Wednesday, December 21, 2011

Ashmina

  • Dear readers, sorry for the lack of updates. Getting busy with current life and got no passion to start writing. My thoughts are so full of things, including ideas, but I just can't write them down into good stories. Hhhhh. You don't know how random my feelings really are -___-
  • This is an old story, I wrote it about 3 months ago and... well, enjoy. Been thinking about some new stories though.
  • Hope you will enjoy it. Critics would always be lovely <3

Ashmina

KRIIIIING!
Suara bel yang menandakan berakhirnya pelajaran hari ini membangkitkan kembali semangat murid-murid yang sempat hilang saking bosannya mendengar ocehan panjang lebar Pak Agus mengenai peradaban kuno. Guru senior yang satu itu benar-benar tahu cara jitu meninabobokan murid-muridnya. “Jangan lupa remedial sejarah hari Jumat setelah salat Jumat. Saya nggak mau lihat nilai di bawah lima lagi, terutama kamu Ashmina!” serunya pada seisi kelas sesaat sebelum meninggalkan ruangan.
Ashmina, Ashmina, Ashmina! Yang dimaksud hanya menggeleng ogah-ogahan. Kesal karena Pak Agus dengan seenak jidat menyindindirnya di depan kelas dan kesal karena Pak Agus melisankan nama lengkapnya. Ashmina. Selama lima belas tahun hidupnya, Mina tak pernah sekali pun menyukai namanya. Pernah sekali waktu ia mengetik namanya di sebuah search engine dan yang muncul adalah nama-nama perempuan dari Nepal. Ia sama sekali tak bangga akan hal itu.
Mina merasa namanya terkesan sangat kampungan, apalagi jika dibandingkan dengan nama teman-temannya. Mina sering kali bertanya mengapa bunda memberinya nama yang terdengar begitu aneh sedangkan nama kedua kakaknya normal, malah cenderung bagus—Dania dan Anggara. Namun, bunda tidak pernah benar-benar menggubrisnya.
“Eh Sarimin, gue pinjem catetan biologi lu ya, lengkap abis nih,” seru Leo, teman sekelasnya.
Nah, yang begini ini yang ia tidak suka. Mina hanya  memutar bola matanya. Gerah. Sarimin hanya satu dari banyak panggilan yang diberikan teman-temannya. Mulai dari Sarimin yang terkenal sebagai monyet, Amin yang namanya sama dengan tukang fotocopy sekolah, Mimin, sampai Minah yang kesannya pembantu banget.
Karena tidak direspon lawan bicaranya, Leo berkoar lagi. “Woy Sarimin! Boleh ngga nih gue pinjem buku lo?”
“Nama gue Mina!” sergah Mina, emosi. Leo hanya memasang wajah pura-pura takut, menyelipkan buku catatan Mina ke dalam tasnya kemudian bergabung dengan kumpulan cowok-cowok yang sedang asyik bermain kartu. Mina benar-benar senewen dibuatnya. Seenaknya saja ganti-ganti nama orang, Leo nggak tahu apa kalau Mina setengah mati pengen ganti nama?
“Jangan sewot gitu napa Min?” Kassandra mengambil tempat duduk di sisi Mina. Sekilas senyum jahil bermain di bibir Sandra tatkala melihat sahabat karibnya sibuk misuh-misuh sendiri.
“Leo yang nyebelin, San!” kilah Mina.
Sandra mengibaskan tangannya, “Really? Menurut gue, lo yang terlalu sensitif,” balas Sandra. “Come on Min, mau sampai kapan sih lo mempermasalahkan nama lo? It’s no big deal at all!” tandasnya.
Mendengar komentar Sandra, kontan emosi Mina terpancing. Intonasinya naik tatkala ia bicara pada Sandra. “Oh, jelas aja. No big deal karena nama lo bagus kan, Kassandra?” Tentu saja Sandra nggak ngerti, namanya bagus. Sangat jauh dari kesan kampungan. Belum sempat Sandra menanggapi ucapan Mina, suara lain datang menginterupsi perdebatan mereka—Lilian.
“Minah, ntar tugas kimia kita gue kirim ke e-mail lo aja ya, paling ntar malem,” ujarnya sambil lalu.
Mina sudah akan bangkit dan membentak Lilian kalau saja tangan Sandra tidak menahannya. Detik berikutnya Lilian sudah keburu pergi tanpa menunggu jawaban Mina. Dengan suara sarat kemarahan, Mina menatap Sandra lekat-lekat. “Lo liat kan?”
Sandra menggeleng cepat, melempar pandangan skeptis seolah tingkah Mina benar-benar konyol. “Mau nama lo Inem, atau Juliet, atau Indah, lo bakal tetep lo kan Min? Ini tuh omong kosong!” tukasnya.
Mina bergeming selama beberapa detik kemudian dengan kasar melepaskan cengkraman Sandra pada pergelangan tangan kirinya. “Sampai kapan juga lo ga akan ngerti, San!” Mina menyandang tasnya dan melangkah keluar kelas. Meninggalkan Sandra yang tampak tak habis pikir dengan kelakuannya. What’s in a name, Min? Shakespeare aja bilang gitu, batin Sandra.
***

Sesampainya di rumah Mina menghempaskan tubuhnya di sofa terdekat di ruang tamunya. Lelah lahir batin. Lelah karena sekolah yang menyebabkan kelelahan lahir dan lelah karena pertengkaran-pertengkaran yang berkaitan dengan batinnya. Semuanya dilatarbelakangi oleh namanya yang konyol dan memalukan. Ashmina, diucapkan berkali-kali pun tak akan berpengaruh apapun kecuali membuat Mina semakin tak menyukainya. Hanya Ashmina saja, tak ada nama belakang apalagi nama tengah.
Kekesalannya pada Sandra jauh lebih besar dari yang ditunjukkannya pada perdebatan mereka tadi. Meskipun bersahabat, bisa dibilang Mina dan Sandra berbeda kasta. Sandra yang cantik, populer, dan kaya raya sementara Mina hanya anak dari pengusaha catering rumahan yang namanya biasa disamakan dengan nama pembantu. Mina sendiri tak yakin apakah ia iri pada nama Sandra yang terdengar lumayan classy atau iri pada sosok Sandra sendiri.
Ia mengerling ruang keluarga. Retinanya menangkap sosok bunda dan Dania, kakak perempuannya, sedang asyik membahas resep-resep baru yang akan diterapkan pada usaha catering bunda. Melihat suasana hati bunda yang sedang baik, Mina berinisiatif mengangkat topik yang sebisa mungkin selalu dihindari bunda: namanya. Setelah Dania menghilang dari pandangannya, Mina bergegas mendekati bunda yang masih sibuk membaca.
“Buuuun,” rajuknya.
Bunda tersenyum mendengar intonasi manja yang digunakan putrinya. Tanpa mengangkat kepala dari pekerjaannya, bunda bertanya lembut, “Ada apa sayang?”
Selama sesaat Mina berpikir untuk mengurungkan niatnya. Mina yakin, begitu ia mulai membuka pembicaraan, mood bunda yang sedang baik ini akan segera rusak. Ia menggeleng sekali, mengenyahkan pikiran tersebut. “Kenapa sih Mina dikasih nama Ashmina?”
Bunda tak lantas menjawab. Awalnya Mina pikir bunda tak benar-benar mendengarkannya tapi kemudian bunda menyingkirkan buku-buku resep dari hadapannya dan menghela napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Kenapa Mina nanya ini lagi? Bukankah bunda sudah bilang berkali-kali kalau Ashmina itu nama yang bagus?” Bunda balas bertanya.
“Tapi Bun, bagus itu menurut Bunda. Menurut orang lain nggak gitu, menurut Mina ngga gitu!” jawab Mina, masih berusaha menjaga kesopanan dalam nada bicaranya.
Sebelah alis bunda melesat naik selama sepersekian detik sebelum kemudian menanggapi dengan santai, “Masa? Siapa yang bilang?”. Intonasinya membuat Mina semakin sewot.
“Banyak Bun! Leo bilang kaya Sarimin, monyet yang suka pergi ke pasar. Lili panggil aku Minah, memangnya aku pembantu?” Mina menjawab tak sabar. Dengan sorot mata menantang, ia menatap bunda lekat-lekat. Bersiap melontarkan sanggahan atas pembelaan-pembelaan Bunda.
“Mereka sirik sayang, Mina itu nama yang sangat bagus.”
Lagi-lagi, jawaban klise yang keluar dari mulut bunda. Benar-benar membuatnya semakin kesal apalagi diucapkan oleh bunda dalam cara yang santai. Bagaimana mungkin bunda bisa begitu tenang sementara dirinya sudah terbawa emosi? Kesal karena pembawaan bunda yang begitu in control dan terkesan tidak serius, Mina bicara lagi. “Bunda bilang gitu karena Mina anak Bunda kan? Bunda juga tahu kan kalau Mina itu nama yang jelek dan malu-maluin?!” tukasnya.
Mendengar tuduhan asal putrinya, Bunda terkejut. Belia menggeleng lembut sebelum menjawab. “Nggak gitu Mina, bunda bilang begitu karena memang—“
Udah deh, Bun,” sergah Mina. “Dalam bahasa Jawa Mina itu artinya ikan Bun, ikan! Nama itu doa kan Bun? Orang tua mana yang ngasih nama anaknya ikan? Ngga ada, mereka semua ngasih nama yang bagus untuk anak-anaknya. Bahkan nama Kak Dania dan Kak Angga bagus, kenapa cuma Mina yang namanya kampungan?!” cerocos Mina panjang lebar.
Bunda tidak berkata apa-apa, terlalu terkejut akibat dibombardir pertanyaan oleh putrinya. Tatapan matanya berubah sendu dan butir-butir air mata mulai menggenangi pelupuknya. Bunda tak mengerti jalan pikiran putri bungsunya. Tak ada yang salah dengan nama kamu, Nak, batin bunda. “Lantas kamu mau Bunda melakukan apa sayang?” tanyanya lirih.
“Ganti nama kek, apa kek, akte kelahiran bisa dibuat lagi kan?! Mina capek Bun jadi bahan ejekan temen-temen!” tandasnya. Bersamaan dengan kata-kata tersebut, Mina bergegas naik ke kamar. Meninggalkan bunda yang hanya bisa mengelus dada akibat perkataannya.
***

 Jam dinding di kamarnya menunjukkan pukul delapan tiga puluh. Siswa-siswi kelas sepuluh dan sebelas hari ini masuk jam sepuluh karena murid-murid kelas tiga sedang melaksanakan try out tingkat kota. Mina telah siap dengan seragamnya meskipun waktu sekolah masih sembilan puluh menit lagi. Setelah mematut diri di cermin, Mina bergegas turun untuk sarapan.
Kening Mina berkerut heran tatkala menemukan udara kosong di bawah tutup saji meja makan. Bunda nggak masak adalah fenomena langka yang hanya terjadi beberapa kali dalam sebulan. Penasaran, tungkai kembarnya dilangkahkan ke dapur. Alih-alih nasi goreng atau sandwich, yang ditemuinya hanya semangkuk bubur. Bukan bubur ayam biasa melainkan bubur yang dikenal Mina sebagai bubur merah putih. Ia mencoba menelaah maksud bunda menyediakan jenis masakan yang jelas-jelas tidak umum itu.
Terkesiap, Mina mengambil tiga langkah mundur. Bubur merah putih biasanya dibuat jika ada yang hendak mengganti nama. Ia mengerti maksudnya. Ia bergegas meninggalkan dapur untuk mencari bunda.
Dania menahannya. “Mau kemana kamu?” tanyanya.
Mina berdecak sebal. “Cari Bunda.”
“Sini, ikut aku dulu,” ujar Dania seraya menggiring Mina ke kamarnya. Dania membuka laci tempatnya menyimpan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan urusan kantor. Diraihnya sebuah amplop panjang yang tampak lusuh, kemudian ia serahkan kepada adiknya. “Baca ini dulu sebelum marah-marah sama Bunda,” titahnya.
Mina patuh dan menerima surat tersebut. Dania sama keras kepalanya dengan dirinya sendiri, melawan kakaknya hanya akan menambah rasa pusing di kepala. Ia membuka surat tersebut dengan sangat perlahan. Kertasnya yang terlihat rapuh membuat Mina yakin bahwa sedikit tarikan saja dapat membuat kertas itu sobek. Ia membaca tulisan tangan yang tertera pada surat tersebut. Ketika matanya telah sampai di akhir paragraf, setetes air mata jatuh dan membasahi kertas dalam genggamannya.
Surat itu berisi cerita mendiang ayahnya ketika menempuh ibadah haji lima belas tahun yang lalu, dialamatkan kepada bunda. Kala itu ayahnya sedang bermalam di terowongan Mina. “Mina adalah tempat yang sangat indah, tak peduli berapa juta orang yang sedang berada disini, aku tetap menganggapnya indah. Maukah kau menamakan putri kita dengan nama Mina? Aku akan sangat bahagia,” tulisnya.
“Surat itu ditulis dua hari sebelum ayah meninggal, dikirim melalui paket pesan super kilat dan sampai disini seminggu setelah ayah meninggal. Singkatnya, itu permintaan terakhir Ayah,” jelas Dania.
Hati Mina mencelos, ia benar-benar tertegun. bunda begitu mencintai ayah, ayah sangat menyukai nama Mina, dan Mina sendiri membencinya. Marah-marah ingin ganti nama dan membuat bunda sakit hati. Dadanya terasa sesak, bukan karena kamar Dania minim oksigen melainkan oleh penyesalan. Mina merasa sangat tidak bersyukur. Namanya bukan tidak berarti, tapi sangat berarti, terutama bagi bunda dan almarhum ayah.
Mina menghapus jejak tangisan pada wajahnya dan bergegas meninggalkan kamar Dania. Tujuannya? Kamar bunda. Ia akan memeluk bunda, minta maaf, dan meminta bunda menggagalkan rencana pergantian nama yang sedang dipersiapkan. Ia menyukai nama Ashmina apa adanya.
***

Monday, December 5, 2011

Kaleidoskop & Cakrawala Biru

  • Well, I should be studying physics & history right now but I just can't wait until the end of the exam week to blog. My books just came about two hours ago!
  • So, let me introduce you to my new babies; Menari & Lagu Pilihan.


  • Buku kumpulan cerpen gitu, isinya cerpen2 yg hasil seleksi #11projects11days di Nulisbuku.com. Di dua buku ini ada dua tulisan gue, di lagu pilihan judulnya Kaleidoskop sementara di Menari judulnya Cakrawala Biru.
  • They aren't my best stories, though. Somehow, I don't even like them. It's just... well, read it yourself and drop me some feedbacks :)
  • Oh ya, buat yg mau order bukunya bisa email ke admin@nulisbuku.com; check 'em out here Lagu Pilihan & Menari
 
Kaleidoskop
Oleh: Khairunnisa Putri Kanhida
Soundtrack: Arti Sahabat – Nidji

.
.

Prom Night.
Acara yang selalu diimpi-impikan oleh mayoritas siswa perempuan. Ajang dimana semua orang bisa tampil total di depan khayalayak, berdansa semalaman, tertawa-tawa bersama, serta bernostalgia mengenai masa SMA mereka.
Arlita dan semua orang di ballroom dengan dekorasi ekstravagan itu bertepuk tangan tatkala sebuah video dokumenter yang merangkum tiga tahun kebersamaan mereka selesai diputar. Senyum penuh makna menghiasi paras cantiknya. Disusul dengan air mata yang mulai berkumpul di pelupuk matanya.
“Hei, jangan jadi mellow gitu dong,” goda Leo seraya menyikut pelan rusuk Arlita.
Refleks, wajahnya merona, merah, sangat serasi dengan mini dress yang kini tengah melekat sempurna pada tubuhnya. “Gimana nggak mellow, itu sedih banget tau, kamu aja tuh yang ga sensitif.”
Leo tergelak halus. “Iya sih, tapi kan prom night itu waktunya have fun, masa kamu malah nangis gitu? Nanti dikira orang aku yang nangisin kamu,” ujarnya sambil mengacak halus rambut pacarnya.
Lita sontak mundur. “Hei! Jangan acak-acak rambut aku! Aku dua jam penuh di salon cuma untuk ini,” sergahnya cepat.
Have fun, Lit, have fun.” Leo mengingatkan. “Mending kita dansa aja yuk,” imbuhnya tatkala tembang lembut milik Christian Bautista, Since I Found You, mulai mengalun.
Tanpa menunggu jawaban, cowok itu menarik Lita dalam pelukannya dan mulai bergerak mengikuti irama. Arlita tersenyum geli, meletakkan kedua tangan di bahu pasangannya. Ia memutuskan untuk mengikuti anjuran Leo, have fun.
“Seandainya kita punya waktu lebih banyak ya Lit,” ujar Leo di tengah dansa mereka.
Lita tertegun. “Maksud kamu?”
“Yaaa, seandainya kita jadian lebih cepat, supaya nggak cepat berakhir kaya gini.”
“Leo! Kamu ngomong kaya kita mau putus besok!” Lita sontak menghentikan gerakannya. Bingung dengan ucapan Leo yang mendadak ngawur.
Masih dalam gestur tenang yang sama, Leo menarik Lita untuk kembali berdansa. “Kita nggak akan putus besok, nggak juga nanti,” jawabnya mantap.
“Terus?”
“Nanti kan kita udah nggak di SMA lagi, Lit. Do you think everything will be exactly the same?” Leo bertanya balik.
Lita terhenyak pelan. Ia tahu semuanya tak akan pernah sama lagi. Dan mengingat pepatah bahwa masa SMA adalah masa-masa paling indah, ia sangsi bahwa hubungannya bersama Leo di masa depan bisa lebih indah dari saat ini. “Aku nggak akan berubah,” jawabnya pelan.
Leo tertawa tanpa menghentikan gerakannya. Seulas senyum tipis bermain di wajahnya tatkala mendengar janji naif yang terlontar dari bibir kekasihnya. “Tapi aku iya, sayang.”
Lita tak menjawab. Pandangannya jatuh pada corsage merah kecoklatan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Kemudian sosok seorang gadis dalam balutan dress biru langit menarik atensinya.
Nantya Rahmania, sahabatnya. Atau mungkin, mantan sahabat? Arlita mendadak pusing ketika sejumlah besar ingatan manis membombardir pikirannya. Ingatan akan persahabatannya dengan si kapten cheers tersebut.
Persahabatan itu dulu begitu menyenangkan. Persahabatan dimana mereka saling berbagi cerita, saling menghibur, menangis bersama, juga menertawakan orang lain yang bukan inner circle mereka.
Ikatan itu putus hanya karena masalah sepele. Cowok. Andai saja kala itu mereka tak mementingkan ego masing-masing.
Kata-kata Leo sebelumnya menyentil nurani Lita. Semuanya tak akan sama lagi. Mereka akan berubah dan menjadi dewasa. Dan Lita tak ingin jadi dewasa dalam keadaan seperti ini.
Ini adalah kesempatan terakhirnya untuk memperbaiki keadaan.
Tiba-tiba ia melepaskan diri dari pelukan Leo, membuat cowok itu terkejut selama beberapa detik. “Leo, kamu nggak keberatan kan sendiri dulu, sebentar aja, aku ada urusan.”
“Ap—“
“Lima belas menit,” potong Lita tanpa memberi kesempatan bagi Leo untuk menjawab kemudian bergegas menghampiri Nantya.
“Nan,” sapanya pelan, ragu.
Kening Nantya berkerut penuh tanya. Mereka sudah tak saling bicara selama lebih dari enam bulan.
Lita menghela nafas panjang sebelum mulai berkata. Seketika kilasan singkat akan persahabatan mereka memenuhi memorinya. “Maafin salah gue selama ini ya, Nan. Kita masih bisa sahabatan lagi, kan? Bisa kaya dulu lagi kan?”
Nantya melongo. Kaget tiba-tiba ditembak langsung seperti ini. Apalagi Lita nyerocos terus. “Gue nggak ngerti, kenapa tiba-tiba?”
“Nggak tiba-tiba, gue udah lama mau ngomong ini sama lo. Tapi gue ga pernah berani,” akunya jujur. “Leo bilang, semuanya nggak akan sama lama selepas SMA. Termasuk gue sama lo.”
“Lantas?”
“Gue nggak mau kita kaya gini terus Nan, lo tetap sahabat gue. Walaupun nantinya kita bakal berubah, bakal tambah dewasa, gue mau kita dewasa bareng-bareng. Apa lo betah musuhan terus kaya gini?”
Nantya terhenyak pelan. Pandangannya menerawang menatap kerlip lampu di langit-langit. “Is it what you really want? A friendship with me?”
“Ya, a pure and unconditional one.” Lita mengangguk mantap. Hanya sebuah persahabatan yang tulus, tanpa batas, dan tanpa syarat.
 “Nantya, gue cuma mau kita sahabatan lagi. Sahabat itu... sangat penting buat gue,” imbuhnya seraya tersipu malu. Jarang-jarang ia ngomong sentimentil seperti ini.
“Buat gue juga, kok,” imbuh Nantya perlahan.
So... bestfriend again
Nantya tersenyum tulus, menarik sahabatnya ke dalam pelukan yang hangat. “Nanti lo harus cerita semuanya ya, semua yang lo alamin selama enam bulan terakhir.”
“OK,” sahut Lita ceria. “Tapi sebelumnya, ada yang harus kita lakuin dulu.”
Sebelum Nantya sempat merespon, Lita keburu menariknya ke depan. Tempat para penyanyi dan pengisi acara berkumpul. “Mas Indra, habis ini tolong puter lagunya Nidji yang Arti Sahabat ya.”

***


 
Cakrawala Biru

“Nay! Lihat sini deh, banyak penyu!”
Naira menoleh. Seulas senyum samar tersungging di bibir pinkish-nya. Ia tak bergerak sedikit pun dari posisinya saat ini. Tak ada juga niatan untuk balik berteriak. Suasana hatinya terlalu buruk. Bahkan penyu tak terdengar menarik sama sekali.
“Nggak mau kesini, Nay? Bagus banget, kamu pasti suka!” Abi berseru lagi.
Lagi-lagi, hanya seulas senyum tipis yang mampu ia lontarkan. Kali ini disertai sebuah gelengan. Selama tiga detik pemuda itu tampak bingung. Wajah polosnya penuh tanda tanya di bawah sinar mentari pagi. Kemudian ia tersenyum jenaka dan kembali sibuk bermain dengan penyu.
Naira menghela nafas panjang, membiarkan oksigen memenuhi rongga paru-parunya. Sepasang iris hitam itu memandang kaki langit yang terbentang luas di hadapannya. Cakrawala, tempat bertemunya langit dan bumi. Ia ingin berteriak sekedar untuk melepas penat yang hinggap di benaknya. Ia sudah akan berteriak sekeras-kerasnya kalau saja tak ada Abi di sisi lain pantai. Kalau perlu sampai pita suaranya putus.
Dia bisa nari? Nggak salah? tanya Arina, sahabat karibnya, saat pertama kali Naira memperkenalkan Abimanyu sebagai pacarnya. Naira tak akan lupa pada tatapan skeptis yang ia terima kala itu. Juga nada bicara Arina yang naik seoktaf lebih tinggi ketika melisankannya, seolah Naira baru saja mengambil keputusan terburuk seumur hidupnya.
Ia tak pernah berhenti bertanya-tanya. Apa salahnya menjadi seorang penari? Naira adalah seorang penari. Ia piawai membawakan tari pendet, tari jaipong, tari gambyong, bahkan juga jenis-jenis tari internasional macam waltz dan salsa. Abi juga seorang penari.
Sebuah similaritas yang menjadikan semuanya terasa salah di mata orang lain.
Tanpa terasa, Abi telah berdiri di belakangnya. Dengan amat lembut meletakkan sebelah tangannya di pundak kiri Naira. “Kamu nggak apa-apa?” tanyanya penuh perhatian.
Naira tersenyum lagi. Sampai-sampai ia sendiri merasa otot bibirnya kram saking seringnya tersenyum tanpa bicara. “Aku nggak apa-apa, Bi.” Suaranya agak parau saat menjawab.
Sorot mata Abi memancarkan kecemasan. “Bener nggak apa-apa? Kamu diem aja, biasanya cerewet. Kalau kamu sakit, kita pulang aja.”
“Jangan!” sergah Naira cepat. Abi sudah mengikhlaskan hari Minggu yang seharusnya digunakan untuk nyicil tugas kuliah sekedar untuk mengembalikan mood Naira yang belakangan ini tampak kurang baik. Naira merasa tidak enak karena sejak tadi malah nyuekin Abi. “Aku nggak sakit kok, beneran, suer.”
Kening Abi berkerut tak yakin. “Bener ya nggak kenapa-kenapa? Yaudah kita turun yuk,” ajaknya seraya merangkul Naira dan membawanya berjalan menuju garis pantai.
“Penyunya lucu banget!” pekik Naira girang tatkala melihat seekor penyu terdampar di tepi pantai. Dengan sigap ia mulai menggulung celana jeans-nya.
“Makanya daritadi aku panggil kamu, eh kamunya ngelamun aja,” sindir Abi halus. “Kamu mikirin apa sih, Nay? Cowok lain?”
Naira tergelak halus. Abi kalau lagi cemburu memang paling bikin gemes. “Aku mikirin kamu kok, Bi,” jawabnya kalem. Jujur.
“Ah masa? Aku nggak percaya,” balas Abi tanpa menatap Naira. Pandangannya kini terfokus pada penyu-penyu lain yang mulai mendekat.
Naira tertegun sesaat. Mengapa Arina dan Ghea begitu kontra terhadap hubungannya dengan Abi? Tak ada yang salah dengan pemuda ini.
“Itu nggak cowok banget, Nay. Mending kalau dance-nya breakdance atau shuffle dance. Tapi waltz? Yang bener aja!” seru Ghea dengan gaya super dramatis kala itu. Yang benar saja, menurut Naira, Ghea terlalu banyak nonton sinetron.
“Kamu nari deh,” ujar Abi pelan namun seketika membuyarkan lamunan Naira.
“Na...ri?”
Abi mengangguk mantap. Jemarinya sibuk mengembalikan penyu ke habitat asalnya. “Iya. Kalau kamu ada masalah, pelampiasannya sama nari aja. Itu kan hobi kamu, positif lagi.” Atensinya kini terfokus pada Naira sepenuhnya.
“Disini?” tanya Naira tak percaya.
“Iyalah, mau aku temenin?” tanya Abi lagi. Ia menarik nafas panjang dan meraih kedua tangan Naira dalam genggamannya sebelum gadis itu sempat menjawab. “May I have this dance?” tawarnya.
Kedua mata Naira membelalak besar. Penari sih penari, tapi masa iya tiba-tiba Abi ngajak nari disini, di Pantai Parai?
“Nggak ada musik, Bi.” Naira mencoba berdalih.
“Terus kenapa?” tantang Abi.
Naira menelan ludah. “Tapi Bi—“
“Ssssst,” potong Abi cepat. “Emang kenapa kalau nggak ada musik? The music is all around us. All you have to do, is listen,” lanjutnya penuh percaya diri.
Sekilas senyum bermain di bibir Naira. Ia mengenali ucapan tersebut. Salah satu kutipan dari film musikal berjudul August Rush.
“Tunggu apa lagi?” tanya Abi seraya mempererat genggamannya.
Naira menghembuskan nafas, pasrah. “Satu dansa aja,” cetusnya memberikan syarat.
Abi mengernyit tidak terima. “Kita punya waktu banyak dan disini cuma ada segelintir orang, why no dance till we drop?”
Tanpa bicara lagi, Naira mulai berdansa. Menarik Abi juga dirinya larut dalam sebuah waltz yang indah. Untuk saat itu, ia tak peduli pendapat Arina dan Ghea atau pun orang-orang lainnya. Mungkin juga untuk selamanya.
Ia tak akan berhenti hanya pada satu tarian saja.

***


Sunday, November 27, 2011

Ware Liefde

  • Kangen nulis bangeeeeeeeeet! School is getting crazier each day and am more than just happy to finally finalize this story :D
  • It's nothing like my usual stories. I was reading history and boom! This idea just came up all of a sudden. Semoga cukup baik ya hasilnya, risetnya kurang mendalam karena di internet cuma gitu-gitu doang, terus udah tanya-tanya nenek tapi beliau ga tau banyak tentang Tasikmalaya. Beliau sendiri baru lahir akhir 1930an.
  • Also, this doesn't have anything to do with romance tapi entah kenapa semakin ditulis semakin pengen ngejadiin Darisa sama Seno hahaha mungkin nanti bakal buat cerita pas Darisa masih di Belanda juga, udah dapet banyak referensi dari Faya :D
  • Well, too much to say, aren't I? :p Enjoy! Critics would be soooo lovely <3

Ware Liefde
Darisa menyapukan pandangannya pada jam dinding berdebu berusia puluhan tahun yang diletakkan di atas lemari makan. Kalau benda kuno itu masih berfungsi dengan baik, maka saat ini adalah pukul delapan pagi waktu Indonesia barat. Ia bangkit berdiri dan berjalan menuju teras depan, berusaha mengusir rasa kantuk yang begitu kuat menghinggapinya. Namun, semilir angin yang bertiup lembut justru membuatnya merasa semakin ingin tidur.
“Ris, pagi-pagi kok udah ngantuk aja? Semalam begadang ya?”
Darisa menoleh cepat, mendapati sosok Bi Murni, adik kandung ibunya, tengah berdiri di ambang pintu. “Masih jet lag Bi, maklum kalau di Belanda sekarang baru jam dua pagi, jadi masih ngantuk gini deh.”
Jet lag? Apa tuh artinya?”
“Hmm, jet lag itu... apa ya, jadi masih kebawa kebiasaan disana gitu Bi. Kan disana sekarang malem, biasanya aku lagi tidur, makanya sekarang jadi ngantuk.”
Bi Murni manggut-manggut meskipun Darisa tak yakin wanita itu mengerti maksudnya. Wanita itu sangat sederhana dan hampir tidak mengenal dunia luar, sangat bertolak belakang dengan mamanya Darisa yang merupakan wanita karir dan cenderung menganut gaya hidup hedonisme.
“Yaudah kamu tidur-tiduran aja dulu sambil nunggu, tadi kakek baru selesai mandi. Habis sarapan baru kamu bisa ngomong sama kakek.”
Darisa mengangguk setuju. Bicara dengan kakek adalah misi utamanya datang ke Tasikmalaya. Belum genap seminggu Darisa tiba di Indonesia setelah setahun penuh mengikuti program pertukaran pelajar di Belanda, ibunya sudah memintanya untuk datang ke kediaman kakek di Singaparna, Tasikmalaya. Padahal, ia masih harus bolak-balik ke kantor pusat bina antar budaya dan kedutaan besar Belanda untuk mengurus dokumen-dokumennya.
Menurut hasil diagnosa dokter, kakek divonis menderita kanker paru-paru stadium terakhir. Belakangan ini, kakek yang sewaktu mudanya merupakan salah satu prajurit dalam perang melawan Belanda dan Jepang, sering mengigau dalam bahasa Belanda. Sejak beliau lahir pada tahun 1923, wilayah Tasikmalaya telah berada di bawah kekuasaan Belanda sehingga bahasa yang populer di kalangan masyarakat pada saat itu merupakan bahasa Belanda.
Karena hasil pemeriksaan dokter menyatakan bahwa waktu hidup kakek tak akan lebih dari satu tahun lagi, seluruh anggota keluarga menganggap igauan yang terus-menerus beliau lisankan merupakan kata-kata terakhirnya. Oleh karena itu, Mama dan Papa meminta Darisa datang ke Tasikmalaya dan berbicara dengan kakek.
“Darisa,” panggil kakek dengan suara parau. Beliau berjalan mendekati Darisa dengan bantuan tongkatnya, tertatih-tatih. Darisa buru-buru bangkit dan menghampirinya.
Goede morgen, Kakek,” sapa Darisa seraya membantu kakek duduk di kursi tamu.
Kakek tak menjawab, hanya mengangguk sopan ke arah cucunya. Dadanya naik turun kelelahan. Tampaknya perjalanan dari kamarnya ke teras cukup berat bagi kinerja paru-parunya. Beliau menatap pepohonan rindang yang berderet rapi di halaman dengan pandangan menerawang. “Ik mis...,” ucapnya lirih. Saya kangen.
Darisa menjawab spontan, “Ik heb ook mis Kakek.” Saya juga kangen Kakek.
Waar is ze?” Pandangan kakek kini tertuju pada Darisa, yang tengah berpikir keras mengenai maksud pertanyaan kakeknya. Where is she.
Who is she? “Wie is zij?” tanya Darisa penasaran.
Ze is ver weg van hier,” jawab Kakek kemudian bangkit berdiri dan berjalan meninggalkan cucu perempuannya. Kali ini Darisa tak bangkit untuk membantunya, ia hanya menatap penuh tanya punggung kakeknya yang kini telah menghilang di balik pintu. Kata-katanya membuat Darisa semakin bingung akan arah pembicaraan mereka.
Ze is ver weg van hier, dalam bahasa Indonesia artinya: ia sangat jauh dari sini.

***

Jam digital pada ponsel Darisa menunjukkan pukul sepuluh tiga puluh ketika pintu kamarnya diketuk dari luar. Darisa melepaskan earphone yang tersangkut pada telinganya dan bergegas membuka pintu. Bi Murni, dalam balutan daster rumah bermotif bunga, tersenyum meminta maaf.
“Ris, maaf ya Bibi bangunin kamu jam segini, tapi kakek ngigau lagi, mungkin kamu ngerti.”
Darisa menggeleng pelan. “Nggak apa-apa Bi, aku emang belum tidur kok. Yaudah yuk kita ke kamar kakek.”
Di kamarnya yang luas namun sederhana, kakek terlihat begitu tenang. Irama nafasnya teratur dan sesekali diselingi dengkuran halus. Darisa dan Bi Murni menajamkan indra pendengarannya dan menunggu.
Ware liefde... Ik hou van je.... ware liefde.
“Risa, kamu ngerti ngga?” bisik Bi Murni.
“Ngerti, Bi.” Darisa balas berbisik. “Keluar yuk Bi, takut ngebangunin kakek,” ajaknya sambil melangkah ke ruang tengah. Di belakangnya, Bi Murni menyusul, berusaha tak menimbulkan suara sedikit pun.
“Cinta sejati, saya cinta kamu, cinta sejati. Itu kata kakek.”
Kening Bi Murni berkerut heran. “Maksudnya nenek? Cinta sejati kakek itu nenek kan Ris?”
Darisa berpikir cukup lama kemudian mengangkat bahunya. “Nggak tahu Bi, kalau feeling aku sih kayaknya yang dimaksud kakek bukan nenek. Bibi tidur aja ya, udah malem. Nanti besok aku ngomong lagi sama kakek.”
Meskipun tampak tidak setuju dengan pendapat Darisa, Bi Murni memilih mengangguk dan mengikuti anjuran keponakannya. Ia melangkah ke kamarnya dan kembali tidur. Sementara itu, Darisa justru tidak mengantuk (lagi-lagi karena jet lag, apalagi di Belanda saat ini masih pukul empat sore). Ia meraih ponsel untuk menelepon ibunya.
Assalamu’alaikum,” sapa suara di ujung sana. “Belum tidur sayang?”
Wa’alaikumsalam, belum. Ma, tadi kakek ngigau lagi, kalau aku ngga salah nerjemahin kakek bilang: cinta sejati, saya cinta kamu,” cerocos Darisa cepat namun pelan.
Mama diam cukup lama sebelum menjawab. “Mungkin kakek kangen nenek?”
Darisa menahan senyum geli mendengarnya. Pertanyaan yang sama persis dengan yang terlontar dari mulut adiknya, Bi Murni. “Nggak tau kenapa tapi aku yakin itu bukan nenek. Mungkin ga sih kakek punya istri lain? Siapa tahu poligami gitu.”
“Hush! Sembarangan kamu. Punya istri lain sih engga, tapi Wa Ahmad pernah cerita sama Mama, sebelum kakek dijodohin sama nenek, kakek selalu bareng sama perempuan Belanda. Mungkin itu?”
Darisa termenung cukup lama. Sepotong kalimat yang barusan didengarnya menggugah rasa ingin tahunya. Entah mengapa, ia yakin ada wanita lain dalam hidup kakek. Wanita yang saking berharganya sampai terbawa ke alam bawah sadar kakek.
“Ris, Mama mau tidur ah, udah ya, kamu tidur juga gih. Kalau masih jet lag makan obat pusing aja, minta sama Bi Murni. Assalamu’alaikum.”
Wa’alaikumssalam.”

***

Aroma kopi yang begitu kuat terbawa oleh semilir angin pagi dan seketika menusuk hidung Darisa. Dengan kantuk yang masih tampak jelas pada bola matanya, ia menyapukan pandangan pada halaman depan rumah kakek. Nuansa kehijauan yang berpadu dengan kicauan burung-burung terasa begitu menyejukkan.
Darisa menarik kursi tamu dan menatap hidangan pagi yang telah terhidang pada meja kayu mungil di hadapannya. Kedua matanya melebar bersemangat menatap sepiring penuh surabi khas Tasikmalaya yang tampak sangat menggiurkan. Ukurannya besar-besar dan masih hangat. Darisa kemudian mengalihkan pandangannya pada secangkir kopi hitam pekat di samping piring surabi. Ia tidak suka kopi.
Pernah sekali waktu, Esakakak kandungnya, mentraktir Darisa kopi dengan harga paling mahal di sebuah kedai kopi ternama di ibu kota. Kedai tersebut dipenuhi figura-figura besar yang berisikan tanda tangan para public figure yang pernah menikmati kopi di tempat tersebut. Sayangnya, Darisa tetap tidak suka kopi. Ketika hendak berjalan pulang, ia mencibir tak setuju tatkala membaca testimoni yang diberikan para artis tersebut.
Sekali lagi Darisa menatap cangkir kopinya. Kali ini ia memutuskan meminumnya walaupun hanya beberapa teguk, sekedar untuk menghargai Bi Murni yang telah repot-repot menyiapkannya sekaligus berusaha menyingkirkan rasa kantuknya. Di luar dugaan, Darisa cukup menyukainya. Minuman berkafein ini kental dan memiliki rasa yang kuat, jauh lebih enak daripada hot americano kesukaan Esa.
Darisa tersenyum senang dan kembali meneguk kopinya. Tanpa sadar, sosok seorang pemuda bertubuh tinggi dan atletis tengah berdiri di depan pintu pagar.
Assalamu’alaikum,” sapanya ramah. Seulas senyum bersahabat tersungging di bibir pemuda itu.
Wa’alaikumssalam, sebentar.” Darisa meletakkan cangkir kopinya dan bergegas membukakan pagar besi sederhana yang tingginya hanya sebatas pinggang orang dewasa. Sekilas, gadis itu meneliti figur tampan di hadapannya. Wajahnya bersih, rambutnya dipangkas cepak, dan tubuhnya cukup berotot. Ia tersenyum dan mempersilakan pemuda itu bergabung di tempatnya duduk.
“Cari siapa ya?”
“Cari kakek yang tinggal disini, ada?”
Kening Darisa berkerut heran. Ia mengerling ke dalam rumah, tepatnya ke kamar kakek. Keadaan rumah masih sunyi. Sepertinya kakek masih tidur. “Habis solat subuh kakek tidur lagi, biasanya baru bangun jam delapan atau sembilanan, ada perlu apa ya...?”
“Seno,” sahut pemuda itu cepat. Tampak menyesal belum memperkenalkan diri sebelumnya. Ia mengulurkan tangan ke arah Darisa.
Darisa menyambut uluran tersebut. “Darisa,” ujarnya mantap seraya menuangkan kopi dari ketel pada gelas bening yang masih kosong dan menyodorkannya pada Seno. “Jadi, Seno ada perlu apa sama kakek?”
Seno tersenyum charming sebelum menjawab. “Gini, kemarin kakek itu berdiri aja di depan rumahku. Ada kali sekitar dua puluh menit beliau cuma bengong ngeliatin rumah. Akhirnya aku tanya, kakek bilang dia lagi nunggu seseorang yang tinggal di rumahku. Aku tanya lagi, siapa yang dimaksud kakek kamu, dia bilang ‘awewe nu geulis pisan’. Kamu ngerti artinya?”
Darisa mengangguk cepat. Walaupun penampilannya terlihat sangat metropolitan, gadis ini sebenarnya keturunan Sunda asli. “Cewe cantik.”
“Yup, aku tanya orang tuaku tapi mereka bilang sebelum keluargaku nempatin rumah itu, penghuni sebelumnya ga ada perempuannya. Karena penasaran, aku tanya-tanya sama Banyu, anak kepala desa sini yang kebetulan seumuran sama aku. Dia bilang, sebelum dijadiin rumah dinas TNI, rumah ini kosong sejak kemerdekaan Indonesia. Makanya aku tambah penasaran, abis kakek kamu yakin banget.”
Keheningan yang cukup lama hadir di antara mereka. Baik Darisa maupun Seno sama-sama tenggelam dalam spekulasinya masing-masing.
“Ini diminum ya?” tanya Seno memecah keheningan. Darisa mengangguk cepat.
“Menurut kamu, yang dimaksud kakekku itu sebenarnya siapa?”
Seno tak langsung menjawab. Ia menyeruput kembali kopinya dan mengenyakkan tubuh pada sandaran kursi. “Jangan-jangan... penunggu misterius di rumahku?”
“Apaan sih!” sergah Darisa cepat. Matanya membelalak lebar ketakutan. Darisa paling tidak mau percaya hal-hal mistis seperti itu. “Yang serius dong Seno, kakek mungkin memang agak ngaco, tapi masa dia nungguin itu sih?”
Seno tertawa puas. Sorot matanya yang jenaka kini memandang Darisa setengah tak percaya. “Masa sih kamu percaya?” tanyanya lagi, kemudian rautnya berubah serius. “Nenek kamu mungkin?”
That’s definitely the first speculation that comes up to everyone lately.”
Seno tersenyum masam mendengar jawaban Darisa. Dari pernyataan tersebut, ia yakin hipotesa tersebut salah dan bukan yang pertama. “Kasih petunjuk lain dong,” pintanya.
Darisa tersenyum simpul. Gesturnya yang semula kaku karena penasaran dan bingung kini berangsur rileks. Ia mencomot sebuah surabi yang sudah agak dingin dan mulai menikmatinya dengan lahap. Di sela-sela kunyahannya, ia mulai bercerita, mulai dari dipanggilnya ia secara khusus untuk menerjemahkan igauan-igauan kakek hingga isi igauan-igauan yang setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pun tetap membuatnya bingung.
“Aku sih tetep yakin, ada perempuan lain sebelum nenek. Ya cinta sejatinya kakek ini, cuma ga ada yang tau itu siapa. Lagipula, bibi dan mamaku yakin kalau itu nenek.” Darisa mengakhiri penuturan panjangnya dengan mantap. Ia kembali menikmati hidangannya.
Tepat di hadapannya, Seno menyimak penuh konsentrasi sampai tak sadar kalau ia telah meneguk habis kopi hitamnya. Ketika Seno meneguk lagi gelas kosong tersebut, Darisa tergelak spontan dan buru-buru menuangkan kopi untuk pemuda itu. Mereka sama-sama menahan tawa geli.
“Aku juga bingung kalau gitu. Jadi, kamu pertukaran pelajar di Belanda? Aku baru liat kamu akhir-akhir ini. Di Belanda di mananya?” tanya Seno sambil kembali menikmati kopinya.
Darisa mengangguk. “Yup, Rotterdam. Setahun kemarin aja kok, sebelumnya aku tinggal di Jakarta, lumayan sering juga kok nengokin kakek kesini. Tapi seinget aku, rumah yang sekarang kamu tempatin itu dulunya cuma diisi bapak-bapak.”
“Iya, yang aku bilang tadi. Dulunya rumah itu milik pemerintah Belanda. Sejak tahun 1987 diambil alih pemerintah dan akhirnya dijadiin rumah dinas untuk TNI AD. Aku baru pindah kesini tahun lalu.”
“Berarti papa kamu TNI juga?” Darisa memandang bergantian wajah Seno dan rumahnya.
Seno mengangguk enteng. “Iya, sebelumnya aku di Jakarta. Baru tahun ini aja pindah tugas ke daerah. Kamu di Jakarta sekolah dimana? Berarti sekarang naik kelas 12 ya?”
“Iya, SMA 8,” jawab Darisa dengan sedikit senyum bangga di wajahnya. “Kamu sendiri, sekolah atau kuliah dimana?”
“Teknik Informatika UI, baru naik tingkat dua, kebetulan lagi liburan semester
“Ada tamu Ris?”
Refleks, Darisa dan Seno sama-sama menoleh ke arah sumber suara. Kakek tengah berdiri di ambang pintu. Tangan kirinya menggenggam tongkat yang kini membantunya berdiri sementara tangan kanannya memegang kenop pintu yang terbuka. Darisa bangkit dan mempersilakan kakek duduk di kursinya sementara ia menarik kursi yang lain.
“Selamat pagi, Kakek.” Seno berujar sopan seraya tersenyum.
Kakek membalas perlakuan tersebut dengan anggukan ringan sambil tersenyum lembut. Beliau menyapukan pandangannya pada pekarangan rumah Seno yang terlihat jelas dari tempat mereka duduk. Selama kurang llebih lima menit, beliau tak mengatakan apa-apa. Darisa dan Seno bertukar pandang clueless.
Kemudian ia beralih memandang Darisa. “Ik mis haar, de gouverneur de dochter van.”
Putri gubernur? Darisa kembali mengernyit. “Die?
Hij, de mooiste vrouw. Ware liefde,” jawab kakek tenang, sama sekali tak terpengaruh dengan raut cucunya yang tampak sangat penasaran. Pandangannya menerawang seolah ia tak sedang berada disitu.
Menit berikutnya, kakek minta diantar kembali ke kamarnya. Sejurus kemudian, Darisa kembali menghampiri Seno.
Mind to translate it?
Darisa tersenyum simpul. Ia kembali duduk dan seperti Seno, tanpa sadar telah menghabiskan kopinya, minuman yang sebelumnya hampir tak pernah ia konsumsi. “Saya kangen dia, putri gubernur.”
“Itu aja?”
Kali ini Darisa menggeleng. Ia melanjutkan penuturannya sambil terus berpikir. “Aku tanya, siapa, kata kakek, dia yang sangat cantik. Cinta sejati. Aku jadi tambah penasaran.”
Seno manggut-manggut, bukan karena mengerti melainkan karena sama bingungnya dengan Darisa. Ia mengikuti arah pandang gadis di hadapannya; pekarangan rumahnya. Ia yakin sekali, rumah itu menyimpan rahasia besar mengenai kehidupan kakek.
“Gini aja, nanti aku tanya papa soal perempuan dan anak gubernur yang dimaksud kakek kamu. Kalau kamu ga tau, nanti sekalian aku tanya sama Banyu tentang sejarah daerah sini, kan ayahnya pasti tahu banyak tuh.”
Darisa mengerjap cepat. “Apa nggak ngerepotin?”
“Engga. Udah terlanjur penasaran abisnya.”
Kali ini Darisa tertawa lepas. Ia memandang Seno dengan tatapan penuh terima kasih. Selanjutnya, mereka kembali menikmati surabi yang kini telah sepenuhnya dingin sambil mengobrol santai mengenai diri masing-masing.

***

Tiga hari telah berlalu sejak pertama kali Darisa bertemu dengan Seno. Kini mereka berdua tengah duduk bersama di karpet berbulu lembut yang terhampar di teras belakang rumah Seno, menghabiskan minggu sore dengan menyelidiki lebih lanjut mengenai perempuan misterius yang dimaksud kakek.
Now I feel like having a real group detective,” ujar Darisa asal.
Yeah, an amateur one.” Seno menyahut dengan seulas senyum jenaka di wajahnya.
Mereka tengah menikmati sepiring besar getuk dan pisang goreng yang dihidangkan Bu Alya, mamanya Seno. Keduanya sibuk mengunyah dengan pandangan sama-sama terkunci pada layar laptop milik Seno. Layar itu tengah menampilkan artikel demi artikel mengenai masa kependudukan Belanda di Tasikmalaya sekitar tahun 1930-an.
Hasil tanya sana-sini Seno dan Banyu membuahkan hasil yang cukup membantu. Sekitar delapan puluh tahun silam, rumah yang kini menjadi tempat tinggal Seno memang ditempati oleh gubernur jenderal Hindia Belanda bernama Jan van Dijkma. Dengan cekatan, Seno mengetikkan nama tersebut pada kolom pencari.
 “Itu dia!” Darisa terkesiap. Telunjuknya terarah pada sebaris nama yang dicetak tebal. Roos-Anne van Dijkma (1925-2001). Di sampingnya terdapat keterangan bahwa perempuan itu merupakan putri gubernur van Dijkma satu-satunya.
Dengan sigap, Seno mencari sebanyak mungkin artikel yang tersedia mengenai nama tersebut. Namun, hasilnya sangat tidak memuaskan. Kehidupan Roos-Anne tidak banyak disorot publik, hanya sebagian kecil mengenai riwayat akademik serta perannya dalam kejayaan ayahnya pada masa pendudukan Belanda di Indonesia.
Darisa menggeleng tak bersemangat. “Harus cari dimana lagi ya Sen kalau ngga dari internet?”
Seno terpaku menatap baris tulisan pada layar mungilnya. Alih-alih menjawab pertanyaan Darisa, ia mencoba memasukkan kata kunci lain pada mesin pencari. Sejurus kemudian, kedua matanya membulat bersemangat.
“Roos-Anne ini kehidupan pribadinya ga banyak dipublikasi karena permintaan pengacara keluarganya. Tapi menurut artikel disini, Roos-Anne adalah salah satu founder dari The Hague of Groningen, public school di Amsterdam. Mungkin di perpustakaan sekolah itu ada data tentang perempuan ini.”
“Sharka!” Darisa terpekik senang. “Aku punya temen baik yang sekolah disana, Sharka de Graaf.”
“Bagus. Bisa komunikasi sama dia sekarang ga?”
Darisa menatap layar laptop itu sejenak. “Bisa aja, tapi aku numpang online skype di laptop kamu ya? Skype Sharka selalu online dan sekarang disana sekitar jam sepuluh pagi, kayanya bisa video call.”
Tanpa banyak pikir, Seno mundur dan menyerahkan laptop-nya pada Darisa. Sesuai perkiraannya, Sharka memang sedang online. Cepat-cepat Darisa menekan tombol call dan beberapa detik kemudian, wajah cantik Sharka yang sangat netherland-ish itu memenuhi layar laptop Seno. Di belakangnya tampak hamparan bunga tulip berbagai warna. Darisa mengenali tempat itu sebagai Beatrix Park, sebuah taman yang berlokasi di Zuider Amstel neighborhood dan terkenal karena kebersihannya..
“Darisa! Ik miss je!” sapa perempuan itu excited.
Ik miss je ook, hoe gaat het?
Fijn,” jawab Sharka.
Detik berikutnya ia mulai berceloteh panjang lebar dalam bahasa yang tidak dimengerti Seno. Darisa tampak sangat bersemangat. Ia mendengarkan baik-baik cerita itu sambil sesekali menimpali. Seno berusaha maklum, mungkin teman barunya ini rindu sahabat lamanya. Ia memutuskan untuk menunggu.
Setelah lebih dari lima belas menit, percakapan nostalgis itu tak kunjung selesai. Dengan sedikit perasaan tak enak, Seno menyenggol lengan kiri Darisa, mengingatkannya pada tujuan utama mereka.
“Maaf,” ucap Darisa penuh penyesalan. Ia nyengir singkat kemudian kembali menatap Sharka. “Sharka, this is my friend Seno. We called because we  need your help. We hope you don’t mind to use English, Seno doesn’t speak dutch.”
Sharka mengangguk mantap. Dari suara sahabatnya, ia tahu ada hal yang sangat mendesak.
Darisa menghela nafas dalam-dalam sebelum memulai. Ia meneritakan dengan detail perihal celotehan kakeknya, rumah belanda yang sekarang ditempati Seno, serta sosok misterius Roos-Anne yang mungkin merupakan cinta sejati kakek. “I need your help to find out as many as possible about Roos-Anne. She’s one of the founders of your school.”
I can work with that. But sorry to say, why is this important? The person we’re talking about has died anyway,” tanya Sharka sedikit skeptis.
Darisa tersenyum tak nyaman. “It’s something that keeps haunting my grandfather. And now, it’s haunting me,  my family, and Seno too. So, yeah, you know. Would you please help us?
Sharka memandang bergantian Darisa dan Seno. Keduanya tampak berharap banyak pada jawabannya. Ia tersenyum lembut dan mengangguk. “Give me two days. You know our library is the biggest one in Amsterdam,” ujarnya dalam nada cukup bangga.
Setelah Sharka setuju untuk mengirimkan hasil pencariannya ke e-mail Seno, Darisa menutup pembicaraan mereka.

***

“Sebaiknya Pak Sudrajat jangan terlalu banyak beraktivitas, cukup di tempat tidur dan bergerak secukupnya sampai kondisinya stabil kembali,” ujar seorang pria berjas putih yang kini tengah sibuk memeriksa catatan kesehatan kakek.
Darisa memandang kakek dan dokter bergantian. Rautnya tampak sangat khawatir. “Tapi selama saya disini, kakek memang ngga banyak bergerak kok, Dok.”
“Oh ya?” Dokter bertanya tak percaya. “Mungkin kakek kamu kepikiran sesuatu? Biasanya kalau ngga dari fisik, sakit itu ya datangnya dari psikis.”
Darisa kembali termenung, hanyut dalam pikirannya sendiri. Kemarin malam kakek terkena serangan jantung yang membuat semua orang panik. Malam itu juga, kedua orang tua dan kakaknya langsung meluncur menuju Tasikmalaya. Kini mereka semua tengah mengerubungi tempat tidur kakek dengan raut khawatir terpancar pada wajah masing-masing.
Merasa sumpek, Darisa melangkah menuju teras rumah kakek. Pandangannya menerawang menatap langit malam. Sudah dua hari berlalu sejak ia menghubungi Sharka. Jika perempuan itu menepati janjinya, Seno harusnya sudah menerima e-mail Sharka yang berisi data mengenai Roos-Anne. Nyatanya, hingga saat ini Seno belum memberi kabar apa pun.
Darisa menghela nafas panjang. Perasaannya tidak enak. Ia merasakan urgensi yang begitu kuat untuk segera mengetahui siapa perempuan itu sebetulnya kiemudian memberi tahu kakek.
“Risa!”
Bisikan pelan tersebut membuat Darisa terlonjak kaget. Seno telah berdiri di depan pagarnya. Dengan terburu-buru ia membuka kunci pagar dan mempersilakan pemuda itu masuk. “Dapet sesuatu Sen?”
“Yup, mail from your friend. Aku udah baca,” ujar Seno cepat. Ia mulai menceritakan dengan detail segala hal mengenai Roos-Anne yang diketahuinya dari Sharka.
Belum sempat Darisa menjawab, ia kembali dikejutkan oleh teriakan histeris Mama dan Bi Murni. “Darisa! Kakek sudah bangun, cepetan kesini!”
Darisa melesat menuju kamar kakek, disusul Seno yang juga berlari di belakangnya. Seluruh anggota keluarga yang memenuhi kamar memberi jalan bagi Darisa. Ia mendekatkan telinganya ke wajah kakek, mendengarkan baik-baik setiap kata yang terlontar dari mulut kakek.
Ware liefde... Ik hou van je.... ware liefde.. Roos-Anne.
Darisa terkesiap. Ia bertukar pandang gelisah dengan Seno. Pemuda itu mengangguk mantap. Darisa memejamkan matanya erat-erat sebelum mulai berbicara. “Kakek, wanita yang kakek maksud ini, namanya Roos-Anne van Dijkma?” tanyanya pelan.
Kedua mata kakek melebar. Sekilas, Darisa dapat melihat kerlip bercahaya pada keduanya. Kakek mengangguk lemah.
Sekali lagi Darisa menghela nafas panjang. Perlahan, digenggamnya tangan kanan kakek. Meskipun harus, ia sangat tidak ingin menyampaikan berita selanjutnya. “Kakek, Roos-Anne sudah meninggal sejak tahun 2001, gagal ginjal.”
“Roos-Anne kembali ke Belanda pada tahun 1946. Ayahnya, gubernur Jan van Dijkma dihukum penjara seumur hidup sehingga Roos-Anne harus tinggal bersama tantenya, satu-satunya kerabatnya yang masih hidup. Pada tahun 1967, Roos-Anne dan beberapa temannya mendirikan sekolah publik di Amsterdam, namanya The Hague of Groningen. Sekolah itu masih berdiri sampai sekarang dan termasuk sekolah terbaik di Belanda.”
Selama beberapa saat, Darisa menangkap rasa sedih yang amat mendalam dari sorot mata kakek. Namun kemudian tatapan itu berubah, berganti dengan sorot mata tulus disertai senyuman lembut yang perlahan mulai mengembang di wajahnya yang keriput.
“Alhamdulillah kalau begitu, Roos-Anne selalu ingin menjadi guru. Ternyata cita-citanya tercapai. Meskipun dia sudah tidak ada, saya sangat senang mendengarnya. Terima kasih Darisa.”
“Kakek, jangan sedih. Maaf kalau kabar dari Darisa buat kakek sedih.”
Kakek menggeleng perlahan, berusaha menggerakkan sendi-sendi lehernya di tengah rasa sakit yang tengah melanda. “Saya sudah lama menunggu. Saya cinta Roos-Anne, sejak dulu sampai sekarang, meskipun tentunya saya juga mencintai nenek kamu. Tapi sampai detik ini, sampai saat terakhir hidup saya, nggak pernah sekali pun saya lupa sama Roos-Anne. Dia cinta sejati saya.”
 Darisa menyusut butir air mata yang telah berkumpul di sudut matanya cepat-cepat. Ia tak berkata apa-apa, hanya mempererat genggamannya pada tangan kakek.
“Terima kasih Darisa, saya sekarang bisa pergi dengan tenang.”
Seiring dengan kata-kata tersebut, kakek menghembuskan nafas terakhirnya. Perlahan kelopak matanya menutup dan terpejam untuk selamanya. Isak tangis pecah dan memenuhi kamar tersebut. Masih menggenggam tangan almarhum kakek, Darisa tak mampu membendung air matanya.

***

Darisa menatap halaman rumah kakek dengan pandangan sedih dan menerawang. Ia baru saja kembali dari pemakaman kakek. Anggota keluarganya yang lain sibuk mengurusi ini-itu, menjamu para tamu yang berkunjung untuk menyampaikan ucapan bela sungkawa mereka, dan saling menenangkan satu sama lain.
Rasa penyesalan mengakar kuat di hati Darisa. Mengapa harus ia yang menyampaikan kabar terakhir itu? Seolah ia yang menarik pelatuk dan membiarkan kakek pergi untuk selama-lamanya.
“Boleh duduk sini?”
Darisa mendongak lesu, mendapati sosok atletis Seno yang kini tengah berdiri di hadapannya. Meskipun masih dirundung duka, Darisa memaksakan diri untuk tersenyum dan mempersilakan Seno duduk di kursi tamu di hadapannya. Seno meletakkan sebuket mawar merah dan putih di atas meja.
“Makasih. Harusnya kamu kasihnya tadi pas di makam.”
Seno menggeleng cepat. “Itu untuk kamu.”
Kening Darisa berkerut heran. Ia merasa tidak di posisi yang pantas untuk mendapat sebuket bunga. “Untuk aku? Dalam rangka apa?”
“Kamu sedih terus. Kamu nyalahin diri kamu karena udah ngomong jujur sama kakek padahal ini bukan salah kamu. Kamu justru berjasa banget. Dengan gini, kakek pergi dengan tenang.”
Darisa termenung cukup lama. Ia menatap Seno dengan tatapan kosong kemudian mengangguk lemah. “Aku tahu ini bukan salahku. It’s just... the guilty feeling won’t go away, Sen,” ucapnya lirih.
Seno tersenyum penuh pengertian. Dengan lembut ia meraih kedua tangan Darisa dan menggenggamnya erat. “Kalau kamu sedih sekarang, it’s ok. Kalau kamu mau nangis, nangis aja sampai puas.”
Perlahan, sebentuk senyum penuh rasa terima kasih menghiasi paras cantik Darisa. “Makasih ya Sen, kalau ngga ada kamu, kakek mungkin meninggal tanpa pernah tahu yang sebenarnya. I won’t ever thank you enough.”
Seno melepaskan genggamannya pada tangan Darisa. Gesturnya berubah rileks. “Simpel aja. Kalau udah pulang ke Jakarta nanti, jalan sama aku ya?” pintanya disertai senyum yang membuat Darisa meleleh.
Tanpa banyak pikir, Darisa menyanggupi. Ia menghapus sisa-sisa tangis pada wajahnya lalu mereka mulai mengobrol ringan tentang apa saja. Tangisan Darisa kini telah berganti tawa. Mungkin ia bisa membawa hubungan mereka dari Tasikmalaya ke Jakarta.

***