401

    Ingatannya melayang pada sosok pemuda berdarah Australia yang ditemuinya di acara bertitel ‘TV Series Award’ yang diadakan di Hollywood sekitar enam bulan yang lalu.

    Callum Hann—sang pemilik restoran. Callum adalah pribadi yang menyenangkan, murah senyum, pandai bersosialisasi, serta tentunya pandai memasak. Pada pertemuan itu mereka saling bertukar pengalaman. Marissa menceritakan pengalamannya mengikuti The Glee Project sementara Callum menceritakan pengalamannya sebagai finalis Masterchef Australia.

    Kala itu Callum bercerita mengenai restoran dessert miliknya.

    “Hei Marissa, kalau kau liburan ke Australia, mampirlah ke restoranku. Ini alamatnya.”

    Sekilas senyum bermain di bibir sang dara. Tungkai kembarnya mulai bergerak menyusuri Sydney Street, mencari letak alamat yang tertera pada kartu nama pemberian Callum. Mungkin menghabiskan natal bersama beberapa piring makanan manis akan menyenangkan, apalagi jika kebetulan mendapat sang pemilik restoran sebagai teman bicara—bonus. Tak lama kemudian retinanya menangkap banner besar bertuliskan The Dessert Kingdom. Sekilas terlihat seperti... rumah-rumahan?

    Sesampainya di dalam restoran, Marissa disambut dua hal yang menyenangkan. Alunan lagu natal yang berasal dari speaker dan pramusaji ramah dengan senyum ceria di wajahnya.

    “Selamat datang di The Dessert Kingdom, ada yang bisa saya bantu?” sapanya.

    Mau tak mau Marissa ikut tersenyum. Ia meminta meja untuk satu orang dan pramusaji itu menunjukkannya meja untuk dua orang di sudut ruangan. Tempatnya sangat nyaman, dua sofa kecil berwarna coklat yang sangat empuk dan berbatasan dengan dinding kaca.

    “Terimakasih,” ucap Marissa.

    Pramusaji ramah itu tersenyum dan memperkenalkan dirinya sebagai Daphne kemudian menyodorkan daftar menu kepada Marissa. “Ini menunya. Silakan memilih, aku akan kembali dalam beberapa menit.”

    Marissa menghela napas panjang untuk menghirup aroma gula dalam-dalam sebelum membuka buku menunya. Dekorasi ruangan yang sangat manis serta kehangatan yang berasal dari pemanas ruangan membuatnya merasa nyaman. Ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa kemudian pandangannya mulai menyusuri satu per satu menu yang tertera dalam daftar.

    Butterscotch sundae, strawberry muffin, ricotta cheese cake, baked apples and pears with berry salad and caramel sauce, chocolate fondant with raspberry coulis and fresh berries, carrot cake with cream cheese frosting, soft hearted chocolate pudding with raspberry cream and honeycomb chunks... dan masih banyak lagi makanan-makanan yang namanya terlalu panjang untuk dilafalkan.

    Dan Marissa tak mengerti apapun mengenai semua itu. Well, kecuali muffin, sundae, dan cheese cake. Ia tak begitu bersahabat dengan makanan manis karena...yah, makanan manis adalah menu utama yang harus dihindari dalam diet. Pramusaji kembali menghampiri sang dara, kali ini membawa alat tulis dan kertas pesanan.

    “Sudah menentukan pesanan Anda?” tanyanya.

    “Well, aku agak sedikit... bingung.”

    Ia tertawa halus. “Ada yang bisa kubantu?”

    “...hum, chocolate fondant with raspberry coulis and fresh berries itu seperti apa?”

    “Dua lapis cake cokelat yang diberi krim dan buah berry.”

    “Bagaimana dengan soft hearted chocolate pudding with raspberry cream and honeycomb chunk?”

    “Sponge cake yang di dalamnya berisi puding dan ditaburi gula halus, dikelilingi oleh karamel madu yang telah dipanggang dan buah berry yang masih segar,” jelasnya.

    ...........................

    Ia tertawa lagi. “Itu menu favorit di restoran kami,” tambahnya.

    “Aku pesan itu saja—dan jus jeruk,” ujar Marissa seraya tersenyum, mengangsurkan buku menu kepada Daphne yang mengangguk lembut dan menyatakan akan segera kembali dalam tujuh menit.

    ***
    Marissa sudah menghabiskan setengah porsi dessertnya.

    Rasanya enak, manis, dan meleleh dengan sempurna di mulut. Benar-benar cocok diberi predikat menu favorit walaupun namanya agak sulit dilafalkan. Ia berusaha fokus pada hidangannya meskipun atensinya teralihkan olah pemandangan  pasangan-pasangan romantis di sekelilingnya. Seorang gadis pirang menyuapi kekasihnya dengan sepotong besar cheesecake, sepasang kekasih yang menyesap jus stroberi dari gelas yang sama, serta sepasang suami istri yang sedang menikmati berbagai jenis makanan manis bersama buah hati mereka.

    Sesekali pandangannya di layangkan ke luar, menatap jalanan berlapis salju yang tak kunjung sepi pejalan seraya menempelkan wajahnya pada kaca. Kemudian menghentikan aktivitasnya ketika secara tak sengaja retinanya menangkap pemandangan pasangan yang sedang berpelukan erat dan memilih menuliskan inisial namanya pada kaca yang berembun.

    Jika bukan karena Dylan yang tak tahu diri, ini akan jadi natal yang sangat menyenangkan bagi—

    “Marissa?”

    Callum Hann berdiri tepat di hadapannya, memakai celemek berwarna pastel bertuliskan ‘Callum—Owner & Head Chef’. Marissa tidak bisa merasa lebih senang. “Callum—hei!”

    “Hei,” balasnya, menarik Marissa ke dalam pelukannya kemudian menarik kursi di hadapan. “Kau...sendirian? Di Australia?”

    “Yeah, begitulah. Seperti yang kau lihat,” jawabnya salah tingkah.

    Callum tak terus bertanya. “Jadi...hum, bagaimana pendapatmu tentang restoranku?” tanyanya.

    Marissa bersyukur Callum memilih topik ringan seperti itu alih-alih menanyakan alasannya berada disini sendirian, malam natal, atau topik-topik lain yang sensitif baginya. Bahkan melihat anak-anak kecil yang tengah mengerumuni santa membuatnya frustasi secara literal. Setidaknya belum, tapi nanti pembicaraan mereka pasti akan sampai pada topik tersebut.

    Sang hawa mengerutkan keningnya serta melayangkan pandangan pada sekeliling ruangan, berpura-pura berpikir. “Hmm, pelayanan yang bagus, pramusaji yang ramah dan menyenangkan, dekorasi yang manis, dan makanan yang enak, tentunya.”

    Callum tersenyum puas. “Makanan yang enak, tentu saja. Kau pesan ap—soft puding! Sulit dipercaya kau tidak memesan macaroons-ku.”

    “Macarons?”

    “Yeah, violet macaroons with raspberries and butter cream, tertera di daftar menu. Resep andalanku sejak masih di Masterchef. Akan kuambilkan untukmu,” ujarnya seraya bangkit meninggalkan meja.

    “Tidak usah Cal, aku—“

    “Tiga menit, Marissa.”

    .

    .

    Sesuai janjinya, Callum kembali tiga menit kemudian dengan membawa sepiring dessert mengagumkan dan dua mug besar hot chocolate. Isinya adalah makanan yang tidak dikenali Marissa namun terlihat sangat menggiurkan. Tiga buah makanan berlapis yang sekilas terlihat seperti lapisan burger berwarna ungu dan merah muda. Di sekelilingnya terdapat beberapa buah berry yang masih segar.

    Membusungkan dada dengan satu tangan menyangga piringnya, Callum bersiap memulai introduksi yang penuh gaya. “Meet me, Callum Hann. The dessert king, the master of macaroons,”

    Refleks, Marissa tertawa menyaksikan polah temannya. “Kau membuatku berkhianat, Callum.”

    “Pada apa tepatnya, nona Von Bleicken?”

    “Dietku.”

    Kali ini giliran Callum yang tertawa lepas. Dietmu? Marissa, yang benar saja, kau sedang berada di sebuah ruangan penuh makanan manis, bagaimana mungkin kau masih ingat tentang dietmu? Cobalah,” bujuknya seraya mengangsurkan pisau dan garpu.

    “Kau sangat persuasif, Cal. Aku tak sabar mencobanya.”

    Marissa mulai memotong-motong macaroons dan memasukkan satu ke dalam mulutnya. Rasanya sangat lezat, komposisi rasa manis dan asamnya seimbang. “Callum, aku tak akan heran jika kau digadang sebagai dessert king.”

    Callum mengawasi restorannya sementara Marissa masih sibuk menyantap makanannya. Jam di belakang meja kasir berdentang sepuluh kali, menandakan waktu saat ini. Restoran mulai berangsur sepi, pelanggan-pelanggan mulai meninggalkan restoran. Hanya beberapa meja yang terisi dan beberapa orang lainnya hanya datang untuk mengambil pesanan kue mereka.

    “Kukira restoranmu buka dua puluh empat jam?” tanya Marissa ketika seorang koki pamit pulang setelah memberikan sebuah bingkisan kepada Callum—hadiah Natal.

    Callum menatap bingkisan mungil dalam genggamannya, menerka-nerka apa isinya kemudian memasukannya ke dalam saku. Memutuskan untuk membukanya nanti. “Memang, tapi aku tak mau menyiksa para koki,” jawabnya.

    “Maksudnya?”

    “Well, natal adalah hari yang sakral. Kurasa sebagian koki-kokiku akan lebih senang menghabiskan malam natal di rumah, bersama keluarga, alih-alih di dapur kami dan memasak untuk orang lain.”

    "Lantas, apakah hanya kau saja yang akan tinggal?" tanya Marissa.

    "Well, aku, Max, dan Fiona. Max yahudi sedangkan Fiona..." melirik dapur dengan gugup, kemudian melanjutkan dengan berbisik, "ia baru bercerai dua minggu yang lalu. Merayakan natal sendiri tampaknya bukan, kau tahu, pilihan yang menyenangkan."

    Marissa mengangguk paham, pandangannya tertuju pada koki yang dimaksud. "Kau sendiri, tidak mau natalan dengan keluarga?"

    Callum terkekeh pelan. "Aku? Sayangnya, aku tidak bisa. Diluar sana banyak yang butuh makanan manis dan sedikit kehangatan pada malam seperti ini. Nah, restoranku menyediakannya."

    Marissa menatap sepasang iris abu di hadapannya lekat-lekat. Pemuda ini benar-benar baik dan tulus. Ia mengangguk, mengerti dan kagum kemudian kembali menyantap makanannya dalam diam. Dessert-nya sangat lezat dan kalau boleh, ia ingin memesan satu porsi lagi. Screw her diet, it’s Cristmas eve. Ya, mungkin ia bisa membuat eksepsi khusus malam ini.

    "Marissa, kau seharusnya berada dimana sekarang?" tanya Callum.

    Sang gadis mengangkat wajahnya. "Apa maksudmu?" Ia berlagak pilon, balas bertanya alih-alih menjawab pertanyaan yang ditujukan padanya.

    Callum menghela napas panjang kemudian menghembuskannya. Menimbang-nimbang kata yang tepat digunakan tanpa menyinggung perasaan lawan bicaranya. "Ini malam natal Marissa, dan kau berada disini, di restoranku di Australia, sendirian alih-alih bersama keluargamu di Amerika."

    "............"

    Melihat reaksi Marissa, Callum menggeleng cepat lalu bergegas menarik kata-katanya. "Tidak. Maafkan kelancanganku, seharusnya aku tak perlu"

    "Tidak, Cal, tak apa-apa," sergah Marissa. "Sungguh, jangan merasa tidak enak."

    Sang dara melayangkan pandangannya pada cokelat panas di hadapannya. Asap yang mengepul dari dalamnya memberikan secercah kehangatan pada wajahnya yang jelita. Bayangan mengenai makan malam romantis yang telah direncanakannya bersama Dylan terpeta dengan jelas di benaknya. Aria Restaurant. Mantan kekasihnya itu telah memesan tempat untuk mereka berdua, di tepi lautan, tepat menghadap Sydney Opera House.

    Timbre bariton Callum kembali menyentakkan Marissa pada realita. "Dengar, kalau kau tidak mau cerita, aku tak memaksa. Kita tak perlu membahasnya, kita bisa membicarakan hal lain."

    Marissa menatap biner kelabu sang pemuda lekat-lekat. "Aku... baru putus dengan pacarku, Dylan," ujar Marissa. "Aku sudah mengenalnya sekitar satu tahun dan berencana merayakan natal bersama keluarganya disini. Ternyata ia...hiks...ia punya pacar yang lain. Aku...."

    Callum menatap lawan bicaranya dengan raut prihatin. Ia menyodorkan mug cokelat panas miliknya kepada Marissa. "I'm sorry."

    "Don't be," sergah Marissa. Ia sangat kalut, perasaannya tak karuan dan emosinya sangat fluktuatif. Berbicara tak membuat segalanya lebih mudah, yang muncul malah air terjun di wajahnya. Callum masih bungkam.

    “Kau...pasti menganggapku bodoh. Terbang ke benua lain untuk natalan bersama seseorang yang bahkan tak menganggapku spesial.”

    Callum masih bergeming. Tak punya saran. Ia tak pernah merasa sengsara seperti ini. Hari yang krusial ini biasa dilaluinya bersama keluarga dan kekasihnya. Hanya natal tahun ini saja yang memaksanya berpisah dari sosok-sosok yang ia sayangi. Pandangannya masih terkunci pada gadis di hadapannya. Wajahnya yang cantik kini basah oleh air mata. Kedua matanya yang bulat dan tajam kini sembab.

    Perlahan diraihnya kedua tangan sang gadis, digenggamnya erat-erat seolah dengan begitu ia dapat berbagi kekuatan. Callum menatap bola kaca kembar di hadapannya lekat-lekat, sama sekali bukan tatapan intimidatif. “Kalau kau butuh tempat tinggal, tinggallah disini bersamaku dan koki-kokiku,” ujarnya tulus. “Kutinggal kau dulu, ada beberapa adonan yang harus kusiapkan. Bergabunglah di dapur kami kalau kau sudah tenang.”

    Marissa tersenyum tipis. Kristal kembarnya yang semula terfokus pada alas kakinya kini menatap kristal kembar milik Callum. Bersyukur karena pemuda ini tidak mempersulit situasinya. "Terimakasih Cal, kau baik sekali."
    ***

    Tiga puluh menit sejak waktu yang diberikan Callum dan Marissa telah merasa jauh lebih baik. Entah karena cokelat panas buatan Callum atau mungkin Callum itu sendiri yang telah memberi injeksi mood baik pada dirinya. Hanya ada empat pengunjung selain dirinya, yang lain hanya datang untuk mengambil pesanan kue natal kemudian pergi lagi. Ia layangkan pandangannya pada jam dinding di belakang meja kasir, pukul 11:50.

    Sepuluh menit lagi menuju datangnya hari yang sakral.

    Tidak ingin membuat dirinya merasa lebih nelangsa dari sekarang, Marissa menggerakkan tungkai kembarnya menuju dapur yang ditunjuk Callum. Berbagai peralatan masak mengkilat berjejer disana, tengah dioperasikan oleh tiga orang bercelemek seragam. Aroma cokelat, vanilla, almond, dan segala yang manis menyelam melalui indra penciumannya. Benar-benar menyenangkan.

    “Hei Marissa, sudah merasa oke?” sapa Callum, nyengir. Dua koki lainnya ikut tersenyum.

    Marissa tertawa mendengar diksi asal yang digunakan lawan bicaranya. “Lumayan. Thanks to you, though,” jawabnya. “Jadi... kalian sedang buat apa?”

    “Baked Apples and Pears with Berry Salad and Caramel Sauce.”

    Lagi-lagi, nama makanan yang sulit diingat yang membuat alis Marissa bertaut. Well, that... sounds amazing. Boleh kubantu?”

    Callum berpikir sesaat, memilih-milih pekerjaan apa yang sebaiknya diberikan kepada Marissa. Pekerjaan apa yang resiko salahnya paling sedikit. Pandangannya jatuh pada mangkuk besar berisi adonan setengah jadi. “Kau lihat mangkuk itu? Nah, bisa tolong masukkan sepuluh buah kuning telur ke dalamnya?”

    Marissa mengangguk cepat, meraih mangkuk besar yang dimaksud Callum dan sekeranjang telur ayam. Percobaan pertamanya gagal. Begitu juga tiga telur setelahnya. “Kurasa aku hanya menyia-nyiakan telur ini,” akunya jujur.

    Callum terkekeh geli. “Kau aduk adonan yang ini saja, sampai mengembang,” titahnya seraya mengambil alih pekerjaan Marissa. Tiba-tiba potongan kecil adonan Marissa terlemar dari mangkuknya.

    “Astaga Marissa, apa yang kau lakukan pada adonanku?”

    Sang dara tampak panik, secepat kilat mencabut kabel yang menghubungkan mixer-nya. “M-maaf, rasanya aku juga tak mahir dalam hal itu.”

    Dengan santai Callum meraih mixer dari genggaman Marissa kemudian mengacak-acak surai panjangnya layaknya seorang kakak terhadap adiknya. “Then what are you good at, madame?”

    “...singing?”

    Callum tertawa lagi, kali ini keras-keras. Ia menyalakan kembali mixer di tangannya dan mulai mengaduk adonannya. “Then sing something for us,” ucapnya seraya nyengir boyish.

    Marissa tertawa lagi. “I won’t let you down this time. Promise,” ujarnya sungguh-sungguh. Bertepatan dengan itu, jam berdentang sebanyak dua belas kali. Menandakan bahwa 25 Desember yang ditunggu-tunggu telah sampai. “Well, tapi sebelumnya....” mengerling ke dalam restoran selama sepersekian detik kemudian kembali menatap lawan bicaranya. “Selamat natal, Callum Hann.”


    Jingle bells, jingle bells
    Jingle all the way
    Oh, what fun it is to ride
    In a one horse open sleigh
    Jingle bells, jingle bells
    Jingle all the way
    Oh, what fun it is to ride
    In a one horse open sleigh



    fin

    No comments:

    Post a Comment