Monday, August 29, 2011

Sekotak Cinta dan Onigiri

6 Juli 2011
Detective Conan © Aoyama Gosho
Heiji Hattori & Kazuha Toyama
Story © Khairunnisa Putri Kanhida


Detektif muda itu menatap iba mayat di hadapannya. Pembunuhan yang lagi-lagi didasari oleh balas dendam akibat cinta yang tak terbalas. Konyol sekali para manusia ini, mengatasnamakan cinta sebagai motif pembunuhan yang mereka rencanakan sebelumnya. Klasik, namun bodoh.

Sebuah kurva tersungging di bibirnya. Tak salah lagi, hipotesanya tak mungkin salah.

“Huh, itu bukanlah trik yang sulit ditebak. Tapi jujur saja, hebat sekali kau melakukan semua itu sendiri. Dan mungkin alasanmu meletakkan mayatnya tepat di bawah air terjun adalah agar ia merasakan sakit ketika air menyentuh luka-luka di tubuhnya, seperti rasa sakit yang kau rasakan ketika ia mencampakkanmu. Benarkah analisisku ini, Nona Mizuki?”

Mizuki Itami tersenyum puas mendengar analisis pemuda jenius di hadapannya—Heiji Hatori. “Tepat sekali. Tapi kau salah terka tuan detektif, tujuanku meletakkan mayat itu di bawah air adalah karena aku masih sangat mencintainya. Dalam hati aku berharap aliran air itu akan menghapus noda darah pada tubuhnya.”

“Sudah, ceritanya lanjutkan di kantor polisi saja,” potong Inspektur Okagi. Polisi veteran itu memberi komando pada anak buahnya untuk memborgol Mizuki. “Nah, terimakasih banyak Heiji, kau sangat berguna hari ini. Mau ikut kami mengintrogasi tersangka?” lanjutnya, berpaling menghadap Heiji.

Heiji menggeleng. “Sepertinya kali ini tidak, Inspektur?”

“Lho, kenapa? Kan lumayan untuk referensimu di masa depan.”

“Memang, tapi aku disini bukan untuk kasus melainkan kencan,” jawabnya disertai senyum jahil.
 ***

“Maaf membuatmu menunggu, Kazuha.” Heiji berkata dengan wajah pura-pura menyesal.

Kazuha melotot. “Kau bilang sebentar, nyatanya? Huh dasar gila teka-teki!”

“Yah habis bagaimana dong, aku nggak bisa nahan diri kalau sudah ketemu kasus.”

“Bilang dong kalau kasusnya kira-kira lama, bosen tahu nunggunya, kan ada hp, bisa tinggal sms!”

“Bawel, aku kan sibuk mikir, mana inget ada kamu!”

“Huuuh dasar nyebelin! Banyak nyamuk tau disini,” rengek Kazuha.

Heiji terkekeh. “Salah sendiri pilih Air Terjun Mino, alam terbuka seperti ini kan memang banyak hewan liarnya.”

“Habisnya sayang kalau ke Universal Studio, mahal, lagipula—“

“Kenapa harus mikirin harga sih? Kan aku yang traktir, lagian uangnya juga hadiah dari kejuaraan kendo tahun lalu,” potong Heiji.

“Lagipula kau akan menghabiskan setengah waktu kita disana untuk memecahkan kasus, jadinya sia-sia saja jalan-jalan kesana. Dengar dulu makanya! Lagipula kalau disana tidak bisa....”

“Tidak bisa....” Kazuha diam lagi.

Heiji mengangkat sebelah alisnya,menunggu. “Tidak bisa apa?”

“...kita berjalan saja,” ujar Kazuha akhirnya, tidak berniat melanjutkan pembicaraannya yang tiba-tiba terhenti.

“Ngomong-ngomong, aku lapar deh, mau cari restoran di dekat sini?” tanya Heiji.

Kazuha hampir saja mengangguk. Tiba-tiba ia teringat akan bekal makanan yang tersimpan di dalam tasnya. “Tidak usah ke restoran, aku sudah buatkan bekal untuk kita berdua.”

Heiji mengernyit. “Buatanmu? Tidak mau, aku mau makan di restoran saja.”

“Ugh, Heiji! Kau ini menyebalkan sekali sih!” serunya seraya memukul lengan kiri Heiji.

“Haha, bercanda. Iya iya, siapa juga yang mau keluarkan uang untuk makan selagi ada yang gratis. Nah, kita duduk disitu aja ya, di rumputnya,” ujarnya sambil menunjuk hamparan rumput di pinggir danau.

Kazuha tersipu sesaat. Piknik di pinggir danau, menggunakan tikar kecil, dan makan masakan buatannya, bukankah itu akan jadi hal paling romantis yang akan dilakukannya bersama pemuda Hatori di sampingnya? Akhirnya, sebuah acara jalan-jalan yang normal.

“Eh tapi, nggak usah sewa tikar ya? Lumayan tuh 400 yen,” tambah Heiji.

Yang benar saja, masa nggak pakai tikar?

“Apa? Pelit banget sih kamu! Huh, sini biar aku yang bayar, daripada kita gatel-gatel duduk di rumput.” Kazuha meraih dompetnya, mengeluarkan setumpuk yen dari dalamnya.

Heiji tertawa menyaksikan polah teman wanitanya. Menarik uang tunai 400 yen dari sakunya. “Bodoh, mana mungkin aku membiarkanmu bayar? Nih,” lanjutnya sambil mengacak-acak rambut Kazuha, membuat gadis itu mendelik sebal.

Mereka pun duduk di tikar mungil sewaan Heiji. Kazuha mengeluarkan dua kotak makan berwarna coklat berisi bento onigiri tuna. Paket makan siang lengkap yang dibuatnya dengan sepenuh hati. Ia mengulurkan satu kepada Heiji. Mereka pun makan dengan lahap.

“Ini buatanmu sendiri? Semuanya?” tanya Heiji sambil menghabiskan onigirinya.

“Ya, dibantu ibuku sedikit. Agak susah memasukkan tunanya.”

“Wah wah, tak kusangka cewek kaya cowok sepertimu pintar memasak.”

“Ngomong apaan sih, dari dulu aku kan sering mengirimimu bekal buatanku sendiri, masa lupa? Lagipula, aku ini cewek tulen tau!” Kazuha membela diri, mendaratkan sebuah jitakan halus di ubun-ubun Heiji. Ia dibilang cewek-kaya-cowok? Cowok ini memang nggak tahu diri!

“Adawww! Tuh kan, kamu galak sih kaya cowok.”

“Uuuuh, Heiji nyebeeeelin!”

“Hahaha iya deh maaf.” Heiji meletakkan sumpitnya lalu menutup kotak bekalnya. “Lagian aku inget kok kamu sering buatin bekal untuk aku, mana mungkin aku lupa. Oh ya, sebetulnya ada yang mau aku omongin sama kamu.”

Kazuha tertegun, seketika nafsu makannya hilang. “E-eh, tentang apa?”

Heiji memasang tampang serius. “Sebetulnya udah lama aku mau ngomong sama kamu, tapi malu.”

Gadis Osaka itu masih menunggu.

“Sebetulnya aku... aku suka....”

Suka...? Detak jantung Kazuha semakin tak beraturan. Ia tak sabar menunggu kata-kata yang akan keluar dari mulut detektif di hadapannya. Heiji suka aku?

“Sejak dulu aku suka... “

Deg.

“...onigiri buatanmu.”

Anti klimaks.  Kazuha tertawa keras-keras menutupi rasa malunya. Heiji sialan! Menyebalkan sekali cowok ini, membuatnya deg-degan setengah mati. Dipikirnya Heiji akan bilang sesuatu seperti sudah-lama-aku-suka-padamu-Kazuha, atau sejak-kecil-aku-suka-padamu-hanya-saja aku-malu-mengatakannya. Huh, wajahnya memerah karena malu.

No comments:

Post a Comment