Sunday, September 25, 2011

Sembilan Cupcakes Cinta

 Writer's note :
  • Halooooo, ini pelarian dari integral yang super njelimet itu loh hohoho otak gue udah kusut kelamaan ngitung luas sama volume n__n
  • Ini baru belajar karakterisasi dari buklet menulisnya Sitta Karini ihihihi semoga hasilnya bagus
  • Ini juga pendek loh, cuma lima halaman. Gue lagi belajar nulis cerpen yg beneran cerpen, yg ga banyak detailnya, agak kurang sreg sih gue juga, tapi yah.....let me know what you think.
  • Dan ini ada mini posternya, hasil iseng dan frustasi sama matematika sebenarnya hahaha abaikan aja, itu ga ada hubungannya sama cerita. Mereka bule lagian, si Denis sama Mila mah orang Indonesia =)) Models: Erin Heatherton & Matt Caldi (ga nyambung emang).
  • Happy reading! As always, critics would be soooo lovely
  • ................ kembali belajar integral.
 
Sembilan Cupcakes Cinta


 “Masukkan dark cooking chocolate. Kocok lagi, lalu masukkan telur satu per satu sambil dikocok terus hingga lembut.”

Kamila mengernyit, mencoba mengingat satu per satu instruksi yang disampaikan sobatnya. Jemarinya meraih mangkok berisi dark chocolate yang telah dilelehkan dan memasukkannya ke dalam adonan. Setelah berpikir sesaat, gadis itu menyalakan mixer pada kecepatan yang paling tinggi sehingga celemek baby pink-nya yang cute terkena cipratan adonan.

Dengan perasaan gondok, Mila melayangkan pandangan nelangsa pada sahabatnya. “Duuuh, nggak ada yang lebih gampang apa Da? Ini susah banget tau,” rengeknya. Sudah satu jam lebih mereka bereksperimen di dapur rumahnya dan tak satu pun masakannya membuahkan hasil yang memuaskan.

Aida menggeleng tak sabaran. Ia meletakkan kumpulan resep yang sejak tadi digenggamnya dan meneruskan pekerjaan Mila. “Ini udah yang paling gampang Mil, lanjutin dulu aja deh. Ambil resep sama telurnya sini.”

Senyum sumringah merekah di bibir Kamila. “Coba lo bantuin dari tadi, pasti nggak pake ribet kan,” ujar Mila seraya meraih kantung plastik berisi telur dan mengangsurkannya pada Aida.

Aida meledak tertawa. “Siapa juga yang mau bantuin,” ejeknya, mengabaikan kantung plastik di tangan Mila dan mengambil kumpulan resepnya kembali. “Gue cuma bacain resepnya aja, sisanya lo yang kerjain. Ini kan demi cinta lo sama Denis juga.”

“Siapa juga yang cinta sama Denis?” Mila memutar kedua bola matanya dengan gaya dramatis. “Ini demi harga diri, Da, harga diri gue,” tandasnya.

“Harga diri apa harga diri?” tanya Aida dalam intonasi mengejek.

Mila ingin bereaksi tapi ia yakin, mendebat sahabatnya dalam urusan yang menyangkut Denis seperti ini pasti tak akan ada ujungnya sementara ia punya hal lain untuk segera diselesaikan. Yup, cupcakes-nya. Cupcakes yang tengah dibuatnya untuk Denis karena kalah taruhan saat mereka bermain bowling di Plaza Senayan seminggu yang lalu.

“Nggak seru kalau ga ada taruhannya, Mil,” ucap Denis saat itu.

Mila yang gengsian kontan menyetujui ucapan Denis. Mila—yang sedang krisis keuangan karena uang mingguannya sudah dihabiskan untuk belanja baju—meminta Denis untuk nebengin dia pulang selama dua minggu berturut-turut. Sedangkan Denis mau Mila memasak sesuatu yang manis untuknya kalau ia menang. And guess who won the game, it was Denis.

Lucky for him, batin Mila. Sudah gagal dapat tebengan, sekarang malah harus masak padahal jelas-jelas ia paling ga bisa masak. Denis memang paling tahu cara ngerjain orang.

“Udah belum Mil? Ko bengong sih?” seru Aida membuyarkan lamunan Mila.

“Iya iya ini juga sambil dikocok. Kok lu jadi bawel sih?” tanya Mila mengingat sahabatnya itu biasanya lebih kalem dari dirinya sendiri. Makanya ia heran ternyata Aida bisa galak juga kalau urusan masak-memasak begini. “Terus apa lagi nih Da?”

Aida tertawa menanggapi sindiran sahabatnya. Ia mengabaikan pertanyaan Mila yang pertama dan beralih ke pertanyaan selanjutnya. Masukkan terigu, coklat bubuk, dan baking powder. Aduk rata,” titahnya.

Mila mengangguk cepat, memasukkan semua bahan yang disebutkan Aida kemudian mengaduknya.

“Eh ada Aida, udah dari tadi disini Da?”

Aida dan Mila menoleh bersamaan dan mendapati sosok sophisticated Ibu Reiza Anindya, bundanya Mila, tengah berjalan mendekat. Aida tersenyum hangat dan mencium tangan beliau. “Iya Tante, si Mila pengen kursus masak sama Aida katanya,” jawabnya seraya melempar kerlingan jahil pada Mila.

Kedua alis bunda bertaut heran mendapati putrinya mendadak ingin belajar masak padahal selama ini turun ke dapur untuk membantunya saja ogah. “Dalam rangka apa nih, tumben amat?” tanyanya kemudian meletakkan tas tangannya di meja makan dan meneliti adonan Mila dengan cermat. Melihat warna adonan Mila yang tampaknya kurang bagus, bunda menyingsingkan lengan bajunya dan bersiap membantu.

“Dalam rangka pdkt sama Denis Tan, Denis sukanya sama cewek yang jago masak,” jawab Aida.

Mendengar jawaban Aida, bunda mengurungkan niat untuk membantu. Seulas senyum nakal menghiasi wajahnya. “Wah kalau gitu sih bikinnya harus pake cinta Mil, kalau gitu bunda ga jadi bantu ya,” ujarnya jahil. Bunda kembali meraih tas tangannya dan bersiap meninggalkan dapur. “Nanti jangan lupa kenalin Bunda sama Denis ya Mil, kayanya dia ganteng deh.”

“Bunda apaan sih, masa percaya sama Aida?” ujar Mila sewot.

Bunda dan Aida sama-sama tertawa. “Yuk, Tante tinggal dulu ya Aida,” ujarnya sambil berlalu.

Setelah sosok Bunda menghilang dari pandangan, Mila kembali fokus pada adonannya. Semua tahap yang disebutkan Aida telah selesai ia kerjakan. Kini tinggal memasukkan adonan ke dalam oven dan menunggu. Mila melepas celemek dan mengusap keringat di wajahnya.

Aida berkata pelan. “Lo kenapa nggak jadian aja sih Mil sama Denis?”

“Aidaaaaaaaaaaaaa!”
***

Ruang kelas dipenuhi riuh-rendah celotehan para murid yang sedang asyik mengobrol satu sama lain. Di tempat duduknya, Mila sibuk mengeluarkan satu per satu isi tas longchamp-nya. Binder, buku paket matematika, majalah remaja edisi terbaru, parfum, dompet, tempat pensil, ikat rambut, headset—semuanya ada kecuali handphone. “Bener nggak liat Da?” tanyanya cemas.

“Beneran Mil, tadi nggak lo keluarin emang?” Aida bertanya balik.

“Dikeluarin Mil, pas kimia gue pake kalkulatornya, terus pas bio gue taro tas. Tapi sekarang ga ada,” jawab Mila. Memang nggak ada murid—termasuk Mila—yang berani mengeluarkan ponsel pada jam pelajaran Bu Yatmi, guru biologi yang terkenal killer dan senang menyita barang kesayangan para murid tersebut. “Duh, lo ngga ngerjain gue kan?”

“Ya ampun enggalah Mil, gue kan baik.”Aida pura-pura tersinggung. “Coba gue cariin di depan sana deh,” imbuhnya seraya bangkit dari tempat duduk.

Mila masih sibuk mencari tatkala seorang cowok berdeham keras untuk menarik perhatiannya. Mila tahu itu Denis, ia mengabaikannya dan pura-pura tidak dengar.

Sadar aksinya tidak direspon, Denis mencoba manuver lain. “Lagi nyari ini ya Mil?” tanyanya seraya mengunggingkan senyum sok polos. Mila mendongak. Ponselnya berada dalam genggaman Denis.

“Lo tuh ya, sini balikin!”

Dengan gesit, Denis menghindar. “Boleh. Tapi kue gue dulu, gimana?” tawarnya.

Mila melengos kesal. Masa iya dia harus masak dulu untuk mendapatkan ponselnya? Cupcakes yang kemarin saja kurang manis. Lagian kok bisa sih handphone-nya ada di Denis? Jangan-jangan si Denis mantan copen Tanah Abang, batinnya. Mila mengenyakkan tubuhnya di tempat duduk dan memandang Denis dengan raut pasrah. “Kemarin gue udah bikin, Nis. Ternyata kurang manis,” akunya jujur.

Denis pura-pura simpati. “Oh ya? Terus gimana?”

“Balikin handphone gue Nis!” Mila berseru gemas, mengabaikan pertanyaan Denis.

“Santai dulu dong Mil, kita ngobrol-ngobrol dulu aja. Ntar pulangnya gampang gue anterin,” ujarnya sambil nyengir. “Gue tuh ya Mil, sukanya sama cewek yang bisa masak.”

Yeah, so? Lo nggak suka sama gue karena gue nggak bisa masak? batin Mila. Sedikit rasa kesal menghinggapi perasaannya. Masa iya sih Denis menilai cewek dari kemampuannya memasak. Mila kadang berpikir Denis lebih cocok sama Aida daripada dirinya. Denis suka cewek yang pintar masak, Aida pintar masak. Mereka juga sama-sama anggota klub olahraga, Denis atlet renang dan Aida atlet softball. Entah kenapa Denis malah sibuk ngekor Mila melulu.

“Iya iya, ntar gue belajar deh,” jawabnya. “Eh, bukan karena gue mau jadi cewek yang lo suka ya! Ini karena gue udah terlanjur janji aja tau.” Mila buru-buru menambahkan, takut Denis yang mudah geer ini salah paham.

Denis mengulum senyum jahil. “Ya, ya, whatever you say. Dua hari lagi gue ulang taun loh Mil.”

Lag-lagi, Mila tahu apa maksudnya. Denis minta hadiah sekaligus mengingatkan karena takut Mila lupa. Tentu saja ia tidak lupa. Meskipun selalu pasang topeng jutek di hadapan Denis, Mila sebenarnya sudah mempersiapkan hadiah untuk ulang tahun Denis ke-16 yang jatuh pada tanggal 20 September dua hari dari sekarang.

Hadiahnya...rahasia. Tapi mendengar kata-kata Denis barusan, Mila jadi punya rencana lain.

Sekilas senyum puas bermain di bibirnya. Ia memasukkan semua barang ke dalam tas dan bangkit dari duduknya. “Gue inget Nis, tenang aja,” ujarnya kemudian mengambil alih handphone-nya dari genggaman Denis. “Balik dulu ya Nis, ada proyek yang harus dikerjain.”

“Proyek apa?”

“You’ll see,” jawab Mila sambil berlalu.
***

Hari yang telah Mila persiapkan baik-baik pun akhirnya tiba.

“Selamat ulang tahun yang ke-16 ya, Nyis.”

Denis menatap takjub sebuah nampan berisi sembilan cupcakes warna-warni dalam berbagai varian rasa yang kini tersedia di hadapannya. Hadiah ulang tahun dari Kamila Oktarina Sasmita, si princess sok jutek dan nggak bisa masak yang selama ini disukainya.

Demi Denis, Mila rela terjun ke dapur.

Terimakasih sebesar-besarnya Mila haturkan pada bunda yang semalaman menemani dan membantunya memasak. Tentu saja itu tidak gratis, Bunda mau membantu asalkan Mila bersedia menceritakan hubungannya dengan Denis.

“Thanks a lot, Mil,” ujar Denis seraya mengambil satu cupcakes-nya. Enak, rasa coklat yang langsung meleleh di mulut. “Wow, enak banget Mil. Untung ya kita taruhan, kalau engga lo pasti masih ga bisa pegang mixer sampai sekarang,” candanya.

Mendengar pujian tulus Denis, wajah Mila merona merah. Meskipun ia bersikeras bahwa hubungannya dengan Denis tak lebih dari teman, Mila tak bisa mengabaikan percik api di antara mereka. Bahkan saat ini degup jantungnya melebihi batas normal.

“Ini bukan gara-gara taruhan kita kok, Nis.”

Denis angkat alis. “Oh ya? Terus?”

Mila menghela nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya sebelum menjawab. “Gue emang belajar masak gara-gara lo.”

“Lo beneran usaha buat memenuhi kriteria cewek idaman gue ya Mil?” goda Denis.

Mila semakin blushing dibuatnya. Salah banget gue ngomong kaya gitu, batin Mila. Belum sempat ia menyanggah perkataan Denis, cowok itu kembali buka mulut.

Merasa posisinya di atas angin, Denis mengambil sebuah cupcakes lagi dengan gestur sok ganteng. “Kamila... Kamila..., nggak usah usaha juga gue udah suka kok,” jawabnya enteng seraya mengoleskan secuil krim cupcakes rasa vanilla di pipi kanan sang gadis.

***

Sunday, September 18, 2011

Past, Present, and Love

 Writer's note:
  • Oke, first of all, ini sangat berantakan. I repeat, sangat berantakan.
  • Ini sisi lain dari cerpen "Aku suka kamu, Annisa!" yang berada tepat di bawah post ini, cuma lebih nyeritain ke Angga (kakaknya Annis) dan cewenya yang sekarang. Yang ga baca cerita Annis-Bagas mungkin bingung soalnya gue ga terlalu detail jelasinnya di cerita ini, jadi kalau penasaran, baca yang bawah aja ya *promosi*
  • Teruuuus gue juga gatau kenapa dialognya banyak yang pake bahasa Inggris. Terdengar lebih enak aja gitu, bukannya gimana-gimana, I just don't find the right words in Bahasa gitu. Jadi yah, asumsikan mereka memang ngobrol pakai bahasa Inggris atau gimana aja terserah yang baca.
  • Ceritanya, Angga itu mahasiswa fakultas hukum dan Tia-nya Psikologi, sama-sama di Trisakti. Just for information aja, ngga penting juga kok hahaha
  • Special for Caca, maaf ya Fathia-nya bukan model dan Angga-nya bukan mahasiswa teknik kimia hahahaha I know this wont meet your expectations but, asdfghjkl, just read it :D
  • Mini poster & story by myself, Khairunnisa Putri. Visualization: Faye Sampson. Oh my God........... dia cantik ya, cocok banget jadi Fathia <333
  • Happy reading, people! Critics would be lovely

***
 Past, Present, and Love

"Can you prove your love to me?"

"We'll see."
 ***




“Captain America or The Hangover for tonight? And maybe sushi after that?” tanya Anggara pada kekasihnya via telepon.

Sosok di ujung sana terdiam selama beberapa detik sebelum menjawab. “I’ll go with the first choice, lagian Dea udah ngajak nonton The Hangover dan aku bilang iya.”

“And the sushi?”

“Kamu nanya?“ Suara tawa yang merdu berdenting di sana, menciptakan seulas senyum tipis di bibir Angga tatkala suara lembut itu menyelami indra pendengarannya. Kekasihnya berdeham sekali kemudian melanjutkan. “You know I can’t resist that offer. Just take it as a yes. Kamu dimana sih yang? Berisik banget kayaknya.”

Angga melirik arloji di tangannya sebelum menjawab. Waktu menunjukkan pukul empat belas tiga puluh. “Aku di sekolah Annis, disuruh nyokap jemput tapi kayaknya dia—oh itu dia. Udah dulu ya Ti, I’ll pick you up around 5. See ya,” ujarnya seraya menekan tombol merah pada ponselnya. Pandangannya terfokus pada sosok Annis yang ternyata tidak sendiri.

Tawanya pecah ketika retinanya menangkap adegan ala sinetron picisan dimana pelakonnya adalah adik perempuannya sendiri. Ia tersenyum puas melihat Annis akhirnya bersama dengan cowok lain setelah beberapa bulan sebelumnya terus-menerus menjadikan Malik—mantan pacarnya sebagai sumber kegalauan tunggal. Benar-benar khas remaja labil, pikirnya.

Angga memicingkan kedua matanya, mencoba menelaah siapa gerangan sosok yang tengah bersama adiknya. Kemudian senyumnya lenyap dan sorot matanya mendadak memancarkan kebencian tatkala menyadari identitas cowok tersebut yang sesungguhnya. Ia membuka pintu mobil dan berjalan mendekat.

Dengan kasar, ditariknya pergelangan tangan Annis tanpa basa-basi. “Jadi ini cowok baru kamu?” tanyanya dengan nada sarat kebencian. “Cowok brengsek kaya dia ga pantes dapetin cewek kaya kamu Nis,” lanjutnya.

Annis terkejut. “Mas Angga ngomong apa sih? Jangan ngaco ah Mas.”

“Gue ngga ngaco Nis, harusnya lo tanya, siapa cowok ini sebenernya!”

“Ini ada apa sih sebenernya? Bagas? Mas Angga? Annis nggak ngerti apa-apa!”

“Dia udah ngebunuh cewek yang gue sayang.”

Seketika raut wajah Annis memucat. Ia mengalihkan pandangannya yang semula terfokus pada Angga dan beganti menatap Bagas lekat-lekat. Menunggu jawaban. “Bagas, kamu... ini bohong kan?” tanyanya lirih.

Lawan bicaranya hanya terdiam. Angga melempar senyum puas sekaligus menantang. “Udahlah Nis, dia ngga jawab karena emang ga bisa, karena dia ngerasa bersalah, udahlah ayo pulang!” tandasnya seraya menarik paksa adiknya ke dalam mobil.

.

.

“Mas Angga kenapa sih? Ini sebenernya ada apa?”

Angga tak menggubris seruan frustasi adiknya. Pandangannya terkunci pada lalu lintas di hadapannya. Mulutnya tersegel rapat seolah tak ada bunyi apapun yang menggetarkan gendang telinganya.

“Mas jawab Annis, Mas itu siapanya Bagas? Kalian kenal?” tanya Annis lagi.

“Bagas cowok brengsek Nis, lo ga usah deket-deket sama dia lagi.”

“Apa alasannya? Annis gamau nurut gitu aja, tau alesannya aja engga.”

“Itu ga penting Nis!” bentak Angga.

Annis tak gentar. “Itu penting Mas, ini semua ngga make sense. Dia bunuh siapa sih emangnya? Annis ngga percaya.”

Anggara tak menjawab. Selama sekian menit mereka sama-sama terdiam sebelum akhirnya Angga angkat bicara. “Indy. Don't ask me for further explanation. It still hurts.”

***

Bagas Rivaldy.

Orang yang menempati peringkat nomor satu dalam dafar orang-orang yang paling dibenci oleh Anggara Aditama. Orang yang telah merenggut Indiany Chairiza dari kehidupan Angga. Perempuan yang amat dikaguminya sejak dulu. Cantik, pintar, dan bersahabat. Berteman dengan Indy sangat mudah, hingga kian lama rasa kagum itu berubah menjadi rasa sayang, kemudian rasa sayang menjadi cinta yang tak berbalas.

Anggara memejamkan matanya erat. Indy kini telah tiada. Ia telah lama pergi, tepatnya tiga tahun yang lalu. Angga telah beralih—istilahnya, move on. Hanya saja memorinya kembali terkuak ke permukaan tatkala ia kembali dipertemukan dengan Bagas. Terlebih lagi, status Bagas saat ini sepertinya adalah kekasih adik perempuannya, Annisa. Benar atau tidaknya spekulasi itu, Angga tidak tahu peduli. Kekasih atau bukan, Angga telah menyuruh Annis menjauhi Bagas. Ia tidak ingin kejadian yang sama menimpa adik semata wayangnya.

Girls. Inti dari permasalahan klasik yang kini menyelubungi Anggara.

Kemudian sebuah nama terlintas di benaknya.

Fathia!

Dengan terburu-buru ia meraih ponselnya. Sebuah pesan baru dari Fathia telah menantinya. “Hey, it’s 15:08 You know what that means? Anyway, selamat tanggal 15 ya sayang. See ya at 5.”

Alih-alih membalas pesan super manis tersebut, ia meletakan ponselnya tepat di telinga kanan. Sepuluh... dua puluh detik... tak ada suara selain nada sambung. Anggara memutuskan teleponnya dan mengetik sebuah pesan singkat. Setelah sebuah vibrasi menyatakan pesan telah sampai, ia menonaktifkan ponselnya dan kembali mengenyakan diri di tempat tidur. Bersiap untuk menyelami pikirannya dan tenggelam bersama masa lalu.

***

Fathia Rizka Sakina sibuk mematut dirinya di hadapan cermin. Tempat tidurnya dipenuhi berhelai-helai baju yang kini tengah menjadi sumber dilemanya. Hitam, biru, atau merah? Fathia mendesah pelan, berjalan menuju ruang makan untuk mengambil segelas nutrisari dingin. Fathia selalu seperti ini. Selalu. Ia tak pernah tidak bingung dalam memutuskan baju apa yang harus dipakainya saat pergi bersama Angga. Padahal sudah 13 bulan berlalu sejak mereka mulai pacaran.

Acara berpikir sekaligus melamunnya dihentikan oleh nada dering yang membahana dari ponselnya. Tia menghabiskan sisa minumannya dalam satu tegukan lama kemudian kembali ke kamarnya untuk mengecek ponsel.

1 missed call and 1 new message.

Keduanya dari Anggara.

“Sayang, acara hari ini kita cancel dulu aja ya, aku ngga mood kemana-mana. I just met Bagas, he’s with my sister now. Thought you understand how I feel about... everything. Maaf ya sayang, will call you later. Selamat tanggal 15 juga.”

Raut wajah Fathia berubah sendu. Kecewa? Jelas. Bagaimana bisa Angga membatalkan acara mereka begitu saja hanya karena bertemu Bagas? Padahal ia jelas tahu kalau hari ini adalah hari jadi mereka. Bagas. Indy, Indy, dan Indy. Hal itulah yang selalu menjadi akar permasalahan Angga. Ia menghela napas panjang kemudian mengetik pesan balasan untuk Angga.

“That’s it? You just canceled it? You thought I’d understand but truthfully, I don’t. Just call me as soon as possible.”

.

.

Dua puluh menit setelah pesan terkirim, Tia kembali mengecek kotak keluar ponselnya. Sesuai dugaan, pesannya pending. Angga pasti mematikan ponselnya. Dengan perasaan kesal sekaligus kecewa, ia memasukkan kembali baju-bajunya ke dalam lemari kemudian menarik keluar sebuah buku dari laci meja belajarnya.

Buku tahunan.

Sedalam itukah arti Indy di hati Angga? Tia memutar kembali ingatannya ke masa lalu. Sejak dulu ia yang terkenal cantik dan menarik, yang merupakan anak dance di sekolah, yang mempunyai banyak penggemar dari kalangan adam, tak pernah benar-benar di lirik oleh Anggara. Indy, Indy, dan Indy. Sang kapten tim basket putri sekaligus ketua organisasi utama di sekolah mereka-lah yang selalu menjadi pusat perhatian Angga.

Fathia selalu menyukai Angga yang terkenal sebagai atlet sepak bola sekolah sekaligus berotak encer. Ia selalu kagum tatkala melihat kepala sekolah menampilkan piala-piala kejuaraan sepak bola atau pun medali olimpiade kimia yang berhasil diraih Anggara saat upacara di hari Senin. Meskipun begitu, ia tak pernah sekali pun memaksakan keinginannya untuk bersama Angga, terlebih setelah ia tahu bahwa cowok itu telah menjatuhkan pilihannya pada Indy.

Bahkan setelah kepergian Indy, Angga terus-menerus menyalahkan Bagas.

Butuh waktu dua tahun bagi Anggara untuk mengembalikan rasa percayanya pada cinta. Sejak setahun yang lalu, Angga mulai mendekati Tia dan tak lama setelah masa ‘pdkt’, mereka jadian.

Bahkan setelah lamanya waktu yang mereka lalui bersama, setelah Tia tahu bahwa cita-cita Angga yang sesungguhnya adalah menjadi seorang pengacara alih-alih insinyur perminyakan seperti yang selama ini disangkanya, tak jarang Tia merasa bahwa dirinya bukanlah prioritas di hati Angga. Ia selalu merasa dinomorduakan, terlebih karena sikap Angga yang selalu cuek dan sama sekali tidak romantis, berbeda dari kesan yang ditangkap Tia saat melihat Angga bersama Indy.

Ponsel Tia bergetar sekali, mengisyaratkan adanya sebuah pesan baru. Tia membacanya malas-malasan. “Kamu marah? Aku telfon lima menit lagi, aku solat magrib dulu.” Melengos kesal, Tia menutup buku tahunan di pangkuannya dengan keras kemudian meletakkannya di tempat semula. Lampu ponselnya berkedip sekali disusul alunan lagu Maroon 5 yang berjudul Moves Like Jagger yang menggema dari ponselnya.

Tia mengabaikannya. Kalau Angga memang ingin bicara dengannya, ia yakin cowok itu akan menelepon lagi. Maka dari itu, ia menunggu deringan yang kedua. Sesuai dugaan, ponselnya berdering lagi dua menit kemudian. Tia mengangkatnya tanpa bicara apa-apa, menunggu Angga yang memulai konversasi.

“Tia, kamu marah ya?” Angga membuka pembicaraan.

“..............”

Angga bertanya lagi. “Kamu tuh kenapa sih Ti, masa gini-gini aja kamu marah sama aku?”

“Kamu yang kenapa!” balas Tia emosional. “Mau sampai kapan kamu mikirin masalah itu?”

“Kamu pikir aku masih mikirin itu? Terus apa, kamu pikir aku ngga mikirin kamu?”

“For God’s sake, this is our day, Ga!”

“Yeah, so?” tantang Angga. “Doesn’t feel different at all. Come on, it’s just a date.”

Kedua alis Fathia bertaut. Paras cantiknya memancarkan kebingunan. Ia seringkali tak habis pikir dengan jalan pikiran kekasihnya. Ia menghirup oksigen dalam jumlah besar sebelum kembali bicara. “It’s not that I want a date so bad, I just—”

“Just cut it out, Ti. Aku lagi nggak mau berantem sama kamu soal ini. Batalnya acara kita kan bukan hal yang aneh.”

“Aku cuma kecewa sama alesan kamu ngebatalin acara kita, especially at the very last minute. Indy, kan?”

Bahkan dari jarak mereka yang terpisah sekian kilo, Fathia bisa mendengar hembusan nafas Angga di sebrang sana. Terdengar lelah. Fathia tahu, Angga tak ingin beradu mulut lebih lama lagi. “I don’t wanna talk about this,” jawabnya.

“Me either.”

“Aku telfon kamu lagi nanti ya yang? I promise we’ll talk about this.” tanya Angga.

Tia masih kesal, masih ingin bicara panjang lebar dengan Anggara. Tapi toh akhirnya ia mengangguk, meski tentu saja Angga tak akan bisa melihatnya. “Iya,” jawabnya singkat.

“Night Ti, see you tomorrow, and happy 13th months for both of us. I remember, btw,” ujar Angga mengakhiri pembicaraan mereka.

Don’t you know it Ga, when you asked me for a date, I automatically think about what I am gonna wear, what I am gonna do, and else. It’s so frustrating when you canceled it in the very last minute. Especially about the reason why you did, batinnya. “Happy anniversary too my sunshine,” ucapnya lirih.
***

Fathia mengaduk-ngaduk lemon tea-nya dengan pandangan hampa. Niatnya datang ke Spectrum Cafe adalah mencari sedikit kesenangan bersama Deavina, sahabat karibnya. Di benak Fathia, mereka akan mengobrol banyak, saling berbagi gosip, atau membahas kabar mengenai anak kembar Prince William dan Kate Middleton. Realitanya, boro-boro bersenang, Tia malah merasa semakin buruk lantaran Dea mengajak Aufar pacarnya.

Jadilah ia malah menonton adegan sok romantis ala Dea-Aufar.

“Aku keluar bentar ya De, cari angin,” ujar Aufar. Baik Dea maupun Tia tahu bahwa ‘cari angin’ yang dimaksud Aufar adalah merokok. Hanya saja karena Dea dan Tia sama-sama tidak suka asap rokok, Aufar melakukannya di luar jangkauan mereka.

Tia mendengus keras seraya memandang punggung Aufar yang kian menjauh. Akhirnya ia punya waktu berdua saja dengan sahabatnya. Perasaannya sedang tak karuan. Kesal banget sama Angga sekaligus PMS.

Dea menyeruput ice chocolate-nya. “Lo kenapa lagi kenapa sih Ti?”

Dengan enggan, Tia menggeleng halus meskipun ia tahu Dea tak akan percaya begitu saja.

“Angga lagi?” Dea kembali melontarkan pertanyaan retoris. “Jangan galau terus dong Tia, masa calon psikolog kaya gini? Kemarin jadi jalan sama dia?”

“Engga,” jawab Tia. “Dia mendadak ngga bisa.”

“Again?”

Again. Bahkan Dea saja bosan. Ini memang bukan pertama kalinya. Angga seringkali membatalkan acara jalan mereka karena alasan-alasan yang kalau dipikir-pikir lagi tidak jelas.

Dea menghelas nafas panjang dan memfokuskan pandangan intens pada sahabatnya. “I don’t understand how you can stay with him for a long time.”

“Kenapa?”

“Soalnya, dia itu terlalu cuek, terlalu seenaknya, terlalu nggak perhatian, nggak ada romantis-romantisnya sama lo. Kadang gue pikir lo cuma selingkuhannya, pacarnya yang sebenernya itu sepak bola,” tandas Dea.

Fathia menggeleng kuat-kuat. “He’s not that bad, lo melebih-lebihkan apa yang ada.”

“Oh really? Bagian mananya dari kata-kata gue yang salah?” tantang Dea. Melihat sahabatnya tak menjawab, ia melanjutkan. “Di luar sana banyak cowok lain yang lebih baik yang ngejar-ngejar lo. Lo pantes dapetin cowok yang jauuuuh lebih baik dari Angga, yang bisanya ngga cuma bikin lo sengsara. Kenapa sih masih pertahanin Angga?”

“Lo terlalu lebay De, dia cuma batalin janji aja kok, kenapa jadi ngerembet kemana-mana?”

Dea membelalak tak percaya. Kesal karena Fathia terus-menerus menyangkal keadaan yang sebenarnya dan bersikap seolah-olah semuanya akan baik-baik saja. “Jawab aja pertanyaan gue Ti.”

Fathia tertegun. Ia enggan mengakui bahwa kata-kata sahabatnya tersebut sepenuhnya benar. Angga memang cuek, ia selalu menganggap remeh hal-hal yang menurut Tia penting. Angga memang seenaknya, lagi-lagi Dea benar. Ia sering kali membatalkan acara mereka, padahal mereka hanya pergi bareng paling tidak tiga kali dalam sebulan.

Angga memang tidak romantis. Di saat cowok-cowok lain memainkan lagu-lagu romantis untuk pacarnya, Angga malah menganggap hal tersebut ‘sok sweet’. Di saat cowok-cowok lain sibuk mengekspresikan perasaan mereka melalui twitter atau situs jejaring sosial lainnya, Angga menganggapnya norak dan berpendapat bahwa rasa sayang tidak perlu diumbar. Mau tidak mau Tia setuju meskipun sesekali ia ingin diperlakukan seperti gadis-gadis lain.

Sementara perihal tidak perhatian, Tia kurang setuju. Meskipun tidak berlebihan, ia bisa merasakan perhatian Angga padanya meskipun cowok itu jarang sekali menunjukkannya secara eksplisit.

“Gue sayang banget sama dia, De. That’s why,” jawab Tia akhirnya.

Dea mengangguk sekali mendengar jawaban sahabatnya. “I wish he could say the same thing to you. Tapi asal lo tau, sayang bukan satu-satunya hal penting dalam sebuah hubungan.”

Kata-kata Dea berakhir seiring datangnya Aufar dan Angga. Aufar mengambil tempat di sebelah Dea sementara Angga di sebelah Tia. “Kamu darimana Ga? Keliatannya capek.”

Angga mengangguk. “Abis futsal lawan anak-anak HI.”

“Menang?” tanya Tia seraya menyodorkan lemon tea-nya pada Angga. Membuat Dea memutar mata melihat betapa kontrasnya Tia dan Angga.

“Iya, 5-3.” Angga menyeruput minumannya sampai habis kemudian bergumam ‘terimakasih’. Ia menatap Fathia dengan pandangan khusus. Tia mengerti maksudnya. Ia bangkit dari tempat duduknya lalu pamit pada Dea dan Aufar sebelum meninggalkan cafe bersama Angga.

.

.

Tiga menit yang mereka lalui dari cafe hingga mencapai area parkir diisi dengan percakapan ringan seputar permainan futsal Angga dan kuliah Tia hari itu. Angga membukakan pintu depan yaris hitamnya dan mempersilakan Tia masuk tanpa berkata apa-apa. Meskipun dilakukan dengan sangat biasa, Tia selalu menganggap hal tersebut adalah hal romantis. Dari yang ia tahu, Angga hanya membukakan pintu mobil bagi ibunya dan Tia sendiri.

“Do you really wanna talk about this?” Angga memecah kesunyian seraya menyalakan radio di mobilnya.

I don’t, but we need to.”

Angga mengangguk tetapi tidak bicara apa-apa.

“Sampai kapan sih kamu mau mikirin Indy terus?” tanya Tia.

Angga mengangkat bahunya. “She was a part of me.”

“She was or she still is?”

“Bukan itu masalahnya,” kilah Angga. “Dia sekarang sama adek aku Ti, aku cuma khawatir—“

“Masalahnya bukan Annis, Ga!” potong Tia. “It’s the problem between you, Indy, and Bagas. When will you start caring for me?”

“I care for you all the time.”

“Only me? Engga kan Ga, aku ngga mau kita kaya gini terus.”

“We’ll be fine,” sergah Angga.

Tia menggeleng keras. “I’m so not fine right now, not until you stop thinking about Indy and make me your priority.” Egoiskah? batin Tia.

“I already did that. In fact, I’m doing it.”

Keduanya terdiam, tak saling bicara selama beberapa menit. Satu-satunya yang menyelamatkan mereka dari keheningan adalah suara Geisha yang kini tengah melantunkan lagu Cinta dan Benci di radio. Fathia merasa sangat tersindir oleh lirik lagu tersebut.

Angga menginjak rem mobilnya tepat di depan pintu rumah kekasihnya. “You have to believe me,” ucapnya serius.

“Why should I?”

“Because I do really love you,” jawabnya.

Tia menatap kedua mata Angga lekat-lekat sebelum mengangguk dan turun dari mobil. Angga mendengus pelan, lagi-lagi masalah yang menunggu untuk diselesaikan. Pandangannya dilayangkan kepada langit, mendung. Sedetik kemudian tetes-tetes air langit mulai membasahi kaca mobilnya. Setidaknya ia bersyukur, semarah dan sesedih apapun Fathia, kekasihnya itu tetap mengizinkan Angga mengantarnya sampai rumah alih-alih melancarkan aksi “turunin aku” seperti yang biasa dilakukan cewek-cewek lainnya.
***

Angga memasukkan mobilnya di garasi ketika hujan mulai menjadi sangat deras keudian mengenyakan tubuhnya di sofa ruang keluarga. Penat. Ingin sekali ia melakukan apapun yang dapat mengusir rasa penat di otaknya. Fathia dan Indy, dua orang gadis yang spesial baginya. Yang satu pernah menjadi tambatan perasaannya kemudian meninggalkannya untuk selama-lamanya sementara yang satu lagi masih mengisi relung hatinya hingga detik ini.

Ia memang pernah sangat menyayangi Indy. Tak mengerti kah Fathia akan hal itu? Akan masa lalunya? Tidak, mungkin memang ia yang harus belajar mengerti kekasihnya.

Lamunannya terhenti oleh kedatangan Annis yang serba basah kuyup. “Kamu abis ketemuan sama cowok itu? Cowok macam apa yang ngebiarin ceweknya pulang naik taksi, basah kuyup. Bukannya dianterin pulang. Takut?” sembur Angga tanpa basa-basi.

“Bukan urusan Mas,” sergah Annis defensif.

“Oh jelas itu urusan aku, aku ngga mau ade cewek aku satu-satunya main sama pembunuh.”

“Bagas bukan pembunuh!” Annis berang mendengar tuduhan kakaknya.

“Bukan pembunuh? Setelah apa yang dia lakuin sama Indy—“

“Mas keterlaluan! Apa yang terjadi sama Indy itu bukan salah Bagas, Mas tau itu. Mas ngga bisa jadiin Bagas kambing hitam selamanya, buka mata Mas, udah waktunya buat move on!” bentak Annis kemudian meninggalkannya.

Angga terhenyak akan kata-kata Annis. Benar, ia tahu semua yang dikatakan Annis benar. Ia hanya tidak terima, kenapa harus Bagas? Ia memejamkan matanya erat, membiarkan seluruh ingatan masa lalu kembali menghujamnya. Benarkah semuanya salah Bagas? Benarkah kata-kata Fathia bahwa Angga memang belum bisa melupakan Indy?

Kesedihan yang menyelimuti disusul oleh rasa bersalah. Terhadap Annis, terhadap Bagas, dan terutama terhadap Fathia. Gadis yang selama ini selalu ada di sisinya, yang selalu sabar menghadapi tempernya yang tak jelas, yang tidak pernah menuntut terlalu banyak, yang sejujurnya sangat ia sayangi. Bahkan melebihi rasa sayangnya terhadap Indy dulu. Indy hanya bagian dari skenario hidup yang telah digariskan tuhan padanya, Fathia-lah yang penting saat ini.

Gadis yang justru kerap kali ia sakiti.

Man up, Angga.

Ia meraih ponselnya dan menekan nomor Bagas. Satu per satu masalahnya harus diselesaikan.
***

Sudah tiga puluh menit berlalu sejak Anggara dan Bagas duduk bersama di teras rumah Angga. Ia sengaja mengundangnya, banyak yang ingin dibicarakan. Ia telah meminta maaf sebesar-besarnya atas segala kesalahannya pada Bagas selama ini. Angga juga telah memercayakan adik semata wayangnya pada pemuda itu.

Annis datang tepat waktu dan Angga menepuk kursi di sebelahnya, mempersilakan Annis duduk. “Gue tahu Bagas ngga salah,” ujarnya memulai pembicaraan. “Selama ini gue ngga rela, berat ngelepas orang yang gue sayang, ngga ikhlas karena bukan gue melainkan lo yang ngabisin banyak waktu sama Indy di akhir hidupnya.”

“Gue juga minta maaf Ga, mungkin gue emang salah, tapi gue gatau sama sekali soal penyakit Indy,” jawab Bagas.

“Gue percaya, lagian sekarang gue udah sama Fathia, kasian dia kalau gue terus-terusan mikirin masalah Indy. Dan sekarang kan lo calon dokter, jangan ada yang kaya Indy lagi ya?”

Bagas mengangguk sungguh-sungguh. “Gue bakal usaha.”

Anggara tersenyum mendengar janji Bagas. “Dan soal yang satu lagi...” mengerling Annis, “gue percaya sama lo,” tambahnya sambil ngeloyor ke dalam rumah, meninggalkan Annis dan Bagas berdua.

.

.

Jam dinding di kamar Angga menunjukkan pukul sebelas malam. Annis baru saja meninggalkan kamarnya setelah satu jam penuh curhat kepada kakaknya soal Bagas. Bagas baik, Bagas ganteng, Bagas so sweet, dan blablabla lainnya. Setelah mendapat restu dari kakaknya, Annis dan Bagas akhirnya resmi jadian. Angga ikut senang tentu saja, meskipun hal itu tak benar-benar terpancar di wajahnya. “Now it’s your turn to fix things with Kak Tia,” ujar Annis padanya.

Delapan pesan yang dikirimnya kepada Fathia tidak dibalas. Teleponnya diabaikan. Angga nyaris frustasi. Ia menelepon Dea dan menurut Dea, Tia ada di rumah. Kesal dan sakit perut karena Angga sekaligus sindrom bulanannya. Ia bangkit dari kamarnya dan berjalan menuju dapur, berinisiatif membawakan sesuatu yang mungkin Fathia suka kemudian mengemudikan mobil menuju rumah kekasihnya.

Sesampainya disana, yang ditemui Angga hanya Pak Wawan, satpam rumah Tia yang tengah berjaga dengan keadaan mengantuk. “Bisa panggilin Fathia ngga Pak?” tanya Angga.

“Waduh Dek, jangan saya. Nanti saya dimarahin sama Pak Hadi kalau manggilin neng Tia jam segini. Adek aja yang panggil pake hp, punya hp kan?”

Angga melengos malas. “Punya sih punya Pak, tapi daritadi telfon saya didiemin.”

Pak Wawan tertawa mengejek. “Ecieeee adek lagi berantem ya sama neng Tia? Jangan lama-lama kalo berantem, pan sayang neng Tia mah cantik, baik lagi.”

“Iya Pak, ini juga maunya baikan,” jawab Angga seraya mengeluarkan ponsel dari kantung celana jeans-nya. Di luar dugaan, Fathia menelepon. “Wah, pas banget, gumamnya.

“Ga, I need to talk to you,” ujar Fathia langsung.

“Me too, you go first,” ujar Angga.

Fathia menghela napas panjang sebelum memulai pembicaraan. “I was thinking about... how if we’re done here, now?”

“...Maksud kamu putus?”

“Sort of.”

Hening.

“Aku ngga mau kaya gini terus, Ga. It’s already hard to be the second on your life, and I don’t want to remain like this forever,” lanjut Tia.

“Kamu—are you really gonna do this?” Angga bertanya tak percaya.

“You wanted this first! You can’t get over your past, I just, you know. So, yeah.”

“Well, then we’re officially off now,” jawab Angga.

“........................”

Fathia sedang berusaha menelaah apakah saat ini status mereka masih sepasang kekasih atau bukan sebelum Angga kembali bicara. “Can we please talk about this first? Look over your window.”

Tia patuh, ia menyingkap gorden yang menyelubungi jendelanya dan menangkap sosok Angga tengah berdiri di halamannya dengan sebelah tangan memegang ponsel. Seketika jantungnya berdegup tak karuan. Alasannya memutuskan hubungan mereka via telepon adalah karena ia tak kuasa menatap langsung wajah kekasihnya tatkala mengucapkan kata-kata putus. Oh, sekarang mantan kekasihnya.

Ia memutuskan pembicaraan via telepon, meraih cardigannya, kemudian menghampiri Angga yang masih menunggu.

.

.

“Kamu salah soal prioritas itu. You’re already my priority since a long time ago—beside family, of course,” ujar Angga.

“What about Indy?”

“Why don’t you just believe?”

“Because I want everything to be crystal clear,” tandasnya.

Angga menghela nafas dalam-dalam sebelum mulai menjawab. “Fathia, aku memang sayang sama Indy, tapi itu dulu. I live in my present, not my past.”

“And your present is....”

“You.”

Tia memejamkan matanya erat-erat. Ingin percaya. Ia sungguh ingin percaya pada kata-kata Angga. Sesungguhnya, ia memang percaya. “I... isn’t it too late that you said it just now? I mean, we’re already off.”

“What if I want us to be back again?” tanya Angga.

“Now?”

“Right now.”

Fathia membelalak tak percaya. “So, we’ll be couple again?”

“We are. Just don’t expect me to be that one guy we watched on the movies.”

Keduanya tertawa lepas. Angga menggenggam kedua tangan Fathia dengan satu tangannya. Tia yang menyadari hal itu melempar pandang pada lengan Angga yang bebas. Tidak, tidak bebas. Tangannya yang satu lagi tengah memegang sesuatu.

“Kamu bawa apa Ga?” tanyanya.

“Oh, ini. Cuma roti coklat sama susu panas. Kata Dea kamu lagi bete dan sakit perut karena... dapet,” ujar Anggara malu-malu. “Thought you might like it,” lanjutnya.

Mendadak Tia memeluk Angga dan berbisik, “I love you just the way you are, Anggara. Always do.”

Angga menyambut pelukan kekasihnya, menariknya dan mendekapnya lebih erat seraya berjanji dalam hati bahwa ia tak akan pernah menyia-nyiakan Fathia untuk masa lalunya lagi. Untuk apapun. Ia akan menjaga gadis ini sebaik mungkin. Angga yakin pilihannya kali ini tepat. Fathia-lah masa kini dan masa depannya. 

***