- Been a long time with no post! I miss writing so much. So. Damn. Much. Got a lot of ideas running out on my mind, actually.
- This is about an amateur writer with huge desire to be one. Konfliknya ngga banyak dan 'berat' sih. Just enjoy, critics would be so lovely :)
Seribu Buah Pikiran
A good reader makes a
good writer. Begitulah common belief
yang selama ini dipercayai orang-orang awam, termasuk Krisanti Azmi. Sejak
kecil, gadis berusia delapan belas tahun itu sangat gemar membaca. Kamarnya
dipenuhi rak-rak berisi novel, komik, buku-buku motivasi, jurnal, serta
bahan-bahan bacaan lainnya. Baginya, membaca merupakan petualangan seru yang
dapat dinikmati tanpa harus bergerak sedikit pun dari sofanya yang nyaman.
Nicholas Sparks, Dewi Lestari, dan Sitta Karina merupakan
sedikit dari sekian banyak novelis kesukaannya. Baginya, karya-karya mereka adalah
masterpiece yang fenomenal.
Masing-masing novelnya memiliki daya pikat tersendiri dan meninggalkan kesan
yang tak terlupakan.
Sebut saja novel-novel roman karya Sparks seperti The
Notebook dan A Walk To Remember. Dengan menonton filmnya saja sebagian besar
perempuan pasti menangis tersedu-sedu. Atau seri Supernova milik Dewi Lestari
yang meskipun penuh dengan scientific information tetap terasa mengagumkan. Kisah
cinta penuh konflik para cucu Hanafiah dalam karya-karya Sitta Karina pun
merupakan cerita-cerita terbaik yang selalu diingatnya.
Sejak masih duduk di bangku SD, Krisan mulai mengasah
kemampuan menulisnya. Dimulai dari dongeng-dongeng kecil yang sederhana, fan
fiksi-fan fiksi dari cerita yang sudah ada, cerpen-cerpen remaja yang
sekali-dua kali dimuat di majalah, sampai coba-coba menulis novelnya sendiri.
Menurutnya, penulis akan menjadi profesi
yang menyenangkan.
Keputusan ini diambil saat ia duduk di bangku kelas dua SMA.
Untuk itu, Krisan yang merupakan anak IPA nekat banting setir ke dunia sosial
demi masuk jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Indonesia. Meskipun akhirnya resmi menjadi mahasiswi sastra, kedua orang tuanya
masih setengah hati memberi izin. Mereka sangat mendukung cita-cita Krisan
sebelumnya, yaitu menjadi arsitek. Menurut mereka, menjadi penulis tidak harus
lulusan sastra.
Krisan tahu betul itu benar, hanya saja, ia tak ingin
menghabiskan waktu empat tahun bergelut dengan ilmu yang tidak akan
digunakannya di kemudian hari.
“San, dari tadi gue telfon ko ga diangkat sih? Daritadi gue
udah muter-muterin FIB, tanya-tanya orang, sampe sms cowo lu segala!” cerocos Latisha,
sahabatnya sejak SMA yang kini kuliah di jurusan tetangga, Sastra Inggris.
Krisan meraih ponselnya dengan ogah-ogahan. “All alerts off, Sha. Kenapa ga coba cari
ke kantin sih repot-repot muterin FIB segala?”
“Gue tadi ke kantin dalem, taunya lo nongkrong disini,” jawab
Latisha sambil berjalan menuju tukang minuman terdekat dan sejurus kemudian
kembali dengan sebotol minuman dingin. Kali ini ia mengambil kursi di depan
Krisan.
“Tadi gue dipanggil Pak Rahmat, katanya essay gue di mata
kuliah english literature bagus. Nilainya A+ dan sekarang dia nyuruh gue bikin
yang kaya gitu lagi, buat dimasukin ke portofolio tugas-tugas murid
berprestasi! Ga nyangka banget gue, karangan kebutan gitu dipuji-puji dosen
segarang doi.” Latisha berhenti, pandagannya tertuju pada kertas-kertas penuh
tulisan yang berserakan di meja. “Itu tugas?”
Krisan mengangguk bete. Menyadari mood sahabatnya yang sedang kurang bersahabat, Latisha bertanya
lagi. “Kenapa sih? Lagi berantem ya sama Nova? Apa kangen rumah?”
“Ngga dua-duanya,” jawab Krisan tanpa mengangkat wajahnya
dari kertas-kertas di hadapannya. Tangannya sibuk mencoret-coret bagian
tertentu. Ia sedang sangat suntuk dengan kuliahnya, ngga banget deh Latisha
pamer tentang essay-nya yang
dipuji-puji si dosen sementara nasibnya sedang bertolak belakang.
“Terus kenapa? Cerita dong!”
Krisan menghentikan aktivitasnya dan menatap Latisha yang
tengah menyeruput minumannya. Si bawel itu bukan tipe sahabat yang pengertian
yang langsung back off kalau ia
sedang malas cerita. Fudul banget gitu orangnya. “Kayanya gue ga bakat jadi
penulis deh.”
“Apa?! Ko tiba-tiba? Kenapa bisa mikir kaya gitu?” tanya
Latisha ngga kalah kepo dari sebelumnya.
“Ya gitu, kayanya tulisan gue ga cukup bagus. Ini aja cerpen
buat matkul keterampilan menulis kata dosennya kurang menarik, kurang twist, dan ending-nya bisa ditebak.”
Latisha melirik sekilas kertas-kertas yang tadi dicoret
Krisan sebelum kembali menatap sahabatnya. “Cuma karena satu tugas lo berpikir
untuk ganti cita-cita?”
“Gue takut kalo jalan bukan disini, Sha,” ujar Krisan jujur.
“Gini deh San, lu kan dari dulu seneng banget sama dunia buku
dan tulis-menulis ini, walaupun masih amatir lu udah nulis banyak cerita kan,
bagus-bagus kok, bahasanya ngalir, deskripsinya cantik, orang-orang juga pada
muji-muji tulisan lo. Kenapa tau-tau gini?”
Krisan menghela napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya. “Cerpen-cerpen
gue... masalahnya bukan di bahasa atau deskripsinya, Sha. Di ceritanya itu
sendiri.”
“Emang kenapa sama ceritanya? Ngga ngerti San,” Latisha
berkata clueless, jujur. Raut
wajahnya memancarkan tanda tanya besar.
“Gitu deh Sha,” balas Krisan singkat, malas membahas lebih
jauh. “Gue balik ke tempat kost dulu ah, ada kuliah lagi ntar sore,” ujarnya
seraya merapikan kertas-kertas dan memasukkannya ke dalam map plastik kemudian
meninggalkan Latisha yang masih bengong di tempatnya.
***
Krisan melirik sekilas benda bulat yang tergantung di
dindingnya sebelum kembali fokus pada layar mungil laptop kesayangannya. Benda
itu menunjukkan pukul sembilan lebih lima belas, waktu malam itu. Kesepuluh
jarinya berbaris di atas keyboard, siap menari dan menghasilkan rangkaian
kalimat yang indah. Namun, sejak tadi Krisan hanya menatap kosong layarnya.
Hanya ada dua paragraf yang tercetak pada halaman microsoft word itu. Pikirannya keburu buntu.
Krisan menyerah. Ia menghentikkan aktivitasnya dan berjalan
menuju rak novel, mengambil salah satu novel favoritnya—Èclair karya Prisca Primasari.
Ia membaca cepat, melompat ke halaman-halaman tertentu untuk membaca
bagian-bagian yang ia sukai. Imajinasinya berkembang dan sekilas senyum merekah
di bibirnya tatkala membaca kisah pertemuan Sergei dan Katya.
Detik berikutnya, Krisan menutup novel tersebut keras-keras.
Ia baru menyadari sesuatu. Sejak dulu, gadis itu selalu butuh pancingan untuk
memulai ceritanya. Entah itu dari membaca novel, cerpen-cerpen orang lain, atau
kisah-kisah film yang ditontonnya. Krisan selalu menyebutnya ‘terinspirasi’,
tetapi sekarang ia sadar, ide-idenya jarang yang bersifat orisinil.
Tentu saja karena hampir semuanya hasil terinspirasi dari
cerita lain.
Saat membaca Refrain karya Winna Efendi, Krisan terinspirasi
untuk menulis cerita tentang cinta dalam persahabatan—yang kemudian direalisasikan
dalam cerpennya yang berjudul Hatimorfosis. Saat membaca Aerial-nya Sitta
Karina, Krisan tertarik untuk menulis kisah fantasi serupa. Setelah membaca
Divortiare-nya Ika Natassa, Krisan buru-buru menyalakan laptop dan mencoba
menulis dengan gaya Ika yang cenderung slengean.
Krisan tercenung di sisi tempat tidurnya. Dulu waktu masih
senang menulis fan fiksi pun ia membuat cerita dari plot yang sudah ada, hanya
menambahkan bumbu-bumbu imajinasi pada ceritanya. Padahal ia tahu, seorang
penulis harus cerdas dan kreatif. Memang
ada novel best-seller yang ceritanya plagiat?
Tidak ingin memikirkannya lebih jauh, Krisan memilih tidur.
***
Riuh rendah celoteh para mahasiswa terdengar dari luar ruang
kelas. Dari tempatnya duduk, Krisan bisa mendengar jelas suara Aldo dan Rico
yang sedang melucu, disusul oleh denting tawa teman-temannya yang lain. Krisan
buru-buru mengalihkan pandangannya pada sosok berwibawa di hadapannya, Pak
Darma.
Sehari setelah malam perenungannya di kamar kost minggu lalu,
Krisan memutuskan menemui dosennya yang walaupun cukup galak termasuk peduli
kepada mahasiswanya. Saat itu Krisan menceritakan masalahnya dan
kendala-kendalanya saat mulai menulis. Rupanya Pak Darma menanggapi dengan
serius. Beliau bertanya sejauh apa Krisan ingin menjadi penulis, apa
motivasinya, dan apa yang akan ia lakukan jika tidak menjadi penulis. Beliau
pun meminta soft copy tulisan-tulisan
Krisan untuk dievaluasi.
“Saya sudah baca tulisan-tulisan kamu,” ujar Pak Darma
memulai pembicaraan. Krisan diam, menunggu. “Beberapa memang terasa familiar,
mudah ditebak, dan terlalu simpel. Ada juga yang konfliknya terlalu berat untuk
ukuran sebuah cerpen. Beberapa cukup bagus dan orisinil—entah karena saya jarang baca
novel remaja atau memang begitu.”
Krisan menghela napas dalam-dalam, belum ingin memberikan
tanggapan.
“Saya suka cerpen kamu yang judulnya Kaleidoskop dan Bunga
Terakhir. Ceritanya fresh, mengalir, dan sederhana. Bagaimana menurutmu?”
“S-saya... ya, kedua cerpen itu ide asli saya. Tapi saya rasa
cerpen-cerpen itu kurang greget, konfliknya ngga seperti cerita-cerita saya
yang lain.”
Kedua alis Pak Darma terangkat heran. “Yang ngga terinspirasi
dari cerita lain maksudnya? Kok kamu malah nggak pede sama tulisan yang idenya
benar-benar hasil brainstorming kamu
sih? Coba ceritain lagi, gimana sih proses ‘terinspirasi’ yang kamu maksud
itu.”
Gadis itu menghela napas lagi. “Biasanya habis baca novel
yang bagus, saya langsung dapat ide. Tapi ya idenya ngga jauh-jauh dari novel
yang habis saya baca. Biasanya saya langsung tulis apa yang ada di pikiran
saya, takut keburu lupa dan keburu ngga excited
sama tema itu.”
Pak Darma mengangguk-angguk mengerti. Beliau menanggalkan kacamatanya
dan menegakkan posisi duduknya. “Krisanti, ide itu buah pikiran. Ide yang baik harus
diendapkan dulu, ngga bisa langsung ditulis begitu saja. Kalau kamu punya ide,
tulis dulu supaya ngga lupa, kamu kembangin di otak kamu sampai kiraa-kira bisa
ditulis jadi cerita.”
“Terinspirasi itu sah-sah saja, tapi kamu harus banyak
modifikasi. Misalnya kamu ambil tema, tapi setting,
karakter orang, dan plotnya harus kamu ubah sendiri. Kalau sama saja, bisa
dibilang kamu cuma tulis ulang dalam versi kamu sendiri. Kalau dalam dua-tiga
hari kamu udah ga tertarik sama ide itu, ya sudah tinggalkan, cari yang lain.
Kalau kamu kepikiran terus, berarti ide itu memang minta dikembangkan jadi
cerita,” jelas Pak Darma panjang lebar.
“Kalau idenya saya tinggalkan, gimana kalau ga ada ide yang
lain, Pak?” tanya Krisan setengah takut.
Pak Darma menepis udara kosong dengan tangannya. “Alah, mana
mungkin. Kapasitas otak manusia itu di luar dugaan kamu. Rata-rata manusia
biasa bisa menghasilkan 40 ide dalam sehari, kalau dioptimalkan malah bisa jadi
1000 ide sehari. Ide itu bisa datang dari mana saja, kehidupan pribadi kamu,
kehidupan orang lain, apa yang ada di sekitar kamu, mimpi, juga dari imajinasi.
Tinggal pintar-pintarnya kamu meramu ide itu jadi cerita.”
Krisan diam lagi. Ia ingin bertanya bagaimana caranya, tapi
takut malah menghabiskan kesabaran Pak Darma yang telah berbaik hati meluangkan
waktunya untuk membantu Krisan. Perihal bagaimana cara mendapatkan ide brilian,
rasanya itu urusan Krisan sendiri.
“Saya kemarin juga baca tulisan-tulisan kamu untuk mata
kuliah lain. Resensi, artikel, dan biografi singkat yang kamu tulis juga bagus.
Kamu punya bakat linguistik yang bagus. Ini bisa jadi senjata kamu. Cerita yang
sederhana pun kalau ditulis dengan bahasa yang indah dan menarik bisa jadi
karya yang luar biasa. Soal masalah ide, kamu harus berani bereksplorasi dan
banyak latihan.”
Sebersit senyum menghiasi paras gadis itu. “Terima kasih
banyak, Pak. Nanti saya coba untuk ngga baca novel apa pun sebelum menulis.”
Pak Darma tertawa. “Pokoknya jangan takut idenya kabur,”
candanya seraya bangkit dan mempersilakan Krisan keluar. Sebelum meninggalkan
ruangan, Krisan mencium tangan dosennya dan sekali lagi mengucapkan terima
kasih.
***
“Udah ngga feeling blue
nih? Apa masih krisis cita-cita” tanya Latisha seraya menyodorkan sekantong
lays rasa rumput laut kepada Krisan.
Krisan mengambil beberapa dan mengunyahnya dengan santai.
“Engga dong, udah dapet pencerahan nih dari Drs. Sudarma Kasiyarno, M.Hum,”
jawabnya bangga seraya menatap hamparan danau hijau di hadapannya.
“Ceilaaaaaaah,” ledek Latisha sambil tertawa. Matanya
mengikuti arah pandangan Krisan. Mereka tengah menikmati angin sore yang lembut
di tengah-tengah jembatan teksas, jembatan besar berwarna merah yang
menghubungkan Fakultas Teknik dan Fakultas Ilmu Budaya. “Tetep mau jadi penulis
kan?”
“Gimana yaaaaaa?”
“San?”
Krisan tertawa merdu disertai anggukan mantap. “Yup. Gue udah
praktekkin nih nasihat-nasihat si bapak. Sekarang gue lagi nulis cerita juga. Ngga
terinspirasi dari mana-mana, loh! Murni buah pikiran hasil brainstorming.”
“Iya? Mau dong bacaaaaaa!” pinta Latisha sambuil tetap
mengunyah cemilannya.
“Nanti ya, Pak Darma dulu yang baca.”
Latisha tertawa lepas. “Jangan-jangan lo sama dia lebih dari
sekedar curhat akademik lagi? Jangan-jangan curhatnya modus ya?” ledeknya
dilengkapi sorot mata super jail.
Krisan ikut tertawa. “Iya nih, jangan bilang-bilang cowo gue
ya,” candanya. Mereka berdua pun tertawa lagi.
Krisan mengorbankan banyak hal demi jalan yang ditempuhnya
saat ini. Perjalanannya masih panjang, kurang lebih tiga tahun enam bulan. Ia
tidak akan menyia-nyiakan kesempatan belajarnya. Krisan yakin, ia akan mampu
meraih impiannya sejak kecil, menjadi penulis yang memberikan inspirasi bagi
pembaca-pembacanya.
***
Mungkin
ReplyDeletedari seribu
cukup ambil satu
Lalu hajar
jangan terlalu peduli orang lain dulu
setelah itu baru..
Evaluasi
apa iya itu yang kita mau
Salam
semangat selalu :D