Monday, March 19, 2012

Bunga untuk Maisy

  • Hello readers! Super long-time-no-post! <3 does anybody miss my writings so far? :pp
  • Life's been good lately, but super busy. Academical life's great so far. Love life? Super fine!<3 you'll find some of him on Riza's personalities :DD  it's good to have every aspect of my life gets on the same track but it's just a lil bit sad that I don't have much time to do this hobby :(
  • I personally miss my writing a lot. I miss spending hours with words & my own imagination. This is the first story that I finished these three months. Not a great one, I think. I  wrote it in just... 4 hours. It's just, I don't have anything to do, no tasks, and I feel the urgency to write something again. You know what, it feels so good to finally write again!
  • The idea of the story is based on my personal experience. Some dialogs are even true :p 
  • Well, enjoy it people! Critics are always welcomed :D
Bunga untuk Maisy

Sudah menjadi rahasia umum kalau mayoritas gadis remaja saat ini menginginkan pasangan sempurna seperti Beast-nya Beauty, Pangerannya Cinderella, Romeo-nya Julliet, atau bahkan Shrek-nya Princess Fiona. In fairytales world, we call them ‘prince charming’. Well—aku tahu Shrek jelas tidak termasuk dalam kategori charming itu sendiri—but still, dia pasangan yang luar biasa baik dan setia. Prince charming doesn’t always have to literally look charming, does he?
Mereka selalu terlihat sempurna, sweet, murah hati, dan yang terpenting, mereka rela berkorban apapun untuk kekasih mereka. Meskipun kisah cinta tokoh-tokoh tersebut penuh lika-liku, akhirnya selalu bahagia. Not to mention Romeo & Juliet—we all know how tragic the story ended. Aku tahu, true love doesn’t have endings, but still....
Jadi wajar kan kalau gadis-gadis remaja seumuranku ingin diperlakukan dengan romantis? Nggak usah terlalu dramatis seperti aksi minum racunnya Romeo saat ditinggal mati Juliet, cukup perhatian-perhatian, kata-kata manis, atau hadiah-hadiah kecil sudah lebih dari cukup untukku. Sayangnya, nggak satu pun dari hal itu bisa aku dapatkan. I knew from the very start that Riza was never a prince charming. He’s neither charming nor sweet.
Riza selalu cuek, jarang gombal, bahkan kurang perhatian. Dia selalu sibuk tidur, makan, main game, main bola.... ugh, yang terakhir ini yang selalu bikin dia ninggalin aku berjam-jam. Main bola sama temen sekelas, main futsal sama temen-temen sekompleks, atau nonton liga Inggris di tv yang bikin dia lamaaaa banget bales sms. Wajar kan kalau aku kesel?
“Sy, diliatin Pak Anwar!” bisik Destia, teman sebangkuku. Ya, aku sedang melamun sendiri di tengah-tengah pelajaran fisika.
Aku mengerjap cepat, pelan-pelan mengerling ke arah Pak Anwar yang sedang duduk di kursinya. Kedua mata elangnya terfokus padaku. Cepat-cepat aku meraih pensil dan berpura-pura ikut Destia menghitung, padahal aku nggak ngerti sama sekali.
“Ngelamunin apa sih?” tanya Destia tanpa menatap ke arahku, pandangannya tetap tertuju pada kertas soal di hadapannya sementara tangannya masih sibuk menari di atas kertas kotretan.
Aku berhenti berpura-pura menghitung, Pak Anwar tampaknya sudah punya sasaran lain untuk dipelototin. “Riza,” jawabku pendek.
Destia terkekeh pelan seraya mengerling ke arahku. “Yakali banget deh Sy, siang-siang gini ngelamunin cowok,” ujarnya geli. “Eh tapi lu gak ngelamunin yang aneh-aneh kan?”
“Ngaco banget sih! Ya enggalah,” sergahku cepat. “Gua tuh lagi mikir, kenapa ya si Riza ga pernah so sweet sama sekali sama gue? Padahal kita udah pacaran lumayan lama.”
“Yaaaa lu kaya ngga tau Riza aja, dia kan emang orangnya gitu, cuek, ga peduli yang gitu-gitu.”
Aku berdecak pelan. “Tapi ya Des, semua orang pasti punya sisi romantis dong, walaupun gue yakin punya Riza kadarnya pasti minim banget. Tapi sekali-kali gue juga pengen digombalin, diunyu-unyu, dikasih bunga.”
Destia meletakkan pensilnya dan menatap lurus ke arahku. Sorot matanya jenaka. “Maisy, dulu pernah kan dikasih bunga sama Riza? Gue aja masih inget. Lagian kan lu sendiri yang bilang gombalnya gembel, ga bakat. Eh sekarang pengen digombalin.”
“Iya, pernah. Waktu dia nembak gue,” jawabku cepat. “Itu sih jelas aja Des, waktu itu dia ada maunya. Emang sih gombalnya norak, tapi seengganya daripada ga digombalin sama sekali.”
Tawa Destia berderai, yang kemudian langsung ditahannya karena beberapa murid mulai menoleh penasaran. Ia berdeham sekali sebelum menjawab. Sekilas senyum bermain di bibirnya. “Sy, mungkin Riza emang bukan tipe-tipe cowo yang bisa kaya si Marwan di iklan provider itu, tapi suatu saat pasti dia bakal melakukan hal-hal unyu yang bikin lo amazed, kok.”
Mau tidak mau aku tersenyum mendengarnya. Destia memang sahabat paling oke.

***

Happy birthday Mila, happy birthday Mila, happy birthday, happy birthday, happy birthday Mila!
Siang itu, sepulang sekolah, kelas XII IPA 4 heboh merayakan ulang tahun Mila. Lagu selamat ulang tahun terus berkumandang sementara aku dan teman-teman sekelas lainnya bergantian menyalami Mila, cipika-cipiki, dan mengucapkan selamat ulang tahun setelah seharian ini mengerjai Mila habis-habisan.
Aku baru saja memberikan hadiahku ketika Aida dan Destia menyikut pelan rusukku, memberi kode untuk menyingkir. Aku menurut dan mengambil tempat di antara mereka sementara Denis, pacar Mila, muncul dari kerumunan para cowok dengan cheese cake besar dan sebuket bunga mawar di tangannya. Seulas senyum menghiasi wajah tampannya.
Belum apa-apa, wajah Mila sudah merona merah.
“Selamat ulang tahun Kamila-ku, semoga kamu semakin cantik, semakin solehah, sukses, dan semakin sayang sama aku,” ujarnya dengan cengiran jenaka di akhir kalimat. Mila blushing, aku pun ikut-ikutan blushing.
Denis mengangkat cheese cake-nya, lilin dengan angka 18 menyala dan siap ditiup. Lagu happy birthday kembali memenuhi ruang kelas sementara Mila menutup matanya erat-erat, the make-a-wish tradition, kemudian meniup lilinnya. Riuh rendah tepuk tangan para murid bergema dan menjadi semakin keras ketika Denis menyerahkan sebuket bunga serta hadiahnya.
Kerumunan mulai bubar ketika Mila dan Denis mulai larut dalam dunia mereka berdua.

***

“Tadi Denis so sweet banget loh sama Mila,” ujarku membuka pembicaraan.
Riza mendongak menatapku. “So sweet gimana?”
Aku menyendok nasiku pelan-pelan, memikirkan kata-kata yang akan aku gunakan untuk menyindir Riza dengan sehalus mungkin. “Yaaa gitu, dia bawain cheese cake kesukaan Mila, terus ngasih bunga mawar sebuket, terus kadonya gatau apa tapi Mila keliatannya seneng banget.”
“Terus?”
“Apanya yang terus? Aku gatau terusannya,” jawabku.
Riza menghabiskan suapan terakhir nasinya dan mulai menyomot kuah sotoku. “Apa so sweet-nya kaya gitu doang?”
Listen who’s speaking, Mr. Most-unromantic-guy-ever? Aku buru-buru menghabiskan makananku. “Itu so sweet sayang, sekali-kali kamu so sweet juga dong sama aku, jangan kalah sama cowo-cowo lain.”
“Kaya Denis gitu? Cowo-cowo lain siapa? Aku kan ga punya saingan,” jawabnya cuek.
Aku mulai kesal. “Ya nggak usah kaya Denis, maksud aku, sekali-kali kamu yang romantis gitu. Aku mau bunga juga dong Riiiz.”
“Males ah.”
Males ah? Aku buru-buru menyedot es teh manisku. “Yaaah kamu ko gitu sih? Aku kan cuma minta bunga, masa gitu aja nggak mau.”
Riza mengangkat bahunya. Nada bicaranya masih sama cueknya dengan sebelumnya. “Abis kamu minta sih, aku jadi nggak mau ngasih.”
“Emang kalau aku ngga minta kamu mau ngasih?” tanyaku dalam nada satu oktaf lebih tinggi.
“Ngasihlah,” jawabnya enteng. “Itu soto kamu mau dihabisin ngga? Kalau engga buat aku aja ya?”
Aku mengangguk cepat, menggeser mangkok sotoku ke arahnya. Mood makanku sudah hilang sama sekali gara-gara cowok nyebelin yang satu ini. Padahal soto daging di rumah makan ini rasanya enak banget. “Masa sih?” tanyaku tak percaya. Siapa juga yang percaya, hampir tujuh bulan pacaran dikasih bunga baru satu kali, itu pun waktu baru jadian. Pencitraan banget biar kesannya romantis.
“Iya, tadi aja minta, giliran aku bilang mau ngasih kamunya malah ga percaya. Kamu mau kan dikasih bunga? Nanti aku beliin bunga deh untuk kamu.”
“Aku mau, tapi tadi katanya kamu nggak mau ngasih? Ko sekarang bilangnya mau?” Ini aku yang bodoh apa Riza emang bikin bingung sih?
Riza melahap suapan terakhir kuah sotonya sebelum menjawab. “Aku mau ngasih, tapi bukan gara-gara kamu yang minta. Aku maunya ngasih sendiri.”
“Kenapa ga dari dulu? Cowok-cowok lain aja sering ngasih bunga sama cewenya, kamu ngasih ke aku aja baru sekali. Sekarang pas aku minta aja bilangnya mau ngasih, gimana sih Riz? Kamu emang dari dulu ga ada romantis-romantisnya deh,” cerocosku tak sabaran. Riza emang paling jago menghabiskan kesabaranku.
“Kok kamu jadi nuntut aku macem-macem sih? Itu kamu tau aku ngga romantis, udah ah Sy jangan minta yang aneh-aneh. Jangan kaya anak kecil kebanyakan nonton sinetron,” tegasnya seraya meraih selembar uang dua puluh ribuan dan menyerahkannya kepada pegawai restoran. “Yuk ah, udah sore.”
Dibentak Riza seperti itu, aku cuma bisa diam dan ikut saja ketika ia berjalan menuju area parkir motor. Sepanjang jalan pulang, kami tidak bicara sama sekali.

***

“Jadi, sekarang lo berantem sama Riza? Padahal kan hari ini tujuh bulanan.” tanya Destia setengah berbisik sementara pandangannya mengawasi Bu Eva yang sedang asyik dengan laptop-nya. Waktu menunjukkan pukul tiga belas empat puluh dan aku merasa bosan setengah mati mengikuti pelajaran pkn ini. Murid-murid lain selain aku dan Destia pun sibuk mengobrol dengan teman sebangku masing-masing.
Aku menghelas nafas dalam-dalam sebelum menjawab. “Iya. Gatau deh, smsan sih tetep, tapi dia jutek banget. Tadi pagi aja ketemu di depan lapangan dia cuma nyapa gitu doang.”
“Berantemnya gara-gara lo minta bunga?”
“Gara-gara gue nuntut dia supaya romantis dikit,” bisikku setengah kesal. “Ya gue emang salah sih Des, mestinya gue ga ngomong gitu apalagi si Riza kan emang suka pundungan gitu. Tapi mau gimana lagi, dia tuh ga pekanya suka kebangetan, bikin orang kesel beneran,” curhatku tanpa ditahan lagi.
Destia berpikir sebentar sebelum menjawab. “Lo udah minta maaf sama dia?”
Aku mengangguk. “Tadi malem sih udah, dia bilang gapapa slow aja, tapi dianya tetep gitu.”
“Masih bete kali ya. Cowok kan emang gitu, egonya kesentil dikit pundungnya suka lama. Si Ega juga suka kaya gitu. Tapi ya Sy, kalau lu emang mau lanjut terus sama Riza, lu mesti terima dia apa adanya. Klise sih ini, tapi ya emang harus gitu. Kalau lu masih ngarep yang macem-macem dari Riza, yang ada lu bakal kecewa sendiri kalau dia nggak sesuai sama keinginan lu, dan lu bakal ngebanding-bandingin dia sama cowok-cowok romantis yang lain,” kuliah Destia panjang lebar.
Aku termenung cukup lama. Kata-kata Destia memang bukan hal baru buatku, bahkan cenderung teoritis dan aku sudah tau. Hanya saja, rasanya beda kalau Destia yang bilang padaku. Dia mengenalku dengan sangat baik dan aku tahu dia bilang begitu karena memang dia peduli.
“Iyaaaa gue ngerti maksudnya Des, cuma gimana ya kadang gua pengen diperlakukan kaya gitu. Ga perlu setiap saat, cuma saat-saat tertentu aja. Sekali-kali gue pengen dia nunjukkin rasa sayangnya dengan cara kaya gitu.” Aku mendesah pelan.
Destia mengerling ke depan kelas, memastikan Bu Eva tak menyadari kegiatan curhat colongan kamiu di sela-sela pelajarannya. “Nunjukkin rasa sayang ga harus kaya gitu kan Sy, lo tau kan gimana sayangnya Riza sama lo. Kayanya orang yang ngeliat kalian berdua juga tau, keliatan kok dari matanya Riza,” ujarnya meyakinkan.
Spontan otot-otot bibirku berkontraksi membentuk senyuman geli. “Sotau banget lo, Des.”
Destia tertawa pelan. “Eh tapi serius, kalau urusan sayang mah udah ga perlu dipertanyakan. Mungkin caranya nunjukkin beda, ngga kaya cara lo. Tapi dari yang gue liat selama ini, lo bahagia sama dia. Dia selalu bisa bikin lo seneng, bikin lo ngga bete, harusnya itu cukup Sy.”
Sebelum aku sempat merespon, bel pulang berbunyi tiga kali dan Destia buru-buru merapikan barang-barangnya. “Sorry banget gue dijemput nyokap, mau jemput kakak gue di bandara. Ntar kalau mau cerita bbm aja ya, semoga cepet baikan,” ujarnya diakhiri senyum tulus dan tepukan halus di pundakku.
Aku ikut bangkit dan mengantarnya berjalan ke pintu kelas. “Makasih banyak ya Des,” ujarku tulus. Ia mengangguk dan langsung berlari keluar. Baru saja aku hendak berbalik ke kelas, sebuah sweater tebal biru donker tersampir di bahu kiriku. Dari aroma parfumnya saja aku sudah tahu itu milik Riza.
“Hey,” sapaku ragu-ragu.
“Hey.” Riza balik menyapa. Senyumnya yang biasa telah kembali menghiasi wajahnya. Aku sedikit lega melihatnya, dia sudah nggak marah. “Maaf ya aku malah marah sama kamu. Kita ngobrol di kantin yuk.”
Aku mengikutinya ke kantin dan duduk di salah satu pojok paling nyaman. Riza memesan es kelapa muda dan aku memesan nutrisari dingin. “Aku juga minta maaf Riz, harusnya aku ngga ngomong kaya kemarin. Harusnya aku ngga nuntut kamu macem-macem—“
“Aku ngerti Sy, ngga apa-apa kok,” potongnya lembut. “Dari dulu aku emang paling ga bisa romantis-romantis gitu, kamu tau sendiri kan. Tapi kalau itu bisa bikin kamu seneng, aku juga bakal nyoba Sy, cuma mungkin caranya nggak kaya cowo-cowo lain.”
Aku sengaja mengulur waktu menjawab, membiarkan Mang Asep menghidangkan minuman kami dulu. “Iya Riz, aku tau, aku juga ngga ngarep setiap saat kamu romantis gitu. Iya? Makasih banyak ya, tapi kalau emang kamu ngga suka kaya gitu juga aku ngga maksa kok Riz.”
“Ah ngga maksa tapi pengen kan?” tanya Riza setengah menggoda.
Aku tersenyum malu. “Yaiya dong Riz, kamu pake nanya.”
Riza tertawa. “Aku coba ya, tapi kamu jangan terlalu ngarep ya, Sy.”
Aku mengangguk cepat dan menengguk minumanku sampai tinggal setengahnya.
“Sebentar ya,” ujar Riza kemudian bangkit berdiri tanpa menunggu jawabanku. Sejurus kemudian ia kembali dengan sebuket bunga mawar warna jingga dan sekotak biskuit coklat kesukaanku. Ia menarik kursi di sampingku. “Selamat tanggal 27 ya sayang, semoga kita awet terus.”
Tanpa berkaca pun aku yakin wajahku pasti memerah. “Kamu inget?”
“Aku ngga segitunya Maisy, masa tanggal jadian kita aja aku lupa sih? Jangan-jangan malah kamu ya yang lupa?” tanyanya pura-pura tersinggung.
Aku tertawa lepas seraya meraih bunga dan biskuit darinya. “Ngga mungkin dong sayang,” jawabku geli. Kami pun tertawa bersama.

***

Rupanya Destia benar. Mungkin Riza memang bukan tipikal cowok yang bisa bermanis-manis denganku. Mungkin dia memang selalu cuek, dan akan selalu jadi pacar menyebalkan yang paling jago menghabiskan kesabaranku. But the truth is, he’s the one who makes me feel this good. Dia selalu bisa bikin aku senang bahkan di saat aku bener-bener lagi nggak mood.
Riza punya caranya sendiri untuk buat aku bahagia. Meskipun super ngeselin, he never actually hurt me. Dia bukan cowok yang cuma bisa bikin aku sedih. He’s more likely my smile maker rather than my tears waster. Mungkin memang cowok seperti Riza ini yang aku butuhkan untuk sekarang dan nanti. Aku sayang dia :)

***

No comments:

Post a Comment