Thursday, October 6, 2011

Magnet Misterius

  • Hello, hello! Lagi-lagi buah karya hasil mumet belajar. Lagi keranjingan bikin cerpen yang super short xoxoxoxo
  • This is basically my true experience. I'm trying to dig more ideas from myself and develop them into stories. Soal bahan pembicaraannya... anak smanti pasti tau siapa guru yang dimaksud hahaha itu bukan sisi percakapan yg asli kok, jujur aja gue lupa waktu itu ngomongin apa aja sampai gue bisa ngerasa kaya gitu. Satu-satunya isi percakapan yg kebayang cuma itu karena gue inget si Deyang =))
  • Enjoy, people! Critics would be more than lovely <3

    Magnet Misterius

          “Sama Niki? Ngga salah?” tanya Tessa dalam nada satu oktaf lebih tinggi dari sebelumnya.
    Leony tertawa keras melihat polah sahabatnya. “Santai aja, Niki baik kok, gue jamin lo ngga bakal kenapa-napa. Kalau dia macem-macem, bilang gue, deal?”
    Tessa memalingkan wajahnya, cemas. Masalah terletak pada status Nikita yang saat ini merupakan pacar Dirga, mantannya Tessa. Tak jadi soal kalau ternyata hatinya sebaik ibu peri. “Tapi Le, jangan berdua aja dong, lo tau kan kalau gue sama dia berdua pasti canggung, ntar ngomongin apa dong biar nggak garing?”
    “Hm...., gimana kalau ngomongin Dirga aja? Kan sejak putus udah lama tuh lo ga update kabar tentang dia,” goda Leony sambil memasang mimik jahil.
    Wajah Tessa sontak blushing. Alih-alih menjawab, ia malah gigit jari. Mudah saja bagi Leony untuk bicara tentang Dirga, tapi untuk Tessa, sulitnya bukan main. Tessa dan Dirga adalah pasangan yang sangat serasi. Hubungan mereka bertahan cukup lama meskipun jalannya tak selalu mulus. Beberapa kali putus tetapi selalu kembali bersama pada akhirnya. Membuat sebagian orang berpikir mereka memang ditakdirkan untuk bersama.
    Namun, realita berkata lain. Banyaknya masalah internal serta sikap Tessa dan Dirga yang sama-sama moody dalam menyikapinya membuat hubungan mereka semakin renggang. Tessa sempat sakit hati, ketika akhirnya ia mencetuskan kata ‘putus’, Dirga justru telah menemukan penggantinya. Terlebih setelah mengetahui bahwa sosok yang dimaksud adalah Niki, teman sekelasnya.
    Meskipun hubungan Niki dan Dirga sudah hampir setengah tahun, sebisa mungkin Tessa menghindari kontak langsung dengan Niki. Kalaupun ternyata satu kelompok pelajaran, mereka hanya membicarakan yang penting-penting saja. Tak pernah mengungkit Dirga sama sekali.
    “Jadi gimana Tes, nggak apa-apa kan berdua aja sama Niki?”
    Tessa mengangguk cepat, refleks. Sebetulnya ia masih ingin membujuk Leony tetapi sepertinya tak akan berhasil. “Yaudah deh, nggak apa-apa Le.”
    Leony mengulum senyum tipis, antara geli dan kasihan. “Gini deh, lo kan selalu penasaran kenapa Dirga suka sama Niki, ntar kalau lo ngobrol berdua aja kan lo bisa sekalian cari tahu, gimana?”
    Tessa berpikir sesaat. Leony memang benar, selama ini ia selalu penasaran akan pilihan Dirga. Sosok Niki yang tomboy, ceplas-ceplos, dan ramah memang berbeda nyaris seratus delapan puluh derajat dengan dirinya. Tessa feminin, menyukai hal-hal yang manis dan girly, cengeng, tidak pernah berkata kasar, tetapi moody dan banyak mau.
    “Bener juga Le,” putusnya. “Yaudah deh nggak apa-apa, lagian kan disana juga les fisika bukan mau ngapa-ngapain,” jawab Tessa sambil tersenyum penuh arti.

    ***
    “Nik, berangkat sekarang, yuk!” seru Tessa.
    Selama tiga detik raut wajah Niki tampak bingung mendengar intonasi Tessa yang sedikit terlalu ceria. “Sekarang, Tes? Yaudah yuk,” jawab Niki seraya menyandang tas di bahunya dan mulai melangkah keluar kelas.
    Mereka berjalan berdampingan, mengobrol basa-basi mengenai matahari yang panasnya di atas rata-rata, praduga mengenai jalan raya yang kemungkinan macet, serta ulangan biologi yang baru saja berlalu kemudian naik angkot jurusan warung jambu.
    “Tadi cita-cita PTN ngisi apa aja, Nik?” Tessa membuka obrolan dengan topik yang sedang hangat-hangatnya di antara siswa kelas 12, yaitu perguruan tinggi.
    “Farmasi UI sama Farmasi UGM, kalau Tessa?”
    Tessa diam sesaat, ia tahu kalau cewek mantannya ini memang bercita-cita menjadi apoteker. Tessa tergelitik untuk mencari tahu alasannya. “Gue maunya FE, Komunikasi, sama Sastra Indonesia UI,” jawab Tessa dengan mata berbinar. “Niki kenapa mau ambil farmasi?” tanyanya.
     Giliran Niki yang terdiam. “Gue paling ngga bisa makan obat tablet, dan pastinya banyak orang yang kaya gitu. Makanya mau kuliah farmasi supaya bisa buat obat dalam bentuk baru yang mudah dicerna semua orang. Tessa sendiri kenapa pilih itu?”
    “FE sih sebenernya biasa aja, yang paling pengen itu justru komunikasi, Nik. Gue kan emang seneng nulis banget ya Nik, jadi maunya komunikasi sama sastra,” tutur Tessa terus terang.
    Niki manggut-manggut mendengar penjelasan tersebut. “Oh iya, lagian Tessa aktif di majalah juga kan ya? Kata Dir—kata orang-orang juga cerpen lo bagus-bagus.”
    Spontan Tessa salah tingkah. Nyaris saja nama Dirga diucapkan. Ia tak tahu bagaimana harus bereaksi jika sosok di hadapannya benar-benar mengungkit Dirga dalam percakapan mereka. Meskipun penasaran mengenai apa saja yang Dirga ceritakan pada Niki, Tessa memilih berpura-pura tidak dengar kata-kata Niki sebelumnya. “Hobi sih awalnya, tapi lama-lama gue jadi ngerasa kalau minat gue sebenernya disitu. Niki pernah baca?”
    Lawan bicaranya menggeleng pelan. “Pengen sih, kemarin Kinan cerita katanya bagus-bagus. Nanti kapan-kapan gue baca deh,” janji Niki. “Eh, Tes, besok jadi ulangan plh ya?”
    Tessa berpikir sebentar. Figur seorang guru muda nan tampan terbesit di benaknya. Pak Indra, guru baru yang usianya hanya lima tahun lebih tua dari murid-murid kelas 12. Sekilas senyum geli bermain di bibirnya. “Iya Nik. Masa kemarin gue ketemu Pak Indra di kantin, terus dia pakai baju olahraga gitu warna biru terus ganteng banget deh hahaha.”
    Niki ikut tertawa, imaji seperti yang dideskripsikan Tessa terpampang jelas di otaknya. “Iya? Ya ampun kemarin aja pas upacara kan dia ganteng banget ya Tes, terus si Dinda teriak ‘Pak, punya obeng ngga?’ gitu coba, ada-ada aja ih.”
    “Hah, yang bener, Nik?” Tessa melongo. Dinda memang tak punya urat malu. “Terus dia denger ngga? Ternyata dia punya aja, buat menangkal pertanyaan kaya gitu.”
    “Kalau denger juga kayaknya pura-pura nggak denger deh Tes, gayanya tetep cool soalnya hahaha bisa juga ya, kali aja dia sering ditanya kaya gitu, makanya di bagasi motornya sengaja ada toolbox,” jawab Niki setengah tertawa.
    Kedua mata Tessa berbinar jahil. “Jangan-jangan semua cewek yang ketemu dia di jalan nanya gitu ya Nik?”
    Niki tertawa lagi. Guru mereka itu memang lebih terlihat seperti anak kuliahan daripada guru. Bahkan beberapa murid yang punya kakak berusia di atas 22 merasa sungkan untuk memanggil Pak Indra dengan sebutan ‘Pak’. “Katanya dia udah punya cewek tahu Tes, guru juga katanya.”
    “Wah? Emang iya?”
    “Hahahaha ya ampun Tessa, jangan kecewa dong. Selama janur kuning belum dipasang, masih ada kemungkinan buat direbut, kok,” goda Niki.
    Kali ini Tessa tertawa lepas. Ia sama sekali tak menyangka bisa ngobrol dengan akrab mengenai banyak hal dengan Niki. Selama ini, kata ‘canggung’ selalu membuatnya menghindar. Niki justru sangat warm padanya, tidak sinis seperti ekspresi yang umumnya ditampilkan seorang pacar pada mantan pacarnya. Meskipun Nikita bukan tipikal gadis idaman Dirga yang biasa, Tessa dapat melihat magnet misterius pada diri gadis itu. Magnet yang mampu membuat mantan pacarnya jatuh cinta head over heels.
    Mungkin mulai saat ini, ia bisa memperbaiki hubungan di antara mereka bertiga. Baik hubungannya dengan Niki maupun dengan Dirga. She will have to thank Leony later.

    ***

    No comments:

    Post a Comment