Sunday, October 30, 2011

Jahe dan Kayu Manis untuk Ayah

  • Hello, dear readers!!! As if I have any :p, it's been like..... weeks I don't write and I miss writing soooooo much. Life's been busy and totally messed up lately. Lots of troubles, competition, tears, even fights. And they all haven't finished yet. But well, this is Sunday, and a lot of things going on this week gave me so much to write about. But even though I have so many ideas, with a lot of things on my mind, I couldn't turn them into written form except this one. Again, it's about family.
  • Hope you enjoy it! As always, critics would be lovely

Jahe dan Kayu Manis untuk Ayah
Maya terpaku menatap deretan huruf yang berbaris rapi pada lembaran buku cetak biologi di hadapannya. Pandangannya menatap lekat-lekat setiap kata yang tertulis, memastikan tak ada satu pun informasi yang terlewat, sekali pun nuraninya enggan membaca lebih jauh.
Berbagai penyakit, sindrom dan simtoma dapat terpicu oleh diabetes mellitus, antara lain: Alzheimer, ataxia-telangiectasia, sindrom Down, penyakit Huntington, kelainan mitokondria, distrofi miotonis, penyakit Parkinson, sindrom Prader-Willi, sindrom Werner, sindrom Wolfram, leukoaraiosis, demensia, hipotiroidisme, hipertiroidisme, hipogonadisme, dan lain-lain.
“Ada yang mau bertanya?” seru Bu Yuli keras, memastikan semua murid di ruangan dapat mendengar suaranya. Tangan kanan Maya melesat naik. “Ya, Vismaya.”
“Kalau seseorang sudah terlanjur menderita diabetes, apa itu bisa disembuhkan?” tanya Maya penuh harap. Ia terdiam, menatap Bu Yuli dengan pandangan nanar dan menunggu. Ingatannya melayang pada sosok lelaki bersahaja yang sangat ia sayangi, ayahnya.
Bu Yuli menghela nafas sebelum menjawab. “Diabetes dalam stadium awal masih bisa ditangani. Caranya tentu saja dengan menurunkan kadar gula dalam darah, yaitu menjaga pola makan yang sehat dan rajin olahraga. Tetapi diabetes dalam stadium lanjut, dalam hal ini yang penderitanya sudah tergantung pada suntikan hormon insulin, agak sulit untuk ditangani.”
Maya menghembuskan nafas lega. Ia merasa sedikit lebih rileks setelah mendengar penjelasan Bu Yuli. “Terus Bu, ada nggak sih yang bisa kita lakukan buat mereka?” lanjutnya.
“Ada, kita itu bisa jadi... apa ya namanya, satpam. Jadi kalau pola makan mereka mulai melenceng, kita harus jadi satpam yang tegur mereka, kita juga bisa memberi semangat dan doa untuk mereka,” jawabnya disertai seulas senyum hangat. “Oh ya, ada yang tahu kapan hari diabetes sedunia?”
Hampir semua murid menggeleng kecuali Citra, teman sebangku Maya, yang notabene adalah ketua PMR di sekolah mereka. “14 November, Bu,” jawabnya.
“Betul! 14 November, satu minggu dari sekarang. Di lebih dari 100 negara, hari itu diperingati dengan pencahayaan gedung-gedung dan monumen-monumen dengan cahaya biru. Biru adalah warna symbol diabetes global. Lingkaran biru juga telah diadopsi sebagai logo resmi Hari Diabetes Sedunia.”
Murid-murid bergumam “ooooh” mendengar penjelasan tersebut. Bagi sebagian besar murid, hal ini merupakan informasi baru. Termasuk juga bagi Maya. “Terus Bu, kalau di kita ngerayainnya gimana?” celetuk Garin dari pojok kelas.
“Kalau di Indonesia, biasanya diperingati dengan adanya penyuluhan-penyuluhan mengenai diabetes, terus juga pernah ada pembagian obat herbal gratis dari industri jamu lokal, dan sebagainya. PMR sekolah kita rencananya mau mengadakan penyuluhan di aula, mengundang narasumber dari puskesmas dan bagi-bagi souvenir warna biru,” jelas Bu Yuli lagi. “Masih ada yang ingin bertanya?”
Bel berbunyi tepat ketika seluruh murid menggeleng. Bu Yuli mengucapkan salam kemudian bergegas meninggalkan kelas. “Langsung balik yuk May,” ajak Citra.
“Temenin gue ke Gramed dulu mau ngga? Bentar aja, mau ada yang dilihat,” pinta Maya.
Citra mengiyakan dan mereka langsung pergi ke Gramedia, toko buku yang terletak 50 meter dari sekolah mereka. Sesampainya disana, Maya langsung menghilang di balik rak buku-buku kesehatan. Citra menatapnya dengan pandangan melongo. “Nyari apa sih May?” tanyanya penuh selidik.
Alih-alih menjawab pertanyaan Citra, Maya malah balik bertanya. “Kira-kira apa ya yang bisa gue bikin dari kayu manis dan jahe?”
Kening Citra berkerut heran. “Hah? Buat apaan?”
Maya mengerjap cepat kemudian menutup buku dalam genggamannya. “Ada deh, yaudah yuk pulang,” ujarnya kemudian meletakkan buku di tempatnya semula.

***

Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un telah berpulang ke rahmatullah Bapak Joko Suyanto, dini hari tadi pada pukul empat tiga puluh. Sekali lagi, telah berpulang ke rahmatullah Bapak Joko Suyanto....”
Maya sontak terjaga dari tidurnya. Kedua matanya membelalak lebar, tak percaya akan apa yang baru saja didengarnya. Dengan terburu-buru ia bergegas meniggalkan kamar. Sepi. Tak ada siapa pun di ruang keluarga. Dapur dan kamar orang tuanya pun sepi. Maya buru-buru mengganti piamanya dengan sepasang training dan sweater kebesaran berwarna biru tua kemudian cepat-cepat melangkah keluar rumah.
Rumah Pak Joko sudah dipenuhi orang, di antaranya para tetangga dekat dan beberapa orang yang Maya sendiri belum pernah liat. Ayahnya tengah sibuk mengurus surat kematian Almarhum Pak Joko sementara ibunya tengah menghibur Bu Joko yang tak kuasa menahan tangis. Maya menatap nelangsa pemandangan mengejutkan di hadapannya. Air matanya tumpah tatkala melihat Deswita, sahabatnya sejak kecil, tengah memeluk jenazah ayahnya seraya mengangis tersedu-sedu. Ia buru-buru meninggalkan rumah duka dan kembali ke rumahnya sendiri.
Komplikasi diabetes dan kolesterol, kata ibu. Maya teringat kembali akan pelajaran biologinya mengenai sistem ekskresi serta penyakit-penyakit yang dapat terpicu oleh diabetes. Maya takut kalau suatu saat nanti ayah akan mengalami hal yang sama seperti yang dialami Pak Joko dan korban-korban penyakit diabetes lainnya. Maya takut akan ditinggalkan ayah seperti Pak Joko meninggalkan Deswita. Maya ingin ayah tetap sehat untuk melihatnya sukses di masa depan nanti.
Apalagi hasil tes laboratorium terakhir ayah menunjukkan bahwa kadar gula dalam darahnya sedikit meningkat. Nuraninya tersentil. Ia semakin ingin melakukan sesuatu untuk ayah.

***

Tanggal 14 November yang digadang-gadang sebagai hari diabetes sedunia rupanya jatuh pada hari Minggu. Maya sengaja bangun pagi-pagi sekali untuk mempersiapkan sesuatu untuk ayah. Ia dan ibu akan memasak untuk ayah yang saat ini sedang ikut kerja bakti di mesjid. Jam dinding di dapur menunjukkan pukul enam ketika Maya telah selesai mempersiapkan seluruh alat dan bahan untuk masak.
“Emang kamu mau masak apa sih, May?” tanya ibu, mengikuti Maya berjalan ke dapur.
Yams with Ginger and Cinnamon.”
Kedua alis ibu bertaut heran. “Apaan tuh? Ibu baru denger.”
“Makanan dari jeruk sama kentang gitu Bu, terus pakai kayu manis sama jahe, nanti jadinya manis gitu deh Bu, aku lihat resepnya di internet kayaknya enak,” jawab Maya kalem sembari mulai mengupas kentang.
Ibu mengambil pisau dan mulai membantu Maya mengupas kentang. “Hati-hati loh May, ayah kan ga boleh makan yang manis-manis,” ucap ibu sedikit was-was. Maya dapat membaca rasa khawatir pada kilau matanya.
Seulas senyum bermain di wajah Maya. “Enggak kok Bu, ini kan manisnya juga dari jeruk. Lagian ya, makanan ini tuh dapat predikat world’s healthiest food! Lagipula kayu manis sama jahe itu bisa menurunkan kadar gula dalam darah, bagus untuk penderita diabetes seperti ayah.”
Ibu manggut-manggut mendengar penjelasan Maya. Meskipun tidak tahu pasti akan khasiat bahan-bahan pada makanan ini, beliau memutuskan untuk percaya pada Maya. Mereka pun memasak tanpa banyak bicara. Ayah datang tepat ketika Maya baru saja meletakkan masakannya ke atas piring saji.
“Wah masak apa nih, wanginya enak banget,” ujar ayah dengan nada menggoda.
“Sini Yah, duduk sini!” seru Maya bersemangat. Ia cepat-cepat menarik salah satu kursi meja makan, mempersilakan ayah untuk duduk, dan mempersembahkan hasil masakannya dengan gaya ala chef internasional yang sering dilihatnya di acara Masterchef.
Ayah tampak takjub. Pertama karena melihat perlakuan putrinya yang berbeda dari biasanya. Kedua karena melihat makanan yang tampak asing di hadapannya. “Wah, dalam rangka apa ini May? Ayah kan nggak ulang tahun.”
Maya menarik kursi di hadapan ayah. Bingung dari mana harus memulai. Maya bukan tipikal anak yang bisa dengan mudah menunjukkan rasa sayang mereka kepada orang tuanya. Sekarang pun Maya yakin, kata-katanya pasti terdengar aneh di telinga ayah dan ibu.
“Hmm, gini Yah,” ujarnya sedikit terbata. “Kata guru aku, diabetes itu bisa memicu banyak penyakit lainnya, tapi juga masih bisa ditangani. Hari ini hari diabetes sedunia, makanya aku masakin makanan yang sehat, supaya Ayah bisa sehat terus.” Tuh kan, aneh, lanjutnya dalam hati.
Selama beberapa detik ayah tampak bingung. Detik berikutnya, beliau tersenyum seraya melepas kacamatanya. “Makasih ya Maya, ayah senang sekali.”
Maya menelan ludah. Inilah alasan kenapa ia tak terbiasa bicara sentimentil kepada orang tuanya, ayahnya juga sama seperti dirinya. Selalu speechless kalau menyangkut masalah begini. Untuk mencairkan suasana yang tampak canggung, Maya buru-buru menyiapkan sendok dan garpu untuk ayah.
“Enak May,”ujar ayah pendek sembari mengacungkan kedua jempolnya. Maya tergelak pelan.
“Maya sayang sama Ayah, semoga Ayah sehat terus ya, Maya siap kok kalau harus jadi koki yang nyiapin makanan sehat untuk Ayah, Maya juga bisa jadi satpam yang ngontrol pola makan Ayah,” tuturnya panjang lebar.
Ayah meletakkan peralatan makannya. “Ayah juga sayang sama Maya, makasih banyak ya,” ujarnya kemudian kembali melanjutkan aktivitasnya.
Maya tersenyum tulus. Meskipun ayah irit bicara, ia yakin ayah sungguh-sungguh dengan perkataannya. Mulai saat ini, ia akan langsung turun tangan dalam menjaga kesehatan ayah. Wujud kasih sayangnya sekaligus meringankan pekerjaan ibu yang selama ini selalu mengurus ayah sendirian.

***

No comments:

Post a Comment