Sunday, November 27, 2011

Orion

  • Well, I finally updated this blog. This is something I wrote several weeks ago, inspired by an article about entrepreneur. Enjoy, pals! As always, I kindly wait for your feedbacks :D
 
Orion
“Putus?!”
Irin memutar kedua bola matanya. Gerah sekaligus risih. Widuri sudah menanyakan pertanyaan ini sebanyak tiga kali. “Iya Wid, putus.” Untuk yang keempat kalinya, jawaban itu masih sama.
“Kok bisa?”
“Ya bisa, bisa-bisa aja Wid,” jawab Irin nelangsa. Ia sudah cukup patah hati dengan masalah ini. Widuri malah bikin hatinya semakin miris. “Udah deh Wid, gue nggak mau bahas ini dulu.”
Widuri mengerjap cepat, berusaha meredam rasa penasaran yang bersarang di pikirannya. “Eh iya, sorry banget ya Rin, nanti kalau udah siap cerita, cerita ya.”
Irin mengangguk pelan. Ia tidak yakin akan pernah siap untuk bercerita mengenai hubungannya yang baru saja kandas tanpa menangis keras. “Nanti ya Wid, gue lagi bener-bener nggak mau ngomongin itu, maaf banget belum bisa cerita,” ujarnya sungguh-sungguh.
“Iya, gue ngerti kok,” ujar Widuri penuh pengertian. Dengan lembut ia mengusap pelan bahu Irin, berharap sentuhan kecil tersebut dapat mengalirkan sedikit semangat baru bagi sahabatnya. Sindrom pasca putus memang tidak pernah mudah, Widuri paham betul. Ia menghela nafas panjang sebelum mengajukan pertaanyaan berikutnya.
Pertanyaan yang menurutnya sendiri terkesan sangat tidak sensitif jika mengingat kondisi hati Irin sekarang. “Terus Rin, soal Orion gimana?”
Irin mendengus pelan. Pertanyaan yang sama yang terus berputar di otaknya sejak kata putus pertama kali dicetuskan. Pertanyaan kedua setelah; how am I gonna live my life without him?. “Gue juga nggak tahu Wid, semoga aja bisa tetap profesional, meskipun pasti rasanya nggak sama lagi.”
Widuri mengangguk lagi. Seulas senyum lembut dan penuh perhatian tersungging di bibirnya. Meskipun khawatir dan tidak yakin, ia memilih memercayai jawaban Irin. “Gue percaya sama lo dan Reksa,” jawabnya sungguh-sungguh.

***

Dalam sekali tekan, Andini Putri Khairina menonaktifkan ponsel pintarnya. Tak ada lagi pesan-pesan penyemangat yang selalu berhasil membuahkan senyum di wajahnya. Tak ada pula alunan lagu Since I Found You milik Christian Bautista yang biasa memecah keheningan malamnya. Menandakan bahwa seseorang disana juga tengah memikirkannya.
Irin mendengus kesal. Frustasi dan depresi. Dengan malas-malasan, ia mencoba berkonsentrasi pada laptop dan tumpukan kertas di mejanya. Mulai dari tugas kuliah, proposal, sampai Standard Operating Procedure garapannya sendiri.
Laptopnya berbunyi pelan, isyarat ada pesan masuk pada account yahoo mesengger-nya. Irin meraih mouse, mengarahkan kursornya pada opsi open. Sebuah pesan instan dari Mba Hani, konsultan bisnisnya.

hani_1807 : rin, kalau meeting besok sore bisa ngga?
andinikhairina : aku nggak bisa ma, besok ada kuliah sore
hani_1807 : kalau lusa sore gimana? Kamu ada kuliah juga nggak?
andinikhairina : kalau lusa insyaAllah bisa mba, mau dimana ketemunya?
hani_1807 : di starbucks margo city aja ya, aku sekalian ada talkshow soal business management soalnya, atau mau di tempat kamu?
andinikhairina : margo city would be fine, jam berapa mba?
hani_1807 : jam 4an aja, sama reksa juga ya, ada yang mau aku omongin soal plan baru kalian

Deg! Irin merasa sedikit tersetrum mendengar kalimat terakhir Mba Hani. Dengan ogah-ogahan ia kembali menyalakan ponselnya lalu mengetik pesan singkat kepada Reksa. Tak lama kemudian, Reksa membalas pesannya dalam dua kata super singkat; Bisa Rin.
Irin menelan ludah, walaupun kini statusnya dan Reksa sudah turun dari pacar menjadi mantan pacar, ia gondok juga kalau smsnya dibalas sesingkat itu. Apalagi oleh orang yang biasanya tak pernah tidak menyertakan embel-embel akung pada setiap smsnya. Ia mengetik pesan balasan untuk Mba Hani kemudian memilih opsi invisible to everyone.
Jam dinding di sudut kamarnya menunjukkan pukul sepuluh tiga puluh ketika Irin memutuskan naik ke tempat tidur dan meninggalkan semua pekerjaannya. Ia butuh refreshing. Refreshing dari segala rutinitasnya. Irin merasa lebih merana dari sebelumnya.
Dulu, ia selalu punya Reksa sebagai tempat berbagi. Reksa yang ganteng, Reksa yang gokil, Reksa yang selalu menjadi moodbooster bagi Irin. Reksa yang sejak seminggu terakhir tak pernah lagi menatap Irin tepat di matanya.
Putus.
Sebuah kata yang selama lebih dari dua tahun terakhir tak pernah terlisankan baik dari mulut Irin maupun Reksa. Sebuah kata tabu yang sebisa mungkin Irin tahan meskipun telah berulang kali terlintas di benaknya. Sebuah kata yang bagi Irin bukan merupakan solusi.
Ironis. Karena pada akhirnya, Irinlah yang mencetuskan kata tersebut.
Muhammad Reksa Ardiansyah, sosok lelaki yang selama dua tahun terakhir tak pernah sedetik pun meninggalkan hati dan pikiran Irin. Irin telah mengenal Reksa dengan sangat baik. Ia telah melihat pemuda itu tumbuh, dari seorang cowok SMA biasa yang berstatus sebagai kakak kelasnya hingga kini memimpin usaha yang mereka rintis bersama. Orion, sebuah coffee place bernuansa cozy yang menjadi saksi bisu kisah cinta Irin dan Reksa.
Irin dan Reksa sama-sama memiliki minat yang tinggi pada dunia bisnis dan kewirausahaan. Sejak mulai berpacaran, mereka telah mencoba menjalankan berbagai bisnis bersama. Mulai dari jualan pulsa, jual barang-barang terbaru via internet, sampai akhirnya lahirlah sebuah tempat ngopi bernama Orion.
Ide ini tercetus begitu saja dari mulut Irin. Padahal, Irin sendiri bukan pecinta minuman berkafein tersebut. Usaha mereka berjalan lancar, menjadikan baik Irin maupun Reksa sebagai mahasiswa yang mandiri dan tak lagi bergantung secara finansial kepada orang tua masing-masing.
Irin biasanya menggunakan uangnya untuk membeli barang-barang favoritnya seperti novel, baju, dan sepatu. Lain lagi dengan Reksa, cowok itu paling-paling hanya menggunakan sebagian kecil untuk memodifikasi mobilnya. Sisanya ditabung, buat modal nikah sama Irin. Sekarang setelah mereka putus, Irin benar-benar tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Baik pada hubungannya dengan Reksa maupun pada usaha yang mereka rintis. Usaha yang tak hanya melibatkan dua orang namun juga banyak pihak lainnya.
Irin menggeleng kuat-kuat, mencoba mengenyahkan segala pikiran yang berkecamuk di benaknya. Ia memejamkan matanya erat-erat, berusaha tidur dan melupakan segalanya meskipun hanya sementara. Cinderella said that in dreams, we lost all the heartaches.

***

“Maaf banget mba, tadi aku nyari dosen fiksi dulu buat nyerahin tugas, udah lama?” cerocos Irin tanpa henti setibanya di Starbucks, Margo City.
Mba Hani menyesap kopinya perlahan kemudian mengangguk penuh pengertian. “Ah, kuliah, aku kangen rasanya jadi mahasiswa. Nggak apa-apa, duduk aja, aku ditemenin Reksa ini.”
Irin mengangguk seraya menggumamkan ucapan terimakasih. Dengan gestur kikuk yang serba canggung, ia mengambil tempat duduk di sebelah Reksa, tepat di depan Mba Hani. Sejak putus, Irin tak pernah sedekat ini dengan mantannya. Untuk menutupi rasa grogi yang meliputi perasaannya, Irin buru-buru meraih menu dan memesan ice chocolate.
“Aku ke toilet dulu ya sebentar, kalian rundingin dulu aja soal terobosan baru Orion, nanti kita bahas,” ujar Mba Hani kemudian bangkit berdiri dan ngeloyor ke toilet. Meninggalkan Reksa dan Irin berdua saja.
Dengan gestur sok santai, Reksa meraih cangkir kopinya. Dalam jarak sedekat ini, Irin bisa menghirup aroma khas espresso classics kesukaan Reksa. “Tadi kesini naik apa?” tanya Reksa basa-basi.
“Taksi.” Irin menjawab lugas. Singkat, padat, dan jelas.
“Beneran abis nyari Pak Yudi? Masih soal tugas yang waktu itu apa udah baru lagi?” tanya Reksa penasaran. Yang kemudian langsung disesalinya karena terkesan terlalu perhatian.
“Masih tugas yang waktu itu kok, Sa,” jawab Irin kalem. Percakapan dengan Reksa biasanya hangat, belum pernah sedingin dan sekaku saat ini. Nafas lega terhembus dari mulut Irin ketika sosok Mba Hani mulai berjalan mendekat.
“Jadi tadi aku udah ngobrol sama Reksa, aku sih setuju sama idenya, menurut aku kalian jadi lebih mudah untuk melakukan terobosan baru, plus omset juga pasti nambah,” tutur Mba Hani tanpa henti sedetik setelah mengambil posisi duduk.
Kening Irin berkerut heran. Ide apa? Dengan pandangan bertanya, ia ganti memandang Reksa.
Standard Operating Procedure,” jawab Reksa. “Ini sebenernya ide Irin kok Mba, jadi kita bisa memperluas usaha dan buka cabang di tempat lain yang sama persis.”
Mba Hani mengangguk cepat. “Tapi kalian harus tetap mempertahankan standar ya, inget loh Orion kan suasanya cozy banget, nanti di cabang itu harus sama persis. Cita rasa kopi dan snack-nya juga. Namanya juga franchise.”
Irin mengangguk pelan. “Iya, kebetulan kita udah tanda tangan kontrak sama Argo. Konsep sama resep menu udah ada sama dia, soft opening kira-kira bulan depan. Jadi sistem waralaba.”
“Oh yaudah kalau udah sejauh itu,” ujar Mba Hani kemudian meneguk caramel macchiato-nya. “Argo-Argo ini orangnya kaya gimana? Kira-kira oke nggak kalau dijadiin business partner?” tanyanya kemudian.
Irin menatap Reksa, mempersilakan pemuda itu untuk menjawab. Reksa mengangguk sekali kemudian menegakkan posisi duduknya. “Saya kenal dia udah lama, orangnya friendly dan responsible. Dilihat dari track record-nya di dunia usaha sih kayaknya aman kalau jadi partner bisnis. Plus dia juga orangnya inovatif dan bisa nerima kritik.”
Mba Hani manggut-manggut dan meletakkan cangkirnya di atas meja. “Bagus dong, kalian semakin lihai aja dalam hal seperti ini,” pujinya tulus. “Oh ya, maaf ya saya nggak bisa lama-lama.”
“Ada meeting lagi Mba?” tanya Irin.
“Engga, anak saya lagi kurang sehat. Dari kemarin batuk pilek terus.”
“Ellie ya Mba?” Secercah rasa khawatir terpancar di kedua mata Irin. Kemudian disusul dengan seulas senyum hangat. “Semoga Ellie lekas sembuh ya Mba, tolong bilangin Irin kangen,” imbuhnya. Irin memang sangat menyukai anak kecil. Lucu dan menggemaskan.
Mba Hani tersenyum penuh terimakasih. “Makasih ya Rin, Ellie juga nanyain kamu terus tuh, kapan-kapan main ke rumah ya. Sekarang aku pulang dulu, goodluck buat kerja samanya,” ujar wanita itu kemudian bangkit berdiri dan meninggalkan Irin bersama Reksa.
Reksa berdeham sekali. Pandangannya terfokus pada jendela kaca di sisi ruangan. Hujan deras mengguyur pelataran Margo City. “Pulang sama siapa?” tanyanya seraya beralih menatap Irin.
Irin mengangkat bahu. Pertanyaan bodoh, pikirnya. Selama ini Irin kan selalu pulang sama Reksa. Kalau tidak ada Reksa, ya berarti pulang sendiri.
Reksa bertanya lagi. “Sendiri?”
“Iya,” jawab Irin pendek.
Canggung. Sebuah kata yang tepat untuk mendeskripsikan suasana di antara mereka saat ini. Reksa kembali menatap derasnya hujan. “Pulang sama aku aja ya, aku anter.” Pacar atau bukan, ia tak akan membiarkan Irin pulang sendiri di tengah hujan seperti ini.
Irin nyaris tersedak minumannya. Aku? Reksa masih saja menggunakan predikat tersebut untuk menyebut dirinya. “Nggak usah repot-repot Sa, aku bisa pulang sendiri kok. Dari sini kan nggak jauh,” tolaknya halus. Sedikit defensif.
“Nggak repot kok,” sergah Reksa cepat. Kemudian malu sendiri. “Maksud aku, sekalian aja. Kan kita searah. Daripada kamu hujan-hujanan.”
Hati Irin mencelos. Ia amat merindukan Reksa yang dulu. Reksa yang selalu perhatian. Bukan Reksa yang saat ini berpura-pura cuek padanya padahal setiap kata yang ia lisankan justru terkesan sebaliknya. “Yaudah, asal kamu nggak repot sih nggak apa-apa.” Cut that bull, Rin.
“Pulang sekarang aja yuk,” ajak Reksa kemudian bangkit berdiri dan meraih kunci mobilnya. Irin ikut berdiri dan mengikuti Reksa berjalan menuju area parkir.
Sepanjang jalan mereka tak membicarakan banyak hal. Hanya basa-basi mengenai cuaca yang akhir-akhir ini sangat ekstrem dan sedikit pembicaraan bisnis. Awkward. Irin ingin sekali turun di tengah jalan. Lebih baik hujan-hujanan dan naik taksi daripada semobil dengan Reksa tapi suasananya begini. Setibanya di rumah Irin, Reksa langsung pergi.
“Reksa nggak mampir dulu Rin? Padahal ibu habis bikin bakso. Kan Reksa suka banget,” kata ibu sesaat setelah Irin mengenyakkan diri di sofa ruang tengah.
Irin mengerling ibu dan menggeleng pelan. “Buru-buru kali bu, hujannya deras banget soalnya.”
“Justru karena lagi hujan, kan enak makan bakso pakai kuah,” jawab ibu. “Kalian lagi sibuk ya? Habis udah lumayan lama Reksa nggak main ke rumah, padahal biasanya seminggu minimal sekali.”
Maaf Bu, batin Irin. Sedih. Ibu tidak tahu bahwa ia dan Reksa sudah putus. Irin sendiri tak kuasa mengatakannya. Sejak dulu, ibu selalu menyukai Reksa karena pembawaannya yang santun dan sangat down to earth padahal berasal dari keluarga yang terbilang sangat mapan. “Lagi ngurusin buat buka cabang di Depok Baru itu Bu, kita soft opening sebulan lagi.” Irin terpaksa berbohong. Tidak sepenuhnya bohong karena memang itulah yang sedang terjadi.
Hanya saja, itu bukan alasan mengapa Reksa tak pernah berkunjung lagi.
“Oh pantas. Yasudah kamu istirahat dulu sana, kamu capek kan habis kuliah terus meeting segala? Pokoknya ibu doain semoga lancar ya buka cabangnya,” ujar ibu lembut.
Irin mengangguk cepat. Meskipun merasa bersalah, ia merasa ini belum waktu yang tepat untuk cerita kepada ibu. Ia masih tak ingin membicarakannya. Dengan gontai Irin melangkahkan tungkainya menuju kamar mandi. Setumpuk pekerjaan lain tengah menunggu untuk diselesaikan.

***

Dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam, hari yang telah lama ditunggu-tunggu pun tiba. Grand opening Orion cabang Depok Baru. Meskipun suasana kerja sedikit terganggu karena canggungnya hubungan di antara Reksa dan Irin, proyek mereka akhirnya rampung. Argo ternyata sangat kooperatif dan profesional. Irin sangat berterimakasih untuk hal itu.
Arloji perak yang melingkar di pergelangan tangan Irin menunjukkan pukul delapan empat puluh. Ia tengah duduk bersama Widuri di sudut ruangan Orion, menikmati segelas latte dingin sambil menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tersisa. “Besok bakal lancar nggak ya Wid?” tanyanya was-was.
“Rileks, Rin. Kita udah persiapkan semuanya matang-matang. Lo juga udah survey kesana berkali-kali kan? Dekorasinya oke, menu kopi dan snack-nya juga udah sip,” jawab Widuri santai. Dengan cermat ia membaca ulang seluruh dokumen yang berada di atas meja. Memastikan segalanya sempurna dan tanpa kesalahan.
Irin menyesap pelan minuman kafein yang terpaksa diminumnya untuk menahan kantuk. “Oke, mungkin gue terlalu parno,” simpulnya cepat.
Sekilas senyum jahil bermain di bibir Widuri. Ia menyilangkan kakinya kemudian tertawa pelan. “Lo khawatir soal Orion atau...?”
“Reksa?” tebak Irin. Ia memutar matanya dan menyunggingkan seulas senyum hambar. “Nggak, gue udah nggak bisa khawatir lagi tentang itu. Gue Cuma takut ini ujung-ujungnya bakal berdampak negatif buat Orion. Usaha ini kan nggak cuma punya kita, banyak pihak lain yang juga terlibat di dalamnya,” tutur Irin panjang lebar. Sudah lama ia ingin mengutarakan pikirannya.
Widuri manggut-manggut. “Gue tau kok segimana canggungnya suasana di antara kalian, kerasa banget. Jujur aja itu bikin kita jadi ngerasa canggung juga. Tapi kelihatan kok kalau kalian sama-sama berusaha untuk tetap profesional. Sekarang jalanin aja dulu,” sarannya lalu meraih cangkir kopinya.
Irin memikirkan perkataan Widuri. Jengah terhadap atmosfer di antara dirinya dan Reksa yang terlihat seperti dibatasi tembok tak kasat mata. “Terus gue harus gi
“Rin, bisa ngomong sebentar nggak?”
Widuri dan Irin sama-sama menengok. Mendapati sosok Reksa tengah berdiri di samping meja. Irin melempar pandang bingung. “Sebentar aja, penting,” pinta Reksa sekali lagi kemudian mengerling Widuri.
Mengerti akan gestur temannya, Widuri bangkit berdiri dan meninggalkan mereka berdua. Tanpa basa-basi, Reksa menempati kursi di hadapan Irin. “Orion kita tutup aja ya Rin, soft opening besok juga cancel aja.”
Irin membelalak. Terkejut akan perkataan Reksa yang asal dan nggak mikir dulu. “Kamu gila,” tukasnya cepat. Menutup Orion? Membatalkan acara yang telah mereka persiapkan jauh-jauh hari? Bisa-bisa mereka berakhir di balik jeruji besi atas tuduhan pembatalan kontrak secara sepihak.
“Nggak.” Reksa keukeuh. “Orion ini kita rintis berdua Rin, kita mulai ini dari nol. Dan sekarang, kita bahkan udah nggak pernah ngomong. Properly. Mau sampai kapan? Lama-lama fondasi usaha ini bisa keropos, Rin. Lebih baik kita tutup sebelum semakin jauh.”
Irin terhenyak halus. Meskipun terdengar nekad, perkataan Reksa terbukti benar. “Tapi Sa, aku nggak mau nutup Orion gitu aja, usaha ini kan jerih payah kita berdua.”
“Justru karena itu, Rin. Suasana di antara kita terlalu canggung. Kaku. Aku nggak ngerti lagi harus gimana. I’ve never been in any relationship that’s that long,” papar Reksa setengah frustasi.
“Tapi....” Irin terdiam lagi. Tak jadi melisankan argumennya. Reksa benar. Ia pun sama dengan Reksa. Sama-sama tidak tahu bagaimana harus bersikap kepada mantan pacar setelah lebih dari dua tahun masa pacaran.
“Irin.” Reksa memverbalkan nama gadis di hadapannya dengan lembut. “Aku nggak akan pernah bisa bersikap biasa aja sama kamu. Kamu bukan Widuri, bukan Mba Hani, bukan Elsa, bukan Seria. Kamu nggak pernah jadi sekedar teman buat aku. Makanya aku nggak pernah bisa bersikap seperti seorang teman sama kamu,” tuturnya sungguh-sungguh.
Jantung Irin berdegup dalam ritme lebih cepat dari biasanya. Reksa memang selalu seperti ini, to the point alias blak-blakan. Kadang membuat Irin risih karena ia jadi tahu beberapa hal yang sebaiknya tak perlu. Contohnya, perasaan Reksa saat ini. “What are you trying to say?” tanyanya retoris.
Reksa menghela nafas panjang sebelum menjawab. Dari raut wajahnya, terlihat bahwa pemuda itu tengah mencari kosakata yang tepat untuk mengutarakan maksudnya. “Aku masih sayang kamu Rin, that’s just it.”
And that is our main problem, lanjut Irin dalam hati. Mendadak kepalanya terasa pening dan lidahnya seolah tak mampu mengatakan apa pun. “Aku...”
“Nggak usah dijawab,” ujar Reksa pelan. Dengan lembut ia meraih kedua tangan Irin ke dalam genggamannya dan menatap gadis itu lekat-lekat. “Pikirkan aja dulu semuanya, besok pagi sebelum soft opening kita ngomong lagi, gimana?”
Irin memejamkan matanya cepat, namun akhirnya mengangguk mantap. Walaupun jujur, tak perlu berpikir pun ia tahu apa yang harus dikatakan kepada Reksa.

***

“Semuanya udah siap? Kita mulai acara lima belas menit lagi ya,” seru Argo dari sudut ruangan.
Widuri yang semula berdiri di antara Reksa dan Irin menengadah menatap langit-langit ruangan. Kemudian berjalan menuju Argo. Beberapa hal masih perlu dicek ulang sebelum acara.
Reksa menatap Irin dengan pandangan bertanya. “Aku juga masih sayang sama kamu, Sa,” jawabnya kalem. Meskipun ia tahu betul bahwa kaum Adam bukanlah pembaca pikiran, untuk yang satu ini  ia berharap Reksa mengerti tanpa harus berkata panjang lebar.
Reksa mengulum senyum senang tetapi buru-buru menyembunyikannya. Memasang mimik serius. “Inget nggak sih kenapa kita putus?”
Irin tertegun sesaat. Otaknya berusaha menguak memorinya dan memutar kembali rekaman peristiwa dimana hubungan mereka akhirnya berakhir.
“Gara-gara aku terlalu posesifkah?” tanya Reksa lagi.
“Sedikit, tapi bukan itu masalahnya.”
“Lantas?”
Lantas apa, Sa? Aku juga nggak tahu. Irin berpikir lagi, mencoba mengingat-ngingat bagian ketika ia mencetuskan kata putus. Dan ia tak mengerti kenapa ia melakukannya. Masalah mereka bukan hal aneh, hanya karena Irin merasa Reksa jadi kurang perhatian padanya akhir-akhir ini. Reksa bilang ia mengurangi sedikit perhatiannya karena selama ini Irin ribut terus kalau Reksa terlalu posesif.
Alasan yang terdengar tak masuk akal di telinga Irin. Mereka kemudian bertengkar, adu argumen biasa, dan putus. Irin sendiri jadi tak habis pikir mengapa kini semuanya terasa begitu konyol. Kemana fondasi hubungan mereka yang selama dua tahun ini telah terbangun dengan mantap? “Aku... nggak tau Sa.”
Reksa tertawa pelan. “Jadi..., nggak ada alasan untuk nggak balikan dong Rin?” tanyanya dalam intonasi menggoda.
Kali ini Irin yang tertawa, meruntuhkan seluruh tembok pembatas yang selama ini menghalangi mereka. “Hmmmm balikan nggak yaaaa?”
“Masih sayang kan? Kenapa engga?”
Irin menyunggingkan seulas senyum hangat. Sorot matanya juga memancarkan kehangatan yang sama. Ia mengangguk mantap. “Iya Sa, aku mau,” jawabnya pelan. Rona merah menghiasi kedua pipinya.
Reksa menggenggam kedua tangan Irin dan nyengir boyish. “Official couple again?”
“Yup.” Butuh waktu lebih dari satu bulan bagi Irin untuk menyadari bahwa putus bukan jalan keluar dari masalahnya. Bahwa perselisihan seperti apa pun dapat diselesaikan dengan kepala dingin. Bahwa Reksa sangat berarti bagi dirinya.
“Hei, kalian udah siap? Kita mulai acara lima menit lagi loh!” seru Argo lagi. Irin buru-buru menarik tangannya. Sayangnya, Widuri sempat melihat. Dengan raut wajah sumringah, ia mengedip jahil dan mengacungkan jempol kepada Irin. “Yaudah langsung mulai aja yuk, semuanya udah siap kok,” lanjut Argo.
 “Yuk, Rin,” ajak Reksa.
Irin mengangguk yakin. Kali ini ia yakin, segalanya akan baik-baiknya. Hubungannya dengan Reksa dan Orion akan berjalan dengan lancar.

***

No comments:

Post a Comment