Monday, August 29, 2011

Cherry Blossoms

13 Juli 2011
Detective Conan © Aoyama Gosho
Central characters: Shinichi Kudo & Ran Mouri
Additional Characters: Yusaku Kudo, Eri Mouri, Ai Haibara, & Profesor Agasa
Story © Khairunnisa Putri Kanhida



Rumah Profesor Agasa, 16:30
“Anu Ran, Shinmaksudku Conan, sedang mencoba skateboard barunya bersama Genta dan Mitsuhiko. Paling tidak mereka baru akan kembali satu jam lagi,” jelas Profesor Agasa.

“Begitu ya. Ya sudah aku tunggu disini saja ya Profesor, boleh kan?” Ran bertanya sambil melirik arloji di tangan kanannya.

“Tentu boleh dong, tapi aku ada perlu sebentar ke minimarket di sebrang jalan, kamu disini sama Ai ya, nggak keberatan kan Ran? Sebentar saja kok, paling lama 30 menit.”

“Eh? Ya, tentu saja nggak keberatan, ya kan Ai?”

Ai tersenyum. “Ya, tentu saja ,” jawabnya.

Giliran Profesor Agasa tersenyum lega. “Kalau gitu kalian baik-baik ya, hati-hati di rumah,” pesannya.

.

.

“Nah, bagaimana kalau kita nonton tv saja?” tanya Ai sambil meraih remot, memindahkan televisi ke saluran 5 tanpa menunggu jawaban Ran. 

Saluran tersebut menayangkan liputan singkat mengenai Taman Inogashira di kota Musashino, taman wisata yang terkenal dengan keindahan bunga sakuranya di musim semi. Sebuah lengkung indah tersungging di bibir Ran tatkala gadis itu menyaksikan tayangan di televisi. Sorot matanya begitu damai dan penuh cinta.

Ai menangkap gelagat ini. “Kenapa?” tanyanya langsung.

Ran tersadar dari lamunannya. Ia tertawa kecil menanggapi pertanyaan Ai. “Ah? Tidak, tidak apa-apa. Hanya saja aku punya kenangan manis yang tak terlupakan yang berkaitan dengan bunga sakura,” jawabnya terus terang.

“Kenangan manis...bersama orang yang disayang ya?”

Juara karate tingkat kota itu tertawa lagi, kali ini pipinya bersemburat merah. “Ya, bersama si gila teka-teki yang dingin itu. Ai mau dengar ceritanya?” tawarnya.

“Eh, boleh?” tanya Ai tidak percaya. Ran mau berbagi cerita pribadi dengannya?

“Hmm..., sebetulnya ini cerita lama sekali. Terjadinya kira-kira 10 tahun yang lalu....”
 ***

Rumah kediaman Kogoro Mouri, musim semi 2001.

“Maaf lagi-lagi menyusahkanmu Eri,” ujar Yusaku Kudo pada si tuan rumah.

Eriistri Kogoromenggeleng lembut. “Santai saja Yusaku, kita kan sudah seperti keluarga. Ngomong-ngomong Yukiko kemana? Biasanya dia yang menjemput Shin,” tanyanya.

“Casting untuk film layar lebar berjudul ‘Sandiwara Boneka’, dia ingin sekali mendapatkan peran itu.”

Eri setengah terkejut. “Wow, Yukiko kembali ke dunia perfilm-an? Padahal katanya sudah bosan.”

“Well, sebetulnya karena dia melihat akting aktris-aktris baru yang menurutnya terlalu biasa, tidak cocok memerankan Haruna dalam film ternama itu, makanya Yukiko mencalonkan dirinya sendiri,” jelas Yusaku.

Lawan bicaranya manggut-manggut mendengar penjelasan itu. “Baiklah, katakan padanya semoga beruntung. Kubuatkan teh dulu ya, tunggu sebentar.” Eri berjalan ke arah dapur.

.

Yusaku Kudo mengedarkan pandangannya, meneliti setiap sudut rumah keluarga Mouri. Pandangannya jatuh pada dua anak berusia tujuh tahun yang sedang asyik bermain monopoli di ruang keluarga. Salah satunya adalah putra tunggalnya, Shinichi Kudo.

“Menyerah saja Ran, kamu bangkrut tuh,” ujar Shinichi dengan gaya tengil.

Ran Mouri menggeleng kuat-kuat. “Nggak, enak aja.”

Shin menguap lebar-lebar, pura-pura bosan. “Sudahlah, kasian tuh pinjam uang mulu sama bank. Lagian bosen tau menang mulu,” ledeknya.

Gadis di hadapannya meletakkan dadu yang hendak dilemparnya. “Yah, kau benar. Aku juga bosan kalah terus. Eh Shin, pasti seru ya kalau punya uang banyak seperti yang di monopoli!” serunya.

Shinichi melengos pelan. “Apa serunya? Nanti beli apa-apa jadi gampang, nggak ada tantangannya tau,” timpalnya cuek.

“Huh, itu sih menurut kamu yang gila tantangan. Tapi pasti seru lho, apalagi kalau uang itu dapatnya dari harta ka....”

“Eh, kenapa Ran?”

Ran tersenyum lebar sekali. “Harta karun! Itu dia Shinichi, ayo kita cari harta karun!”

Cowok tengil di depannya tertawa terbahak-bahak. “Yang benar saja, kau pikir kita hidup di zaman edo, sekarang kan hampir semua wilayah tanahnya sudah di beton, mana ada tempat buat gali menggali harta karun.”

“Aaaah, Shinichi payah ah nggak seru!”

Yusaku yang sedari tadi menonton tiba-tiba tersenyum jahil melihat tingkah laku Shinichi dan putri Mouri di hadapannya.

“Hei, kenapa kamu senyum-senyum sendiri, Yusaku?” tanya Eri.

“Eh? Oh, tidak, tidak apa-apa,” jawabnya sambil menyeruput teh yang dihidangkan Eri. Senyum jahil masih menghiasi wajah tampannya.

Keesokan harinya,
Sepulang sekolah di SD Teitan

Shinichi Kudo sedang membereskan buku-bukunya ketika sebuah amplop putih terjatuh dari buku sastra Jepangnya. Isinya, tentu saja sepucuk surat. Sebuah surat tantangan yang ditujukan untuk detektif cilik Shinichi Kudo.

Ingin harta karun yang tak ternilai harganya?
Ikutilah petunjuk yang kuberikan
Distrik ternama tempat si rambut merah yang baik hati
Petunjuk berikutnya akan kau temukan disana

“Hei Ran, sepertinya permohonanmu terkabul, baca nih,” ucapnya sambil menyerahkan surat itu kepada Ran. Gadis itu tampak luar biasa senang.

“Ayo Shinichi ayo! Kamu mau ngikutin petunjuk ini kan?” Ayolaaaah,” desak Ran.

Shinichi terkekeh. Sepertinya rencananya bermain sepak bola sepulang sekolah harus dibatalkan. “Iya iya, kalau gitu kita pulang dulu, ganti baju dan makan. Nanti kujemput kau sekitar satu jam lagi, gimana?” usulnya. Ran mengangguk setuju.

Satu jam kemudian...

“H-hei, kamu bawa apa aja sih Ran?!”

Gadis yang diajak bicara tampak kesulitan membawa barang bawaannya. “Ugh, bantuin dong Shin, berat nih!”

Shinichi tertawa geli menatap sahabatnya. Diraihnya tas ransel yang sejak tadi Ran bawa dengan susah payah. “Kamu bawa dua tas? Yang benar saja, kita kan bukan mau jalan-jalan.”

“Iya tau kok, itu isinya baju ganti, makan siang buat kita berdua, air mineral, senter, kotak P3K, peta Tokyo, sama payung. Semuanya penting tau.”

“Huh yasudah,” balasnya cuek. Shinichi melirik singkat figur Ran yang hari ini tampak fresh. Ia mengenakan atasan floral dengan celana pendek di atas lutut. Rambutnya ditarik ke belakang dengan bando berwarna merah, senada dengan motif bunga di bajunya.

“Jadi, kita kemana dulu nih Shin?” tanyanya.

Shinichi berpikir sejenak. “Entahlah, sambil berjalan saja. Menurutmu rambut merah yang baik itu apa ya?”

“Entahlah, mungkin sebuah simbol atau maskot lembaga tertentu?”

“Lembaga apa?”

“Hmm tidak tahu, mungkin mall, hotel, atau rumah makan. Iya ngga sih?”

Rumah makan! Rasanya pernah, sesuatu yang terkenal. Shinichi tahu. Tapi apa? Dia bahkan tak bisa mengingatnya sama sekali. Sesuatu yang berambut merah dan baik hati? Mungkin Wendy’s atau

McDonalds! Itu dia, rambut merah baik hati maksudnya adalah Ronald McDonald, maskot restoran cepat saji itu. Dia baik hati karena sosoknya selalu tersenyum ramah menyapa pelanggan.”

Ran menatap cowok cerdas yang baru saja mengutarakan hasil pemikirannya. “Eh tapi di distrik ini ngga ada McD lho, lagian surat itu bilang distrik ternama kan?”

“Ya, distrik ternama  yang dekat sini ada dua, Shibuya dan Ikebukuro. Shibuya lebih dekat, karena itu pasti maksudnya McD di Shibuya. Ayo cepat kita berangkat!” serunya bersemangat.

Shin memang cerdas! “Ah, berangkat kemana, Shin?”

“Tentu saja stasiun dong, ayo Ran!”

.

Sepuluh menit kemudian mereka tiba di stasiun, Ran menunggu di peron 5 sementara Shin pergi membeli tiket untuk mereka berdua. Kini mereka telah berada di kereta yang menuju stasiun Shibuya.

“Kira-kira isi harta karunnya apa ya? Jangan-jangan emas, uang, atau jangan-jangan mayat seperti yang ada di film kamen yaiba? Hiiiy sereeeem.”

Shinichi terkekeh. “Kurasa bukan sesuatu seperti itu, jangan berharap terlalu banyak Ran.”

“Eh, lalu harta karun seperti apa ini menurutmu?” Ran bertanya balik.

“Entahlah, kita lihat saja nanti. Ayo Ran, kita sudah sampai, lekas turun!” ajaknya.

.

.

“Itu McD Shin, di sebelah sana!” Ran berkata sambil menunjuk sebuah plang besar tak jauh dari mereka. Patung Ronald McDonald telah menunggu mereka dalam gayanya yang khas, ramah dan selalu tersenyum. Di kakinya tertempel secarik kertas berwarna sama dengannya, merah. Shin menarik kertas itu dan membacanya bersama dengan Ran.

Selamat Shinichi Kudo, petunjuk pertama berhasil kau pecahkan
Yang setia selalu menunggu, tak pernah berubah atau pun pergi
Good luck!

“Yang setia selalu menunggu, tak pernah berubah atau pun pergi?” Ran mengulang petunjuk kedua dalam nada bertanya.

“Ya, menurutmu siapa yang paling setia?”

“Eh? Maksudmu siapa itu siapa apanya? Mungkin istri atau suami, mana kutahu.”

Shin berpikir keras. Ingatannya kembali pada percakapannya dengan ayahnya. Suatu hari ia membaca draft novel terbaru ayahnya tentang seorang pria penyendiri. Ia tidak mau berhubungan dengan wanita mana pun karena baginya semua wanita sama saja, tidak setia. Hingga akhirnya dia menemukan seekor anjing yang sangat setia padanya. Kehadiran anjing itu melengkapi hidupnya.

Kelanjutan novel itu, Shinichi tidak terlalu peduli. Yang jelas itulah jawaban petunjuk kedua: anjing. Sebuah lengkung terbentuk di bibirnya, tampak puas dengan kesimpulannya sendiri.

“Heh kamu pasti udah tau ya? Kasih tau dong!” rengek Ran.

“Iya. Eh Ran, kamu tahu nggak anjing mana yang paling setia?”

Ran berpikir sesaat. “Lho, itu sudah pasti Hachiko kan? Kamu pasti tahu ceritanya, tentang anjing yang setia menunggu pemiliknya sampai sepuluh tahun setelah pemiliknya itu meninggal.”

“Ya, itu dia jawabannya. Petunjuk berikutnya ada pada patung Hachiko, tak jauh dari stasiun Shibuya.”

“Benarkah? Kalau begitu ayo, aku penasaran sekali!” pekik Ran.

Mereka pun berjalan kembali menuju stasiun Shibuya, tempat patung Hachiko yang setia selalu menunggu tanpa pernah pergi dan berubah. Persis seperti dugaan Shinichi, petunjuk kedua tertempel di kaki Hachiko.


Kau memang cerdas detektif cilik, tapi bisakah kau pecahkan petunjuk kali ini?
Lima belas langkah ke kanan, tempat yang indah bagi buah ceri
Ya, ini adalah petunjuk terakhir
Selamat berjuang!

“Satu, dua, tiga,....” Ran berjalan ke kanan, mencoba memecahkan arti petunjuk itu secara harfiah. “Disini tidak ada apa-apa Shin, apalagi buah ceri,” lanjutnya. Tampak sedikit kecewa.

Shinichi tertawa geli. “Tentu saja bukan seperti itu, Ran. Hmm, coba lihat, kita berada di stasiun,” ujarnya sambil menunjuk peta persebaran stasiun di Tokyo.

“Eh, mungkinkah maksudnya 15 stasiun ke arah kanan?”

“Ya, stasiun Ueno. Masih mau ikut denganku Ran?”

“T-tentu saja, masa aku mau turun di tengah jalan dan pulang sih, ayo cepat beli tiket!”

.

.

Sepanjang perjalanan Shinichi sibuk berpikir. Buah ceri di Ueno? Lagipula kenapa harus di Ueno, jarak lokasi satu ke lokasi dua hanya terpaut paling tidak 500 meter. Sementara jarak lokasi kedua dan ketiga, 15 distrik. Yang benar saja.

“Kira-kira buah ceri disini maksudnya apa ya Ran, aku tidak

“Hmmm.” Ran menyenderkan kepalanya di bahu Shinichi. Rupanya sejak tadi ia tertidur.

“Aah payah, apa boleh buat kuselesaikan sendiri saja.”

Satu jam kemudian mereka tiba di stasiun Ueno. “Ran, bangun, kita sudah sampai. Ayo lekas turun?”

“Hmmapa? Oh, aku ketiduran ya?” Ran bertanya, masih linglung.

“Sudahlaaah, ayo cepat turun

.

.

Tak lama kemudian mereka menginjakkan kaki di tanah Ueno. Shin masih bingung dengan arti kata buah ceri yang tertera pada petunjuk terakhir. Pandangannya meneliti satu per satu objek yang ada di sekitarnya.

“Kita kemana Shin?” tanya Ran.

“Entahlah, aku belum memecahkan petunjuk yang terakhir. Kita berjalan saja.”

Ran patuh, mereka pun berjalan menyusuri trotoar terdekat. Pandangan Ran jatuh pada Taman Ueno.

“Hei, lihat itu Shin! Taman Ueno, tempat terbaik untuk melihat bunga sakura. Sekarang musim semi Shin, ayo kita kesana!”

Sakura!

Shinichi tersenyum puas, puzzle yang menyusun teka-teki itu kini lengkap. “Begitu rupanya.”

“Eh, apanya?”

“Petunjuk terakhir itu maksudnya Taman Ueno, buah ceri yang dimaksud adalah bunga sakura. Dalam bahasa Inggris, sakura berarti cherry blossoms. Penggunaan kata buah itu hanya sebagai pengecoh saja. Nah, ayo Ran!”

Mereka berjalan memasuki Taman Ueno. Hamparan bunga sakura yang sedang mekar merupakan pemandangan yang luar biasa indah.

“Inilah harta karunnya, pemandangan bunga sakura yang indah.” Shinichi menyimpulkan.

“Eh, kau yakin tidak mau menggali tanah sekitar sini? Siapa tahu harta yang sebenarnya terkubur disini,” usul Ran.

“Tidak, kurasa tantangan yang ditujukan padaku ini sepertinya untukmu, kau paling suka pemandangan bunga.”

“Masa?”

“Ya, dan sepertinya aku tahu siapa penantang misterius ini.” Ia tersenyum lagi, ingatannya melayang pada sosok ayahnya, Yusaku Kudo. Ya, orang yang diyakininya sebagai pemberi tantangan.

Ran masih tampak bingung dengan penjelasan Shinichi.

“Tidak usah dipikirkan. Nah, kamu bawa bekal untuk kita berdua kan? Ayo makan disini!”

“Ya, ya, aku bawa onigiri kesukaanmu, juga ada yakisoba dan minumannya.”
 ***

Ran sudah kembali ke masa kini. Di hadapannya tampak Ai Haibara yang terpukau oleh cerita masa kecilnya.

“Jadi sejak kecil Ran dan Shinichi kecil selalu main bareng ya?” tanyanya.

“Hmm, begitulah. Ngomong-ngomong sudah lama aku nggak dengar kabar darinya,” sahutnya. Dari irisnya terpancar sedikit kesedihan.

“Jangan khawatir, ia akan segera kembali! Percayalah!” Ai berkata berapi-api.

Ran terkejut sesaat. “Eh? Ya, pasti. Terimakasih ya Ai,” jawabnya disertai senyum tulus.


Mulai saat ini Ai bertekad akan berkerja siang dan malam untuk membuat obat penawar racun APTX 4869 yang menyusutkan tubuhnya dan Shinichi. Ya, dia bertekad mengembalikan Shinichi ke sisi Ran.

No comments:

Post a Comment