Monday, August 29, 2011

Autumn Destiny

 5 Juli 2011 
Naruto © Masashi Kishimoto
Nara Shikamaru & Yamanaka Ino
Story © Khairunnisa Putri Kanhida 

Musim gugur yang indah di Konohagakure.
Rumah Sakit Umum Konoha

“Bisakah kau berhenti ngomong?” desis Ino pada pemuda berambut nanas di ujung ruangan.

“Hei, aku kemari untuk menjenguk Sakura, bukan untuk bicara denganmu,” balasnya.

“Masa? Tapi ketahui lah tuan ninja, ini rumah sakit.”

“Terus? Sakura juga nggak keberatan, kenapa kamu yang bawel?”

Sakura, Sasuke, dan Tenten tergelak menyaksikan adu mulut antara Yamanaka Ino dan Nara Shikamaru yang sedang berlangsung live di depan mereka. Dua orang yang saling suka—tapi pura-pura saling benci, yang sama-sama gengsi untuk menyatakan perasaan masing-masing.

“Sudah sudah, kasian Sakura dong kalau kalian ribut terus, lanjutkan di luar gih,” ujar Sasuke sambil mengerling sang kekasih yang terbaring di sisinya. Ino mendengus kesal.

“Tidak mau, aku kan kesini mau mengobrol sama Sakura, Shikamaru saja yang pulang,” seru Ino.

“Cih, yasudah. Ayo kita pulang Tenten, males ngobrol sama cewek merepotkan kaya Ino,” balas Shika sambil menarik lengan Tenten. Tenten tersenyum geli melihat polah chunin di sebelahnya.

“Kalau begitu kami pulang ya Sakura, cepatlah sembuh,” ujar Tenten. Kini pandangannya beralih menatap pemuda di samping Sakura. “Oh ya, ada yang ingin kubicarakan denganmu Sasuke, seputar misi perlindungan Konoha. Kamu koordinatornya kan?” Sasuke mengangguk kemudian mereka bertiga melangkah keluar ruangan, meninggalkan Ino dan Sakura berdua saja.

“Dia bilang aku cewek merepotkan? Hih seharusnya ngaca dulu,” gerutu Ino.

“Kurasa Shika berkata jujur,” mata Sakura berkilat jahil disertai sekilas senyum yang bermain di bibirnya.

“Iiih Sakura, ko malah mendukung dia sih?”

“Bukan begitu, tapi sampai kapan sih kamu mau bohongin perasaan kamu sendiri?” tanya Sakura.

“Bohongin perasaan gimana?” Ino berbalik memunggungi Sakura, berpura-pura sibuk menata rangkaian bunga freesia di atas meja.

Sakura menghela nafas panjang. “Ya itu, jelas-jelas kamu dan Shika itu saling suka, kenapa sih harus gengsi-gengsi terus? Hati-hati ya Ino, kalau nggak gerak cepet, nanti dia keburu diambil orang.”

Ino terhenyak pelan. Ingin rasanya ia menyanggah seluruh perkataan Sakura. Namun bagaimana jika kata demi kata yang keluar dari mulut sahabatnya itu seluruhnya benar? Ino sadar betul akan hal itu. Sakura selalu bisa mengutarakan hal-hal yang mengganjal hati Ino. Hal-hal yang bahkan tak mampu ia utarakan sendiri.

“M-maaf Ino, aku tak bermaksud

“Sudahlah, jangan menyesal telah berkata jujur. Kau benar, aku mungkin memang menyukainya, tapi bertepuk sebelah tangan.”

“Yang benar saja, memangnya kau tahu dari mana soal isi hati Shikamaru?”

“Dia menyebutku cewek merepotkan Sakura,”

“Dan kau menyebutnya besar mulut, bawel, menyebalkan, tapi kau tetap suka,”

“Tapi kita berdua tahu dia orang yang blak-blakan tentang isi pikirannya, kalau dia bilang aku merepotkan ya artinya dia memang berpikir aku merepotkan,” cerocos Ino.

“Kau memang merepotkan, satu-satunya cewek merepotkan yang menyita perhatiannya.”

“Sejak kapan kau beralih profesi jadi cenayang?” Suara Ino meninggi.

Sakura menarik nafas dalam-dalam. Sahabatnya itu memang keras kepala. “Duduklah,” pintanya seraya menepuk tepi kasurnya. Ino patuh. Sakura maklum akan kondisi perasaan Ino yang terombang-ambing tanpa kepastian. Dirinya sendiri pun pernah mengalami pahit manisnya cinta. Namun beruntungnya, usahanya kini berbuah manis: Sasuke akhirnya memberi kepastian. Dirangkulnya bahu sahabat karibnya itu dengan lembut dan penuh rasa simpati.

“Percayalah Ino, ini tidak seburuk yang kau pikirkan. Terserah kalau kau memilih menyimpannya dalam hati, hanya saja, jangan menyerah sebelum berusaha. Nanti kau menyesal, mengerti?”
***

Daiji Ramen

“Jadi, siapa saja chunin yang sudah kau pilih untuk misi khusus kali ini?” Tenten memulai.

“Untuk divisi timur pemimpinnya aku. Anggotanya Chouji, Hinata, Ino, dan Lee. Untuk divisi barat aku memilih Shikamaru sebagai pemimpin. Anggotanya Kiba, Neiji, kau, dan Naruto,” jelas Sasuke.

“Heeeh? Kau masukan bocah berambut jagung itu dalam timku? Tidak bisa!” protes Shikamaru.

“Sudahlah, kau kan ahli strategi Shika, Naruto itu berguna kok.”

Tenten tertawa seraya bangkit dari duduknya. Meletakkan setumpuk yen di atas meja. “Aku pulang duluan ya, ada janji dengan Neji, daaaah,” ucapnya dalam nada super centil.

Shikamaru buka mulut lagi. “Tapi ngomong-ngomong, pembagian tim yang bagus Sasuke.”

“Masa?” si lawan bicara mengernyit tidak percaya. “Tidakkah kau ingin menukar salah seorang ninjamu? Mungkin dengan seorang kunoichi wanita di timku?” godanya.

Shikamaru menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa. “Aku tahu maksud arah pembicaraan ini. Kenapa sih kau jadi ikut-ikutan bergosip? Pasti diajak Sakura,” cerocosnya.

Sasuke tergelak mendengar tuduhan itu. “Tidak juga, tapi ayolaaah, kalau suka sama suka kenapa ngga dijadiin aja? Dan aku tahu dari Asuma dan Kakashi, bukan Sakura,” paparnya diiringi kedipan jahil. “Kau mungkin ahli strategi perang, tapi rupanya bukan ahli dalam urusan asmara ya?”

“Diam kau, kau sendiri baru jadian dengan Sakura dua bulan ini kan, setelah perjuangan bertahun-tahun,” semprot Shikamaru tepat sasaran, membungkam Sasuke dan ceramahnya tentang asmara.
***

Yamanaka Florist

“Bunga apa yang sebaiknya kuberikan untuk kekasihku?” tanya seorang pelanggan. “Aku ingin bunga-bunga yang indah dan mewakili perasaanku kepadanya.”

Ino berpikir sejenak. “Hmm, mungkin sebaiknya mawar merah, lavender, dan forget-me-not. Mawar merah melambangkan kau sedang  jatuh cinta, lavender melambangkan kesetiaan, dan forget-me-not berarti true love. Warnanya merah, ungu, dan biru langit,” jelasnya.

“Perfect. Jadikan satu rangkaian saja.”

Dengan cekatan kunoichi berwajah cantik itu merangkai bunga-bunga pilihannya dalam satu buket. Bunga lavender di tengah, kemudian bunga mawar merah dikelilingi bunga forget-me-not. Pekerjaan mudah, ia telah melakukan ini selama bertahun-tahun bahkan sejak dirinya masih menjadi murid di sekolah ninja Konoha. “Ini dia, semuanya 3000 yen,” ucapnya seraya menyerahkan rangkaian bunga pada pelanggan yang tampak puas akan hasil karya gadis itu.

“Terimakasih banyak,” ujarnya seraya berjalan meninggalkan toko. Kekasih. Satu kata yang sejak tadi berputar-putar di benak Ino. Senangnya punya kekasih yang akan memberinya rangkaian bunga. Meskipun hari-harinya dihabiskan di toko bunga, rasanya pasti akan lebih menyenangkan kalau seseorang spesial yang memberikannya.

“Inooo!” Kedatangan Tenten dan Hinata memecah lamunan Ino.

Seketika rona wajahnya berubah ceria. “Hei, tumben kalian kemari, mau beli bunga?”

“Eh? Tidak, sebetulnya kami ingin mengajakmu main,” jawab Tenten.

“Main? Main kemana?”

“Ke rumahku, anak-anak sedang mengadakan pesta di kolam. Rame kok, ada Kiba, Shino, Chouji, Lee, Sasuke, Neji, dan Shika.” Kali ini Hinata yang menjawab.

Shika lagi. Lagi-lagi nama yang membuat Ino merasa deg-degan. “Tapi aku kan harus kerja, nanti siapa yang jaga toko?”

“Ayolaaah, kumohon Ino,” rengek Tenten sambil memasang senjata pamungkasnya, puppy face.

Ino menghela nafas sambil melepas celemek kerjanya. “Baiklah, aku bilang ibu dulu. Sebentar ya.”

“Yes!” Tenten dan Hinata melakukan high five penuh kemenangan.
***

“Inoooo, kamu bawa makanan ya?” sambut Choji.

Ino tertawa refleks melihat polah sahabat satu timnya itu. “Iya, nih,” ujarnya seraya menyodorkan kantong plastik berisi makanan ringan. Gadis itu menyomot keripik gandum sambil mengecangkan ikatan ekor kudanya.

“Ini pesta dalam rangka apa sih? Kok aku baru tahu ya?” tanya Ino.

“Hahu huha ha hau, hahu hau hahi hahi.” Choji menjawab tidak jelas.

“Telan dulu makananmu.” Ino berkata cuek, sudah terlalu terbiasa dengan tingkah lakunya.

“Aku juga nggak tau, baru tau tadi pagi, dikasih tau Shikamaru.”

“Shikamaru? Sejak kapan tukang mikir itu jadi akrab sama suasana pesta, dia kan biasanya lebih suka mengurung diri di rumah, main catur sama Asuma, atau makan ramen di—“

“SHIKAAAAA!” teriakan Tenten membuyarkan konsentrasi Ino. Seketika lututnya lemas. Ada apa dengan Shikamaru-nya? Cepat-cepat ia berlari menuju arah datangnya suara. Dilihatnya pemuda berambut nanas itu terbaring di sisi kolam. Matanya terpejam dan bibirnya pucat.

“Woy Shika, bangunlah, ini tidak lucu!” seru Sasuke.

Ino terduduk di samping Shikamaru. Matanya mulai berkaca-kaca. Susah payah ditahannya air mata yang membanjiri pelupuknya. “Shi...ka,” ucapnya disela-sela tangisannya. Di sisi yang lain Sasuke sibuk menekan perut Shikamaru, berusaha mengeluarkan air dari tubuhnya.

Gadis itu menangis tersedu-sedu. “Bangunlaaaah,” rintihnya. “Shika, kumohon jangan ma...ti. Kau ini, bo...doh.”

“Masa? Orang bilang aku jenius,” jawab Shikamaru. Cengiran lebar menghiasi wajah tengilnya. Sasuke menyingkir meninggalkan ia dan Ino. Rupanya sejak awal pemuda itu hanya pura-pura.

Mata Ino berkilat marah. Wajahnya yang masih sembab serasa terbakar. “Kau...tidak lucu!” serunya. Ia hendak bangkit tapi Shikamaru mencegahnya. Raut wajahnya berubah serius. Maniknya menatap mata gadis di hadapannya lekat-lekat.

“Menangisiku, Ino?” tanyanya disertai senyum yang luar biasa puas.

“Diam kau,” desis Ino. Ia malu sekali telah buang-buang air mata demi orang menyebalkan di hadapannya. Sangat konyol.

Dengan satu tangan masih menggenggam pergelangan tangan Ino, Shikamaru tertawa terbahak-bahak. Jemarinya yang bebas merogoh sakunya. Menarik sebuah kotak berwarna hijau tentara yang kini basah terkena air. Dibukanya kotak itu perlahan. Sebuah cincin. Ino bertanya-tanya tanpa suara.

Perlahan-lahan ia menarik keluar perhiasan mungil itu. “Ini adalah warisan keluargaku,” ucapnya sambil meraih jemari Ino. Gadis itu terkejut dan refleks menarik tangannya menjauh.

“A—apa maksudnya?”

Seulas senyum tersungging di bibir Shikamaru. “Aku telah menjatuhkan pilihanku.”

“Pilihan apa?”

“Ayahku menggunakan cincin itu saat melamar ibuku. Begitu juga kakekku.”

“Apa kau melamarku?”

“Well...., semacam itulah.”

“A-apa? Kau gila Shikamaru, kita baru 17 tahun!”

“Lantas?”

“Mm-memangnya kau tidak ingin melamar gadis lain? Umurmu masih panjang lho, masih banyak waktu untuk ini dan itu, tidak harus cepat-cepat menikah kan?” cerocos Ino panjang lebar.

“Aku tidak peduli walaupun umur kita enam tahun. Yang pasti, aku sudah memilih,” jelasnya.

“T—“

“Dengar,” potong Shikamaru. “Aku tidak mengajakmu menikah besok, minggu depan, atau bahkan bulan depan. Cincin ini adalah simbol bahwa aku akan menikahimu, suatu hari nanti.”

“Kau akan menikahiku? Tapi, kau bahkan belum menyatakan perasaanmu padaku!”

Shikamaru menghela nafas panjang. “Bisakah kau tidak usah mempersulit keadaan?”

“Tapi aku mau dengar!” keukeuh Ino.

“Kau tahu, aku paling tidak bisadan tidak maubasa-basi, apalagi untuk masalah seperti ini,” ujarnya seraya memasukkan cincin itu di jari manis Ino.

Gadis itu hampir menangis. Kali ini, tangis bahagia. Hari ini mungkin hari paling indah selama tujuh belas tahun masa hidupnya. Perasaan itu akhirnya berbalas, tak lagi menggantung tak jelas layaknya boneka peminta hujan. Ditatapnya cincin kuno yang kini tersemat di jarinya. Ia tidak menyangka Shikamaru akan melamarnya. Rasanya tidak sabar untuk menceritakan semua detailnya pada Sakura.

“SUIT SWIWWW!”

Suara super kencang mengembalikan Ino ke realita. Spontan gadis itu menoleh. Di belakangnya para ninja tertawa terbahak-bahak. Rupanya sejak tadi ia menjadi tontonan publik. Dengan wajah bersemu merah, irisnya kembali menatap Shikamaru.

Ninja jenius yang mulai saat ini akan selalu ada untuknya.

***

No comments:

Post a Comment