Sunday, September 25, 2011

Sembilan Cupcakes Cinta

 Writer's note :
  • Halooooo, ini pelarian dari integral yang super njelimet itu loh hohoho otak gue udah kusut kelamaan ngitung luas sama volume n__n
  • Ini baru belajar karakterisasi dari buklet menulisnya Sitta Karini ihihihi semoga hasilnya bagus
  • Ini juga pendek loh, cuma lima halaman. Gue lagi belajar nulis cerpen yg beneran cerpen, yg ga banyak detailnya, agak kurang sreg sih gue juga, tapi yah.....let me know what you think.
  • Dan ini ada mini posternya, hasil iseng dan frustasi sama matematika sebenarnya hahaha abaikan aja, itu ga ada hubungannya sama cerita. Mereka bule lagian, si Denis sama Mila mah orang Indonesia =)) Models: Erin Heatherton & Matt Caldi (ga nyambung emang).
  • Happy reading! As always, critics would be soooo lovely
  • ................ kembali belajar integral.
 
Sembilan Cupcakes Cinta


 “Masukkan dark cooking chocolate. Kocok lagi, lalu masukkan telur satu per satu sambil dikocok terus hingga lembut.”

Kamila mengernyit, mencoba mengingat satu per satu instruksi yang disampaikan sobatnya. Jemarinya meraih mangkok berisi dark chocolate yang telah dilelehkan dan memasukkannya ke dalam adonan. Setelah berpikir sesaat, gadis itu menyalakan mixer pada kecepatan yang paling tinggi sehingga celemek baby pink-nya yang cute terkena cipratan adonan.

Dengan perasaan gondok, Mila melayangkan pandangan nelangsa pada sahabatnya. “Duuuh, nggak ada yang lebih gampang apa Da? Ini susah banget tau,” rengeknya. Sudah satu jam lebih mereka bereksperimen di dapur rumahnya dan tak satu pun masakannya membuahkan hasil yang memuaskan.

Aida menggeleng tak sabaran. Ia meletakkan kumpulan resep yang sejak tadi digenggamnya dan meneruskan pekerjaan Mila. “Ini udah yang paling gampang Mil, lanjutin dulu aja deh. Ambil resep sama telurnya sini.”

Senyum sumringah merekah di bibir Kamila. “Coba lo bantuin dari tadi, pasti nggak pake ribet kan,” ujar Mila seraya meraih kantung plastik berisi telur dan mengangsurkannya pada Aida.

Aida meledak tertawa. “Siapa juga yang mau bantuin,” ejeknya, mengabaikan kantung plastik di tangan Mila dan mengambil kumpulan resepnya kembali. “Gue cuma bacain resepnya aja, sisanya lo yang kerjain. Ini kan demi cinta lo sama Denis juga.”

“Siapa juga yang cinta sama Denis?” Mila memutar kedua bola matanya dengan gaya dramatis. “Ini demi harga diri, Da, harga diri gue,” tandasnya.

“Harga diri apa harga diri?” tanya Aida dalam intonasi mengejek.

Mila ingin bereaksi tapi ia yakin, mendebat sahabatnya dalam urusan yang menyangkut Denis seperti ini pasti tak akan ada ujungnya sementara ia punya hal lain untuk segera diselesaikan. Yup, cupcakes-nya. Cupcakes yang tengah dibuatnya untuk Denis karena kalah taruhan saat mereka bermain bowling di Plaza Senayan seminggu yang lalu.

“Nggak seru kalau ga ada taruhannya, Mil,” ucap Denis saat itu.

Mila yang gengsian kontan menyetujui ucapan Denis. Mila—yang sedang krisis keuangan karena uang mingguannya sudah dihabiskan untuk belanja baju—meminta Denis untuk nebengin dia pulang selama dua minggu berturut-turut. Sedangkan Denis mau Mila memasak sesuatu yang manis untuknya kalau ia menang. And guess who won the game, it was Denis.

Lucky for him, batin Mila. Sudah gagal dapat tebengan, sekarang malah harus masak padahal jelas-jelas ia paling ga bisa masak. Denis memang paling tahu cara ngerjain orang.

“Udah belum Mil? Ko bengong sih?” seru Aida membuyarkan lamunan Mila.

“Iya iya ini juga sambil dikocok. Kok lu jadi bawel sih?” tanya Mila mengingat sahabatnya itu biasanya lebih kalem dari dirinya sendiri. Makanya ia heran ternyata Aida bisa galak juga kalau urusan masak-memasak begini. “Terus apa lagi nih Da?”

Aida tertawa menanggapi sindiran sahabatnya. Ia mengabaikan pertanyaan Mila yang pertama dan beralih ke pertanyaan selanjutnya. Masukkan terigu, coklat bubuk, dan baking powder. Aduk rata,” titahnya.

Mila mengangguk cepat, memasukkan semua bahan yang disebutkan Aida kemudian mengaduknya.

“Eh ada Aida, udah dari tadi disini Da?”

Aida dan Mila menoleh bersamaan dan mendapati sosok sophisticated Ibu Reiza Anindya, bundanya Mila, tengah berjalan mendekat. Aida tersenyum hangat dan mencium tangan beliau. “Iya Tante, si Mila pengen kursus masak sama Aida katanya,” jawabnya seraya melempar kerlingan jahil pada Mila.

Kedua alis bunda bertaut heran mendapati putrinya mendadak ingin belajar masak padahal selama ini turun ke dapur untuk membantunya saja ogah. “Dalam rangka apa nih, tumben amat?” tanyanya kemudian meletakkan tas tangannya di meja makan dan meneliti adonan Mila dengan cermat. Melihat warna adonan Mila yang tampaknya kurang bagus, bunda menyingsingkan lengan bajunya dan bersiap membantu.

“Dalam rangka pdkt sama Denis Tan, Denis sukanya sama cewek yang jago masak,” jawab Aida.

Mendengar jawaban Aida, bunda mengurungkan niat untuk membantu. Seulas senyum nakal menghiasi wajahnya. “Wah kalau gitu sih bikinnya harus pake cinta Mil, kalau gitu bunda ga jadi bantu ya,” ujarnya jahil. Bunda kembali meraih tas tangannya dan bersiap meninggalkan dapur. “Nanti jangan lupa kenalin Bunda sama Denis ya Mil, kayanya dia ganteng deh.”

“Bunda apaan sih, masa percaya sama Aida?” ujar Mila sewot.

Bunda dan Aida sama-sama tertawa. “Yuk, Tante tinggal dulu ya Aida,” ujarnya sambil berlalu.

Setelah sosok Bunda menghilang dari pandangan, Mila kembali fokus pada adonannya. Semua tahap yang disebutkan Aida telah selesai ia kerjakan. Kini tinggal memasukkan adonan ke dalam oven dan menunggu. Mila melepas celemek dan mengusap keringat di wajahnya.

Aida berkata pelan. “Lo kenapa nggak jadian aja sih Mil sama Denis?”

“Aidaaaaaaaaaaaaa!”
***

Ruang kelas dipenuhi riuh-rendah celotehan para murid yang sedang asyik mengobrol satu sama lain. Di tempat duduknya, Mila sibuk mengeluarkan satu per satu isi tas longchamp-nya. Binder, buku paket matematika, majalah remaja edisi terbaru, parfum, dompet, tempat pensil, ikat rambut, headset—semuanya ada kecuali handphone. “Bener nggak liat Da?” tanyanya cemas.

“Beneran Mil, tadi nggak lo keluarin emang?” Aida bertanya balik.

“Dikeluarin Mil, pas kimia gue pake kalkulatornya, terus pas bio gue taro tas. Tapi sekarang ga ada,” jawab Mila. Memang nggak ada murid—termasuk Mila—yang berani mengeluarkan ponsel pada jam pelajaran Bu Yatmi, guru biologi yang terkenal killer dan senang menyita barang kesayangan para murid tersebut. “Duh, lo ngga ngerjain gue kan?”

“Ya ampun enggalah Mil, gue kan baik.”Aida pura-pura tersinggung. “Coba gue cariin di depan sana deh,” imbuhnya seraya bangkit dari tempat duduk.

Mila masih sibuk mencari tatkala seorang cowok berdeham keras untuk menarik perhatiannya. Mila tahu itu Denis, ia mengabaikannya dan pura-pura tidak dengar.

Sadar aksinya tidak direspon, Denis mencoba manuver lain. “Lagi nyari ini ya Mil?” tanyanya seraya mengunggingkan senyum sok polos. Mila mendongak. Ponselnya berada dalam genggaman Denis.

“Lo tuh ya, sini balikin!”

Dengan gesit, Denis menghindar. “Boleh. Tapi kue gue dulu, gimana?” tawarnya.

Mila melengos kesal. Masa iya dia harus masak dulu untuk mendapatkan ponselnya? Cupcakes yang kemarin saja kurang manis. Lagian kok bisa sih handphone-nya ada di Denis? Jangan-jangan si Denis mantan copen Tanah Abang, batinnya. Mila mengenyakkan tubuhnya di tempat duduk dan memandang Denis dengan raut pasrah. “Kemarin gue udah bikin, Nis. Ternyata kurang manis,” akunya jujur.

Denis pura-pura simpati. “Oh ya? Terus gimana?”

“Balikin handphone gue Nis!” Mila berseru gemas, mengabaikan pertanyaan Denis.

“Santai dulu dong Mil, kita ngobrol-ngobrol dulu aja. Ntar pulangnya gampang gue anterin,” ujarnya sambil nyengir. “Gue tuh ya Mil, sukanya sama cewek yang bisa masak.”

Yeah, so? Lo nggak suka sama gue karena gue nggak bisa masak? batin Mila. Sedikit rasa kesal menghinggapi perasaannya. Masa iya sih Denis menilai cewek dari kemampuannya memasak. Mila kadang berpikir Denis lebih cocok sama Aida daripada dirinya. Denis suka cewek yang pintar masak, Aida pintar masak. Mereka juga sama-sama anggota klub olahraga, Denis atlet renang dan Aida atlet softball. Entah kenapa Denis malah sibuk ngekor Mila melulu.

“Iya iya, ntar gue belajar deh,” jawabnya. “Eh, bukan karena gue mau jadi cewek yang lo suka ya! Ini karena gue udah terlanjur janji aja tau.” Mila buru-buru menambahkan, takut Denis yang mudah geer ini salah paham.

Denis mengulum senyum jahil. “Ya, ya, whatever you say. Dua hari lagi gue ulang taun loh Mil.”

Lag-lagi, Mila tahu apa maksudnya. Denis minta hadiah sekaligus mengingatkan karena takut Mila lupa. Tentu saja ia tidak lupa. Meskipun selalu pasang topeng jutek di hadapan Denis, Mila sebenarnya sudah mempersiapkan hadiah untuk ulang tahun Denis ke-16 yang jatuh pada tanggal 20 September dua hari dari sekarang.

Hadiahnya...rahasia. Tapi mendengar kata-kata Denis barusan, Mila jadi punya rencana lain.

Sekilas senyum puas bermain di bibirnya. Ia memasukkan semua barang ke dalam tas dan bangkit dari duduknya. “Gue inget Nis, tenang aja,” ujarnya kemudian mengambil alih handphone-nya dari genggaman Denis. “Balik dulu ya Nis, ada proyek yang harus dikerjain.”

“Proyek apa?”

“You’ll see,” jawab Mila sambil berlalu.
***

Hari yang telah Mila persiapkan baik-baik pun akhirnya tiba.

“Selamat ulang tahun yang ke-16 ya, Nyis.”

Denis menatap takjub sebuah nampan berisi sembilan cupcakes warna-warni dalam berbagai varian rasa yang kini tersedia di hadapannya. Hadiah ulang tahun dari Kamila Oktarina Sasmita, si princess sok jutek dan nggak bisa masak yang selama ini disukainya.

Demi Denis, Mila rela terjun ke dapur.

Terimakasih sebesar-besarnya Mila haturkan pada bunda yang semalaman menemani dan membantunya memasak. Tentu saja itu tidak gratis, Bunda mau membantu asalkan Mila bersedia menceritakan hubungannya dengan Denis.

“Thanks a lot, Mil,” ujar Denis seraya mengambil satu cupcakes-nya. Enak, rasa coklat yang langsung meleleh di mulut. “Wow, enak banget Mil. Untung ya kita taruhan, kalau engga lo pasti masih ga bisa pegang mixer sampai sekarang,” candanya.

Mendengar pujian tulus Denis, wajah Mila merona merah. Meskipun ia bersikeras bahwa hubungannya dengan Denis tak lebih dari teman, Mila tak bisa mengabaikan percik api di antara mereka. Bahkan saat ini degup jantungnya melebihi batas normal.

“Ini bukan gara-gara taruhan kita kok, Nis.”

Denis angkat alis. “Oh ya? Terus?”

Mila menghela nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya sebelum menjawab. “Gue emang belajar masak gara-gara lo.”

“Lo beneran usaha buat memenuhi kriteria cewek idaman gue ya Mil?” goda Denis.

Mila semakin blushing dibuatnya. Salah banget gue ngomong kaya gitu, batin Mila. Belum sempat ia menyanggah perkataan Denis, cowok itu kembali buka mulut.

Merasa posisinya di atas angin, Denis mengambil sebuah cupcakes lagi dengan gestur sok ganteng. “Kamila... Kamila..., nggak usah usaha juga gue udah suka kok,” jawabnya enteng seraya mengoleskan secuil krim cupcakes rasa vanilla di pipi kanan sang gadis.

***

No comments:

Post a Comment